Tulungagung (ANTARA) - Terungkapnya kasus penebangan ilegal puluhan pohon sonokeling (dalbergia latifolia) dewasa di kawasan rumija Tulungagung-Trenggalek dan Tulungagung-Blitar, beberapa pekan terakhir, menunjukkan betapa rentannya perdu jalur hijau ini menjadi sasaran pelaku "illegal logging".
Sindikasi para pembalak bahkan tak hanya dengan pedagang dan jaringan gelap eksportir kayu sonokeling lintas wilayah, namun berkelindan dengan jajaran oknum ASN di lingkup pemangku wilayah.
Dalam hal ini, oknum petugas berasal dari Balai Besar Pemeliharaan Jalan Nasional (BBPJN) wilayah Kediri raya. Modusnya adalah dengan penertiban dan perampingan tanaman perdu yang berpotensi ambruk atau patah di musim hujan.
Dengan dalih ini, petugas bekerja sama dengan jaringan pemain kayu melakukan penebangan puluhan batang pohon di sepanjang rumija (ruang milik jalan) jalan nasional. Mulai dari arah Kota Trenggalek, menuju Tulungagung hingga arah Kota Blitar.
Aksi mereka awalnya terkesan legal. Sebab saat melakukan penebangan, di situ ada petugas berseragam ASN yang mengawasi, lengkap dengan rambu lalu lintas agar pengendara mengurangi kecepatannya.
Bahkan, aparat kepolisian terlihat ikut berjaga, membantu mengatur lalu lintas saat penebangan berlangsung. Siapa sangka aksi mereka ternyata ilegal.
Semua terungkap secara tak sengaja setelah aksi penebangan "komplotan berseragam" itu diunggah warga ke media sosial, dan berlanjut viral di grup-grup medsos lokal.
Alhasil, pembahasan isu penebangan pun berkembang sangat liar. Apalagi muncul sejumlah testimoni dari beberapa narasumber warganet yang mengaku langsung "disuap" oleh petugas dengan nominal lumayan besar. Antara Rp200 ribu hingga Rp500 ribu.
"Saya juga sempat mau dikasih (saat memotret penebangan), tapi saya tolak dan memilih kabur," tutur AB, seorang warganet yang juga berlatar jurnalis lokal di Tulungagung, sebagaimana dikutip aktivis Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) Mochammad Ikhwan.
Dari sinilah tabir pembalakan mulai terendus. Sebab setelah ditelusuri, tanaman perdu yang ditebang hanya jenis sonokeling. Tak hanya 1-2 batang yang ditebang, namun jumlahnya mencapai puluhan.
Kondisi tanaman sonokeling yang ditebang juga rata-rata masih bagus. Tidak ambruk, tidak keropos di batang maupun akar, juga tidak miring.
Modus penebangan dilakukan hingga lapisan batang hampir sejajar tanah. Dugaannya, hal itu dimaksudkan untuk mengaburkan jejak penebangan.
Kategori Cites Appendix II
Kesadaran warga akan harga kayu sonokeling yang bisa bernilai puluhan juta rupiah per batang telah memicu kecurigaan bahwa aksi penebangan itu ilegal.
LSM Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Mangkubumi yang kemudian ikut mengawal isu ini menjelaskan kepada publik bahwa tanaman kayu sonokeling rupanya masuk kategori "CITES (Convention on International Trade in Endangered Species) Appendix II".
Artinya, sonokeling rentan punah. Belum dinyatakan langka, namun jika penebangan dan perdagangannya tidak terkontrol, sonokeling bisa punah. Status appendix II berlaku sejak 2 Januari 2017 yang ditetapkan dala COP CITES ke-17 di Johanessburg, Afrika Selatan.
Konsekuensinya, kata Direktur PPLH Mangkubumi yang juga anggota JPIK nasional, Mocahmamad Ikhwan, peredaran kayu sonokeling di dalam maupun luar negeri harus mengikuti mekanisme yang diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan nomor 447/Kpts-II/2003.
Dalam regulasi ini, diatur tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkalan dan Peredaran Tumbuhna dan Satwa Liar.
"Oleh karenanya, peredaran kayu sonokeling dalam negeri wajib menggunakan dokumen SATS-DN, sedangkan untuk ekspor wajib menggunakan dokumen CITES Permit (SATS-LN)," papar Ikhwan.
Dasar regulasi itu menjadi landasan PPLH Mangkubumi dan JPIK untuk melakukan pengawalan kasus. Beberapa langkah dan cara ditempuh.
Mulai dari mempublikasikan isu ke media massa secara masal dan masif, menanyakan secara prosedur ke lembaga terkait yang berwenang menangani kasus sonokeling di rumija jalan nasional Trenggalek-Tulungagung-Blitar, hingga melaporkannya ke Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa.
Upaya itu membuahkan hasil. Gubernur Khofifah merespon pengaduan itu dan langsung memerintahkan Dinas Kehutanan Provinsi Jatim untuk berkoordinasi dengan lembaga terkait guna menindaklanjuti laporan dugaan penebangan ilegal tersebut.
Tidak tanggung-tanggung, pada hari libur nasional awal April (Rabu,3/4) Kepala Dinas Kehutanan Jatim Dewi Putriatni bersama Kepala BBKSDA Kediri Nandang Prihadi dan pejabat PU Binamarga Jatim turun langsung memeriksa beberapa bekas tunggak bekas tebangan pohon sonokeling di ruas rumija jalan nasional Tulungagung-Blitar dan Tulungagung-Trenggalek.
Dari sidak itu, Dewi Putriatni menyimpulkan bahwa penebangan itu ilegal. Sebab saat dikonfirmasi ke pihak PU Binamarga maupun PPK 21 dan PPK 25 di BBPJN wilayah Kediri dan Sidoarjo, tak satupun yang mengeluarkan surat perintah penebangan.
Dewi yang memimpin sidak kemudian berkoordinasi dengan pihak PU Binamarga Jatim, BBKSDA dan BBPJN. Rapat evaluasi kemudian diputuskan dilakukan pada Jumat (5/4) di Kantor Dinas Kehutanan Provinsi Jatim di Surabaya.
Hasilnya, rapat koordinasi tim gabungan mengeluarkan beberapa rekomendasi. Antara lain bahwa tanaman sonokeling yang hilang ditebang mencapai 91 pohon, dengan diameter mulai 30 centimeter hingga 1 meteran. Jumlah ini kemudian direvisi menjadi 89 setelah dilakukan verifikasi tim gabungan di lapangan.
Dengan asumsi harga kayu sonokeling diameter rata-rata di atas 50 centimeteryang mencapai Rp20 juta hingga Rp30 juta, kerugian negara yang ditimbulkan ditaksir mencapai Rp2 miliar lebih.
Sumber lain memperkirakan kerugian dua kali lipat lebih besar, karena mayoritas kayu dijual untuk tujuan ekspor dengan cara memalsukan sejumlah dokumen.
Kasus baru
Kadinhut Jatim Dewi Putriatni mengakui kasus pembalakan puluhan pohon sonokeling berdiameter di atas 30 centimeter hingga 1 meter di Tulungagung, Trenggalek dan Blitar adalah temuan baru.
Nyatanya, dalam rapat eveluasi tim gabungan itu terungkap bahwa pihak BBPJN selaku penanggung jawab rumija belum memahami betul aturan dan prosedur penanganan pohon perdu di jalur hijau yang masuk kategori appendix II.
"Ke depan, kami akan proaktif melakukan sosialisasi ke pihak-pihak terkait, seperti BBPJN dan sebagainya bahwa pohon sonokeling ini kan masuk kategori appendix II Cites, penanganannya harus melalui prosedur yang benar dan legal," tuturnya.
Anggota JPIK Mochammad Ichwan Mustofa sejak awal meyakini aktivitas penebangan sonokeling di kawasan rumija itu disengaja oleh pihak-pihak yang terlibat dalam perawatan tanaman di kawasan rumija, dengan melibatkan oknum yang terkait dengan kewenangan di wilayah pengelolaan kawasan rumija.
Menurut Ichwan, pembalakan kayu sonokeling di kawasan rumija ini sudah menimbulkan unsur kerugian negara.
"Jika warga memangkasi cabang dan ranting kayu jati di kawasan hutan saja bisa berefek hukum pidana, maka penebangan pohon sonokeling oleh oknum tertentu di kawasan rumija jalan nasional yang notabene tanah milik negara juga harus berlaku penindakan yang setara," cetusnya.
Investigasi gabungan yang dilakukan empat hari kemudian pascaevaluasi, tepatnya pada Selasa (9/4) sebenarnya telah memutuskan kasus pencurian 89 batang kayu sonokeling yang telah terverifikasi lapangan untuk dilaporkan ke polisi, oleh pihak BBPJN selaku penanggung jawab rumija di jalur Trenggalek-Tulungagung-Blitar.
Namun hingga dua hari tenggat waktu yang ditentukan, tindak pelaporan itu tak kunjung dilakukan.
Ikhwan bersama PPLH Mangkubumi yang terus mengawal sempat resah akan penanganan kasus pembalakan yang diduga melibatkan sejumlah oknum ASN di lingkup BBPJN tersebut.
Sampai akhirnya jajaran Satreskrim Polres Trenggalek bertindak mendahului dengan menangkap delapan orang yang diduga terlibat dalam pembalakan tanaman kayu sonokeling di atas tanah negara tersebut pada Jumat (12/4) siang.
Sekarang tinggal menunggu tindakan yang sama di jajaran Polres Tulungagung, mengingat locus delicty dugaan pidana pembalakan tidak hanya terjadi di wilayah hukum Trenggalek, namun juga di Tulungagung.
Keseriusan aparat penegak hukum dalam menindak kasus ini, termasuk di jajaran BBPJN, Dinas PU Binamarga, Dinas Kehutanan serta BBKSDA di wilayah kewenangan masing-masing akan memberi efek jera terhadap siapapun untuk tidak mencuri aset negara dengan memanfaatkan lemahnya pengawasan dan tata regulasi yang ada.
Kasus yang terendus di kawasan rumija Tulungagung-Trenggalek dan Tulungagung-Blitar ini bisa jadi hanya puncak gunung es. Selain di dua wilayah ini, bisa jadi kasus serupa juga terjadi banyak jalur hijau di kabupaten-kota lain.
Sebab informasinya, penebangan sonokeling juga terdengar sempat dilakukan di Kabupaten Lumajang, Pasuruan, Probolinggo hingga Bondowoso. Bagaimana dengan daerah-daerah lain. Tim terpadu sepertinya perlu melakukan investigasi lanjutan.