Surabaya (ANTARA) - Pentas kesenian tradisional Ludruk terlihat masih bertahan di panggung Taman Hiburan Rakyat (THR), Jalan Kusuma Bangsa, Surabaya, Jawa Timur.
Salah satunya dapat disaksikan di Gedung Pringgodani, kompleks THR Surabaya. Minimal setiap pekan sekali berbagai kelompok kesenian tradisional, seperti Ludruk dan Ketoprak, unjuk karya di gedung ini, dengan menarik tiket masuk sedikitnya Rp10 ribu perorang.
"Woro-woro" melalui spanduk atau "banner" dari berbagai kelompok ludruk atau ketoprak yang akan mengisi pertunjukan selama sebulan penuh sepanjang bulan April mendatang tampak sudah tertancap di depan Gedung Pringgodani.
Seniman ludruk Sugeng Rogo, saat dikonfirmasi di Surabaya, Minggu (31/3) malam, mengatakan Gedung Pringgodani di kompleks THR Surabaya itu sejak sekitar tahun 2010 telah digratiskan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya agar seniman tradisional tidak kehilangan panggung pertunjukan.
"Selain mendapat keleluasaan menggunakan Gedung Pringgodani, seniman tradisional seperti kami juga difasilitasi perangkat gamelan dan segenap pemain karawitannya yang telah ditanggung sepenuhnya oleh Pemkot Surabaya," ujarnya.
Rogo tidak menyianyiakan fasilitas yang telah diberikan Pemkot Surabaya. Setiap hari Selasa dan Kamis, dia bersama teman-teman seniman ludruk lainnya, di Gedung Pringgodani ini, mengupayakan regenerasi dengan memberikan pelatihan secara gratis kepada anak-anak sekolah mulai dari tingkat Taman Kanak-kanak (TK) hingga remaja.
"Kami bimbing anak-anak berlatih Ludruk tanpa memungut biaya," ucapnya.
Rogo yang memiliki kelompok Ludruk "Putra Taman Hirra" kemudian mementaskan anak-anak didiknya rutin setiap bulan sekali di Gedung Pringgodani itu.
Tadi malam, misalnya, Kelompok Ludruk Putra Taman Hirra mementaskan lakon "Sawunggaling Arek Suroboyo".
Dalam pementasan itu, Ronggo juga mengajak anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Bambang Harjo Soekartono untuk ikut tampil memerankan tokoh Adipati Surabaya Jayengrono, ayah kandung Sawunggaling.
Termarginalkan
Bambang Harjo tampak mengelus dada usai terlibat langsung dalam pementasan bersama seniman ludruk. Dia merasa tempat pertunjukan Pringgodani yang difasilitasi Pemkot Surabaya bagi seniman ludruk lebih menyerupai gedung mangkrak yang telah lama tak terawat.
Terkait Gedung Pringgodani yang terlihat tak terawat juga diungkapkan oleh Saikul Isnaini, salah satu penonton, yang telah datang beberapa kali datang ke THR hanya untuk menyaksikan pertunjukan ludruk.
Pemuda berusia 39 tahun asal Lamongan yang indekos di Kampung Wonokitri Surabaya ini memilih berdiri selama menyaksikan pentas lakon “Sawunggaling Arek Suroboyo” yang berlangsung selama sekitar tiga jam.
Dia merasa kursi penonton yang terbuat dari bahan karet pentil yang terlihat berwarna kehitaman di tengah remang lampu pertunjukan Gedung Pringgodani banyak binatang tingginya atau kutu busuk.
"Tadi sempat duduk sebentar. Pantat saya terasa gatal-gatal," katanya seraya berbisik, sembari menggaruk pantatnya yang terbungkus celana jeans.
Terlepas dari itu, Bambang Harjo, anggota DPR RI dari daerah pemilihan Jawa Timur I, yang meliputi wilayah Kota Surabaya dan Sidoarjo, sangat mengapresiasi Pemkot Surabaya yang telah menyediakan fasilitas panggung pertunjukan bagi seniman tradisional seperti ludruk.
"Memang untuk melestarikan kebudayaan harus dimulai dari perhatian oleh pemerintah daerah. Pemerintah Daerah Kota Surabaya harus lebih meningkatkan lagi perhatiannya kepada kelangsungan hidup seniman tradisionalnya. Para seniman tradisional ini harus mendapat penghasilan setara upah minimum regional," ucapnya.
Lebih lanjut Bambang mendorong agar Pemkot Surabaya kembali menghidupkan pertunjukan kesenian tradisional di lingkungan THR.
"Sejak saya masih kecil THR sudah ada. Dulu, selain menjadi pusat permainanan anak-anak juga telah menjadi jujukan untuk menyaksikan pertunjukan tradisional. Kalau itu dihidupkan kembali, saya yakin bisa menarik wisatawan," tuturnya.
Selama ini, hingga era berganti digital dan masyarakat mendapat kemudahan akses untuk menikmati pertunjukan dan hiburan secara instan melalui telepon seluler di genggamannya, kesenian tradisional seperti ludruk semakin termarginalkan.
Rogo mengaku selama menggeluti kesenian ludruk tidak pernah menghasilkan uang untuk menopang kehidupan dirinya sendiri maupun keluarganya.
Sebagaimana seniman tradisional lainnya, Rogo harus bekerja serabutan di bidang lain untuk menafkahi keluarganya.
"Di luar ludruk, saya menyewakan perlengkapan hajatan pengantin dan persewaan pakaian," katanya.
Apapun yang terjadi, lanjut dia, kesenian Ludruk harus tetap bertahan dan terus mendapatkan regenerasi agar warisan kebudayaan dari leluhur itu tetap lestari. (*)