Surabaya (Antaranews Jatim) - Revisi Perda Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok (KTR-KTM) di Kota Surabaya, Jatim, menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat Kota Pahlawan.
Alasan Pemerintah Kota Surabaya melakukan revisi Perda KTR karena adanya Surat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) RI pertanggal 28 November 2018 dengan Nomor Surat 440/T469/Bangda Tentang Penerapan Regulasi Kawasan Tanpa Rokok di Daerah.
Dalam surat tersebut disebutkan agar pemerintah daerah segera menetapkan Perda KTR dengan mengacu pada ketentuan perundang-undangan yang ada, salah satunya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Selain itu pemerintah daerah harus melaksanakan perda secara efektif dengan mengoptimalkan peran Satpol PP dan melakukan pembinaan serta pengawasan pada KTR yang ada di Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) dan untuk menetapkan KTR di lingkungan sekolah agar mengacu pada Permendikbud Nomor 64 Tahun 2015 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di lingkungan sekolah.
Dalam PP 109/2012 juga disebutkan ada sejumlah pasal yang belum dimasukkan dalam Perda KTR 5/2008 di antaranya pada pasal 25 bahwa setiap orang dilarang menjual produk tembakau dengan cara menggunakan mesin layanan diri, kepada anak di bawah usia 18 tahun dan kepada perempuan hamil.
Begitu juga pada pasal 49 juga ada disebutkan dalam rangka penyelenggaraan pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan, pemerintah daerah wajib mewujudkannya.
Ketua Pansus Revisi Raperda KTR DPRD Surabaya Junaedi sempat mengatakan bahwa dalam revisi perda tersebut ada penambahan KTR sebagaimana PP 109/2012 khususnya pasal 50 meliputi fasilitas layanan kesehatan, tempat belajar mengajar, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan.
Jika pada perda lama, kawasan tanpa rokok tersebut terdapat pada sarana kesehatan, tempat proses belajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah dan angkutan umum, maka pada revisi raperda ini ditambah tempat kerja dan tempat lain yang ditetapkan.
"Kami akan mempertegas untuk tempat kerja ini hanya sebatas pada ruang lingkup Pemkot Surabaya saja atau perusahaan swasta lainnya. Begitu juga tempat lainnya ini kami minta dinkes untuk menjabarkannya," ujar Ketua Fraksi Partai Demokrat DPRD Surabaya ini.
Meski demikian, Junaedi tetap meminta secara detail wilayah mana saja yang masuk KTR seperti halnya wilayah tempat belajar mengajar itu di sekolah saja atau juga masuk kampus atau tempat kursus. Begitu juga untuk tempat ibadah, apa juga termasuk tempat aliran kepercayaan atau tidak.
Untuk itu, Pemkot Surabaya harus punya data terkait hal itu agar pembahasan Reperda KTR ini tidak bias, baru setelah itu baru membahas persoalan lain di pasal-pasal berikutnya.
Pada raperda ini, pansus juga mempertajam sanksi bagi warga yang merokok secara sembarangan dengan denda sebesar Rp250.000. Dinas Kesehatan mengusulkan perubahan nama perda sebelumnya menjadi Raperda Kawasan Tanpa Rokok.
Soal sanksi, politikus Partai Demokrat ini mengatakan bahwa denda admistrasi yang akan dikenakan baik kepada pengelola tempat umum dan perokok yang merokok di tempat terlarang.
Bagi penanggung jawab yang berwenang mengelola tempat umum, tidak memasang tanda larangan merokok akan didenda Rp50 juta. Perokoknya sendiri, pemkot akan mengenakan denda sebesar Rp250 ribu.
"Kami akan akan dibahas mengenai nominal dari denda merokok itu. Kalau denda Rp50 juta itu mengacu dari pemerintah pusat, tapi yang Rp250 ribu ini rumusannya dari mana? Karena perda ini untuk membatasi, bukan melarang orang merokok," kata Wakil Ketua Komisi D DPRD Surabaya.
Selian itu, pansus juga akan mempertegas pelaksanaan penegak perda dalam hal ini Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Pemkot Surabaya yang didalamnya termasuk petugas Satpol PP.
Selama ini, lanjut dia, Perda 5/2008 kurang berjalan efektif dan terkesan seperti lembaran kertas kosong sehingga penegakan perda tidak maksimal. Sanksi bagi perkok yang melanggar selama ini juga hanya sebatas teguran lisan, imbauan, arahan dan binaan.
Mengenai kawasan tanpa rokok yang belum dirinci di draf revisi perda, Kepala Dinas Kesehatan Kota Surabaya Febria Rachmanita mengatakan hal itu akan dibahas secara rinci di Peraturan Wali Kota Surabaya setelah perda itu disahkan.
"Kalau sesuai peraturan menteri kesehatan nanti ketika berubah, perdanya harus berubah. Saya sih tetap di peraturan wali kota. Untuk penjelasan sarana kesehatan terdiri dari apa saja, ada perwalinya setelah ini. Secara detail nanti di Perwali," katanya.
Industri Tembakau
Selain tujuan di atas, Revisi Perda KTR tersebut berpotensi mengancam kelangsungan industri hasil tembakau di wilayah tersebut. Para buruh rokok, penjual rokok, pengelola warung kopi di Surabaya juga ikut resah. Mereka menganggap terkena dampak akibat revisi Perda tersebut.
Ketua Paguyuban Toko Surabaya Sri Utari mengatakan ada sejumlah ketentuan dalam revisi Perda KTR bertentangan dengan regulasi di atasnya. Peraturan di atasnya yang dimaksud adalah Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Ia mengaku khawatiran dengan rancangan perda tersebut. Menurutnya, apapun peraturan perundangan, hendaknya sejalan dengan peraturan lain, apalagi yang lebih tinggi.
"Tentunya juga selalu melibatkan kami para pemangku kepentingan dalam penyusunannya," kata Utari.
Menurutnya, sedikitnya ada tiga poin dalam revisi Perda KTR Kota Surabaya yang berpotensi merugikan dan mengancam keberlanjutan usahanya yakni pertama, rencana larangan kegiatan menjual, mengiklankan, mempromosikan tembakau berlaku mutlak di lingkungan Kawasan Tanpa Rokok.
Hal itu dianggap bertentangan PP 109 Pasal 50 ayat 2 yang menyatakan seluruh aktivitas tersebut tetap bisa dilakukan di tempat penjualan produk tembakau di wilayah KTR.
Kedua, dalam revisi perda KTR-KTM disebutkan "dapat" menyediakan tempat khusus merokok. Utari menjelaskan, keberadaan kata 'dapat' menciptakan multitafsir di mata publik. Kata "dapat" memiliki dua makna yaitu boleh menyediakan tempat rokok atau sebaliknya.
Tentunya hal ini akan menyulitkan penegakan sanksi oleh aparat bagi mereka yang melanggar. Padahal, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57 Tahun 2011 yang menguji materi Pasal 115 Ayat 1 Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan tegas memerintahkan penyediaan tempat khusus merokok di tempat kerja dan tempat umum. Artinya, keberadaan tempat khusus merokok adalah sebuah kewajiban.
Ketiga, tempat merokok harus terpisah dari gedung/tempat/ruang utama dan ruang lain yang digunakan untuk beraktivitas. Poin tersebut tidak efektif diterapkan bila tidak diimbangi dengan penyediaan tempat khusus merokok di seluruh tempat kerja dan tempat umum seperti, kantor, pasar, hotel, dan gedung di Surabaya.
Ia menegaskan pihaknya tidak anti Perda KTR dan mengaku mau mematuhi dan melaksanakannya sepanjang ditetapkan secara adil, berimbang dan komprehensif. Sayangnya, Raperda KTR Kota Surabaya menciptakan kegelisahan para pemangku kepentingan.
Pimpinan Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PC FSP RTMM – SPSI) Jawa Timur, Emanuel Embu
menambahkan keberadaan tiga poin yang kontradiktif dalam revisi Perda KTR Kota Surabaya akan berimbas terhadap nasib buruh rokok.
Emanuel mengingatkan dalam kurun waktu 2013 sampai 2018 telah terjadi pemutusan hubungan kerja 7.000 orang di sektor tembakau akibat regulasi pemerintah. Padahal, kontribusi industri hasil tembakau terhadap pendapatan daerah dan nasional sangat besar.
Saat ini, Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman (RTMM) di Surabaya beranggotakan sekitar 15.000 orang yang tersebar pada 18 perusahaan. "Keberpihakan Pemerintah Kota Surabaya terhadap industri rokok yang menjadi tempat bergantung hidup sangat kami harapkan," ujarnya.
Untuk itu, ia berharap pemerintah dan Pansus Perda KTR bijaksana mengambil keputusan. Saat ini revisi Perda KTR belum final karena masih belum terdapat titik temu antara DPRD dan Pemkot Surabaya, antara lain terkait tambahan tempat Kawasan Tanpa Rokok di tempat olahraga.
Sementara itu, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di DPRD Surabaya menilai revisi Perda KTR perlu ditinjau kembali mengingat perda yang sudah ada tidak berfungsi optimal.
"Apalagi surat dari Kemendagri tersebut ditujukan kepada daerah yang belum memiliki Perda KTR. Tapi Kalau Surabaya kan sudah punya jadi perda yang sudah ada itu dioptimalkan," kata anggota Fraksi PDIP yang juga Sekretaris Pansus Revisi Perda KTR, Khusnul Khotimah.
Untuk itu, Khusnul berharap pansus harus mewadai seluruh laporan masyarakat baik yang pro maupun kontra atas revisi Perda KTR ini. Hal ini dikarenakan banyak beberapa kelompok masyarakat maupun akademisi baik dari Unesa, Unair dan Uinsa yang berharap ikut diajak bicara dalam rapat pansus, namun sampai saat ini belum bisa terakomodir.
Masyarakat di Surabaya majemuk sehingga harus memikirkan juga hak masyarakat yang merokok dengan memikirkan tempat bagi mereka yang merokok. Polusi udara bukan disebabkan karena asap rokok saja, melainkan juga asap kendaraan bermotor.
Kebijakan ini tentunya harus mengayomi seluruh masyakat Surabaya. Apalagi saat ini, perokok juga tau diri pada saat merokok karena mereka kebanyakan tidak sembarangan merokok.
Berbeda halnya dengan anggota Pansus Revisi Perda KTR lainnya, Reni Astuti. Ia menilai bahwa surat Kemendagri bukan hanya untuk daerah yang sudah memiliki Perda KTR, melainkan juga bagi daerah yang sudah punya Perda KTR tapi belum mengakomodir perundang-undangan diatasnya seperti PP 109/2012.
Menurut Reni, ada beberapa aturan baru dalam PP itu yang masuk dalam Perda 5/2008, salah satunya terkait tempat merokok dan penjualan rokok termasuk bagaimana menjual produk tembakau.
Reni melihatnya bahwa revisi perda ini sebagi bentuk kepatuan perundangan yang ada di atasnya. Sehingga kalau dikatakan Perda sebelumnya Pemkot Surabaya belum melakukan apapun sebagai pelaksanaan, tidaklah tepat.
Wali Kota Surabaya sendiri telah membentuk satgas yang tujuannya masih imbauan dan hasilnya sebenarnya sudah signifikan karena ada perubahan kebiasaan masyarakat untuk setidaknya tidak merokok secara sembarangan. (*)