Madiun (Antara Jatim) - Plt Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Madiun Muntoro Danardono mengatakan Kota Madiun melalui pemerintah daerahnya terus berkiprah dalam menjaga dan meningkatkan ketahanan pangan di wilayahnya guna terciptanya kesejahteraan hidup masyarakat.
Sebagai wilayah urban yang terus berkembang, Kota Madiun semakin memiliki permasalahan tentang lahan pertanian yang tentu saja akan berdampak pada produksi pangan dan ketahanannya.
"Lahan pertanian di Kota Madiun terus berkurang dan kita tidak bisa menghindarinya karena itu merupakan kebutuhan pembangunan dan perkembangan daerah. Hal ini jika tidak dicari solusinya pada jangka panjang akan berimbas pada ketahanan pangan setempat," ujar Muntoro.
Menurut dia, lahan pertanian yang ada di Kota Madiun saat ini tinggal tersisa 946 hektare akibat terimbas alih fungsi lahan. Setiap tahun rata-rata pengurangannya mencapai 1-2 persen.
Data Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan setempat mencatat, luas lahan pertanian di Kota Madiun pada 2015 masih sekitar 1.055 hektare. Luas lahan pertanian itu menyusut menjadi 1.040 hektare di tahun 2016 dan kini tinggal sekitar 946 hektare.
Jumlah padi juga menurun seiring dengan menyusutnya lahan yang dapat ditanami. Dimana produksi pada tahun 2015 tercatat masih sebesar 18.278 ton gabah kering giling (GKG). Kini jumlah produksi padi di Kota Madiun mencapai 17.942 ton.
Untuk menekan alih fungsi lahan, lanjut Muntoro, Pemkot Madiun sudah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang (RTRW) Wilayah Kota Madiun tahun 2010 hingga 2030. Namun, penyusutan lahan pertanian tetap terjadi secara signifikan setiap tahunnya.
Dalam perda tersebut terdapat lahan abadi yang dilarang untuk dialihfungsikan, yakni seluas 444 hektare hingga tahun 2030 di wilayah-wilayah yang telah ditentukan.
Selain itu, untuk meningkatkan produktivitas pangan terlebih padi, selama ini Pemkot Madiun dan kelompok tani setempat terus berinovasi di bidang pertanian meski lahan pertanian terus berkurang.
Salah satunya, yang dilakukan Kelompok Tani Subur di Kelurahan Nambangan Lor, Kecamatan Manguharjo, dengan teknologi "system of rice intensification" (SRI). Melalui SRI produktivitas padi petani bisa mencapai 10 ton per hektarenya. Sedangkan sistem konvesional hanya menghasilkan 6,5 ton setiap hektarenya.
Adapun, SRI merupakan teknologi budi daya padi yang menitikberatkan penghematan sumber daya terutama air yang sangat cocok dikombinasikan dengan penggunaan pupuk organik. Teknik tersebut menghemat penggunaan air hingga 30 persen dibandingkan cara konvensional, benih hingga tujuh kilogram per hektare, dan waktu tanam bibit muda yang ditanam pada usia tujuh hingga 10 hari setelah penyemaian.
"Selain itu, kita juga intesif melakukan koordinasi dengan dinas dan lintas instasi berwenang lainnya guna mendukung distribusi bahan pangan, baik nabati maupun hewani, yang tidak mampu diproduksi di Kota Madiun," kata Muntoro.
Hal itu bertujuan agar pasokan dan ketersediaan aneka bahan pangan (tidak hanya beras) di Kota Madiun aman. Sebab, ketahanan pangan tidak hanya melulu soal produksi dan ketersediaan pangan, namun juga akses pangan, pemanfaatan pangan, dan kestabilan pangan.
Dengan kestabilan pangan yang terjaga, tidak hanya kebutuhan pangan dan kesehatan masyarakat yang diraih. Namun juga tercapainya kestabilan soaial, ekonomi, dan keamanan suatu daerah dan bahkan negara. (*)