Malang (ANTARA) - Air merupakan elemen penting bagi keberadaan makhluk hidup di muka bumi, tanpa terkecuali umat manusia. Tidak ada satu makhluk hidup yang akan bertahan tanpa air.
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 3 menyebutkan, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Kalimat "dikuasai oleh negara" pada Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 tersebut, merupakan salah satu kunci untuk menjamin kebutuhan dasar khususnya bagi masyarakat Indonesia atas air. Negara, dapat diartikan sebagai pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Namun, apa jadinya bila pemerintah daerah lebih mengedepankan ego sektoral untuk mengelola sumber air yang ada, ketimbang kepentingan yang lebih luas. Dalam hal ini masyarakat yang berada di wilayah Kota Malang, dan Kabupaten Malang.
Bagi wilayah Kota Malang yang hanya memiliki luas 145,28 kilometer persegi, ada keterbatasan dalam penguasaan sumber air karena terbatasnya sumber air. Hal itu, berbanding terbalik dengan Kabupaten Malang, yang memiliki luas 3.535 kilometer persegi, dengan sumber air melimpah.
Perseteruan muncul antara Pemerintah Kabupaten Malang dan Kota Malang, atas Sumber Air Wendit yang berada di Desa Mangliawan, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang. Sumber Air Wendit, menjadi salah satu aset yang dikuasai oleh Pemerintah Kabupaten Malang.
Pembahasan Perjanjian Kerja Sama antara Pemerintah Kabupaten Malang dengan Pemerintah Kota Malang untuk mengelola Sumber Air Wendit bermula sejak 2002 dan rencananya akan berakhir pada 2022.
Sumber Air Wendit dimanfaatkan oleh Kota Malang untuk memasok kebutuhan warganya dengan debit air sebanyak 1.500 liter per detik.
Dalam Perjanjian Kerja Sama tersebut, salah satu klausul menyebutkan bahwa akan dilakukan peninjauan kembali setiap tiga tahun. Namun, peninjauan kembali PKS antara dua pemerintah daerah tersebut, mandek pada 2015.
Mandeknya peninjauan kembali PKS Pengelolaan Sumber Air Wendit tersebut, dikarenakan adanya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang tersebut, mengembalikan beberapa kewenangan kebijakan ke tingkat pusat, termasuk sumber daya alam.
Pemerintah Kota Malang, mengikuti aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat tersebut. Sementara Pemerintah Kabupaten Malang, bersikukuh pada Perjanjian Kerja Sama 2002. Hingga saat ini, belum ada titik temu untuk menyelesaikan sengketa tersebut.
Sengketa yang muncul, bukan hanya soal keteguhan masing-masing pemerintah daerah untuk mengacu pada aturan tertentu. Akan tetapi juga melibatkan besaran biaya yang harus dibayarkan oleh Kota Malang, dan sumber pendapatan Kabupaten Malang.
Selama ini, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Malang memberikan kontribusi senilai Rp2,3 miliar per tahun dalam bentuk konservasi. Angka tersebut diperoleh dari besaran harga yang harus dibayar oleh Kota Malang sebesar Rp80 per kubik air kepada Kabupaten Malang.
Besaran kontribusi yang diberikan oleh PDAM Kota Malang tersebut sepertinya dirasa kurang mencukupi oleh pemilik aset. Pada 2018, dilakukan perhitungan oleh Perum Jasa Tirta I yang mengeluarkan hasil penghitungan tarif sebesar Rp133 per kubik.
Namun, hasil penghitungan tarif pemanfaatan sumber air tersebut belum memuaskan kedua belah pihak. Kota Malang dan Kabupaten Malang memiliki perhitungan sendiri dari sumber air yang sebetulnya harus dikelola dengan mengedepankan kepentingan publik.
Perhitungan dari Pemerintah Kota Malang tercatat sebesar Rp120 per kubik, sementara angka yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Malang jauh lebih tinggi, yakni sebesar Rp405 per meter kubik.
Dengan masing-masing perhitungan yang dimiliki pemerintah daerah tersebut, keduanya sulit mencapai kata sepakat. Beberapa kali isu soal air mencuat, namun hanya seperti puncak gunung es.
Kian meruncing
Pada 2019, sengketa kian meruncing. Puncaknya, ditandai dengan penyegelan Rumah Pompa Air milik PDAM Kota Malang, di Desa Mangliawan, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang, oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).
Satpol PP Kabupaten Malang memasang papan pengawasan di Rumah Pompa Air milik PDAM Kota Malang, yang dinyatakan bangunan tersebut tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Izin Gangguan (HO).
Pihak Pemerintah Kabupaten Malang menyatakan bahwa Rumah Pompa Air PDAM Kota Malang tersebut diindikasi melanggar dua aturan. Pertama, melanggar Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2018 Pasal 12 Ayat 1 tentang IMB. Kedua, melanggar Perda Nomor 12 Tahun 2017 Pasal 3 Ayat 1 tentang Izin Gangguan atau HO.
Meskipun dinyatakan belum memiliki izin dan diindikasi melanggar dua aturan, operasional Rumah Pompa Air PDAM Kota Malang tersebut dipastikan tetap berjalan normal, supaya tidak terjadi gejolak sosial.
Meruncingnya konflik Sumber Air Wendit tersebut, juga memanaskan telinga Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa dan Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elistianto Dardak. Pemimpin Jawa Timur tersebut, menginginkan sengketa itu segera diakhiri. "Keduanya, saya yakin punya itikad baik, tinggal mencari titik temu," kata Emil, di Kota Malang, Minggu (28/7).
Emil menjelaskan, seharusnya, dengan adanya Surat Izin Pengusahaan Air (SIPA) yang dikeluarkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, menjadi dasar untuk memanfaatkan Sumber Air Wendit tersebut.
Sebagai catatan, dalam SIPA yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian PUPR tersebut, maka pengelolaan Sumber Air Wendit tersebut jatuh kepada PDAM Kota Malang.
Namun, beberapa pihak menilai SIPA tersebut merugikan masyarakat Kabupaten Malang, karena selaku penguasa wilayah, tidak mendapatkan apa-apa. "Sekarang, ada SIPA yang sudah berjalan itu adalah dasar untuk memanfaatkan sumber air tersebut. Interpretasinya itu yang lagi disamakan oleh kedua belah pihak," ujar Emil.
Ego sektoral
Jika dilihat dari akar masalahnya, sesungguhnya sengketa Sumber Air Wendit bisa dengan mudah diselesaikan, selama kedua pemerintah daerah bisa dengan kepala dingin berdiskusi dan saling mengedepankan kepentingan masyarakat.
Ketergantungan warga Kota Malang atas pasokan air dari Sumber Air Wendit, cukup tinggi. Sehingga, perlu ada keterbukaan hati dari Pemerintah Kabupaten Malang untuk menyelesaikan sengketa yang sudah cukup lama tersebut.
Dalam hal ini, keterbukaan hati tersebut bukan berarti Pemerintah Kabupaten Malang tidak mendapatkan apa-apa, mengingat banyak juga aset Kabupaten Malang yang berada di wilayah Kota Malang dan tetap beroperasi seperti biasa.
Faktor ego sektoral, merupakan kunci utama dalam menyelesaikan masalah sengketa Sumber Air Wendit.
Ekonom Universitas Brawijaya Malang Nugroho Suryo Bintoro menyatakan, Pemerintah Kota dan Kabupaten Malang, perlu menghilangkan ego sektoral dan mengedepankan kepentingan masyarakat. "Saya kira jangan ada ego sektoral, kenapa tidak dilakukan secara bersama-sama saja," kata Nugroho, di Kota Malang, Jawa Timur, Jumat (26/7).
Menurut Nugroho, jika keduanya sama-sama bersikeras, maka tidak akan mampu menghasilkan jalan tengah yang menguntungkan kedua pihak. Seharusnya, kedua pihak fokus pada pengelolaan sumber air itu, untuk mendapatkan solusi terbaik.
"Akar masalahnya, sumber air ada di mana. Kecenderungannya, pemilik sumber air akan meminta lebih besar. Ketika mengandalkan ego, tidak akan ketemu," kata Nugroho.
Salah satu langkah yang dinilai bisa menjadi jalan tengah dan saling menguntungkan kedua belah pihak adalah konsep kerja sama berupa Kemitraan Pemerintah dengan Swasta atau Public Private Partnership (PPP).
Kerja sama itu hanya sebatas pengelolaan secara profesional, dan bukan menjual aset sumber air. "Jika pemerintah daerah kesulitan untuk mengelola, kenapa tidak menggunakan skema public private partnership. Jika dikelola secara profesional, seharusnya tidak akan ada masalah," kata Nugroho.
Apapun bentuknya, penyelesaian sengketa Sumber Air Wendit antara Pemerintah Kabupaten Malang dan Pemerintah Kota Malang wajib diselesaikan. Keduanya, harus bisa duduk bersama dan mencari jalan tengah yang selama ini dinanti oleh masyarakat.
Jika keduanya tetap bersikukuh pada pemikiran masing-masing, maka, yang akan paling dirugikan adalah masyarakat di kedua wilayah.*