Ankara, (Antara) - Jika nasionalisme dianggap sebagai dogma, maka bagi rakyat Turki kata itu tidak saja dianggap ajaran, tapi sekaligus "dosa" yang diwariskan bapak pendirinya Mustafa Kemal Ataturk kepada mereka.
Betapa sangat layak disebut dosa sebab nasionalisme itu pula yang menjadi salah satu instrumen Turki untuk mendeklarasi diri sebagai negara sekuler dari sebelumnya muslim ortodok.
Nasionalisme itu pula yang hingga kini melekat amat kuat dalam setiap langkah rakyat negeri yang menjadi tempat berakhirnya Dinasti Utsmaniyah itu.
Barangkali penerus Mustafa pun menyadari bahwa satu-satunya warisan nasionalisme darinya harus terus lestari.
Maka tanpa Mustafa pun secara khusus pernah meminta, ia kini disemayamkan di sebuah puncak bukit yang menghadap langsung sebuah bukit lain di mana bendera Turki di puncaknya terus dikibarkan.
Atase Pertahanan untuk Turki Kolonel Laut (S) Yusliandi Ginting mengatakan teladan nasionalisme bapak pendiri Turki kepada rakyatnya melekat sangat kuat.
"Bendera-bendera simbol nasionalisme selalu dikibarkan di mana-mana, bahkan dengan tiang-tiang yang besar tanpa memandang ada momen kenegaraan atau tidak," ujar Y Ginting.
Sejarah pun pernah mencatat di mana Mustafa Kemal Ataturk pada 29 Oktober 1938 pernah menyampaikan pesan khusus kepada para tentaranya agar tak pernah lekang membela kehormatan negara.
Maka seratus tahun sejak kelahirannya pada 19 Mei 1981, pesan terakhirnya diukirkan pada dinding Mausoleum di Anitkabir tempat jasadnya disemayamkan hingga kini.
Pesan terakhirnya kepada tentara Turki telah menjadi Prasasti Ataturk yang terus lestari tak jauh dari makamnya yang terlapisi marmer.
Dalam Inscription of Ataturk di dinding sebelah kanan Mausoleum Ataturk, tertulis "Last Message to The Turkish Army" yang diukir di logam keemasan dan ditempelkan di dinding.
"I address The Turkish Army whise record of victory started at the dawn of the history of mankind and which has carried the light of civilization on its victorious progress. If you saved your country from oppression, tragedy and enemy invasion in the most critical and difficult times, I have no doubt that in the fruitfull era of the republic equipped with all the modern weapons and means of military science, you will conduct your duty with the same loyalty.
Our great nation and I are sure that you are always prepare to carry out your duty of defending the honour of our country and our civilization against any danger, from inside or outside."
Pesan itu diprasastikan di dinding Mausoleum tepat pada peringatan 100 tahun kelahiran Mustafa Kemal Ataturk hingga kini menjadi simbol betapa nasionalisme adalah warisan yang dianggap paling berharga dari Mustafa bagi rakyatnya.
Nasionalisme Simbol
Hal itulah yang boleh jadi menguatkan rakyat Turki untuk terus menghidupkan nasionalismenya. Barangkali ketika mereka lupa, mereka akan bergegas menuju Mauseleum Ataturk untuk mengingat kembali prasasti bapak pendirinya.
Maka inilah semboyan negara Turki hingga kini "Egemenlik kay'ts'z 'arts'z milletindir" yang berarti bahwa "Sovereignty rests unconditionally with the nation" atau "Kedaulatan bersandar tanpa syarat pada negara ini".
Duta Besar RI untuk Turki Wardana mengakui selama dua tahun bertugas di negara itu, ia merasakan benar kuatnya nasionalisme yang disimbolkan dalam banyak hal oleh masyarakatnya.
"Simbol-simbol nasionalisme seperti bendera menjadi layaknya hiasan yang semakin menguatkan semangat nasionalisme rakyatnya," ucapnya.
Di setiap sudut Kota Ankara, misalnya, bendera Turki berkibar di berbagai tempat tanpa peduli ada momen khusus atau tidak.
Cara mereka menghargai negaranya sekaligus menjadi bukti betapa Mustafa Kemal Ataturk demikian kuat menerapkan ajaran nasiolisme kepada rakyatnya.
Meski tak seluruhnya merupakan teladan yang apik, mereka pada akhirnya mampu memisahkan kehidupan beragama dengan politik sehingga isu perpecahan yang berdasar agama dianggap menjadi sesuatu yang sama sekali tak beralasan.
Sekularisme pun diartikan bukan sekadar sebagai kebebasan tak beragama melainkan kebebasan menjalankan agama tanpa politisasi.
Tak heran jika rumah-rumah ibadah berkembang dengan sangat baik di negara sekuler itu.
Bahkan Blue Mosque (masjid biru) di Istanbul menjadi simbol betapa keislaman bisa menjadi landmark yang begitu kuat di sebuah negara yang kabarnya boleh memeluk keyakinan untuk tidak percaya Tuhan itu.
Sementara Museum Hagia Sophia menjadi simbol kebersatuan, toleransi, akulturasi, dan globalisasi yang dimulai bahkan sejak ratusan tahun silam. Ketika Romawi, Kekristenan, berpadu dengan Utsmani, Otoman, dan Keislaman dalam sebuah karya arsitektur yang begitu sulit untuk dilupakan sejarah.
Mengambil Pelajaran
Nasionalisme ala Turki menjadi bahan pelajaran yang bisa diambil bangsa Indonesia.
Meski tak perlu menjadi kiblat bagi sebuah isme terbaik, nyatanya nasionalisme bisa membuat Turki nyaris jarang terusik oleh isu-isu agama yang dipolitisasi.
Nasionalisme itu pula yang telah menyatukan suara rakyat Turki untuk membangun negaranya.
Mereka bersatu lantaran sebuah nasionalisme yang kuat warisan bapak pendirinya hingga satu suara bahkan untuk mengatasi tantangan bersama yang semakin besar di negara itu.
Betapa tidak, Turki adalah laboratorium sekaligus sebagai etalase sebuah negara yang berdekatan dengan pusat konflik dunia. Secara geografis ia tak bisa menyangkal karena berbatasan langsung dengan Suriah.
Maka Turki menghadapi tantangan sebagai negara perlintasan "Foreign Terrorist Fighters" (FTF), sekaligus penampung pengungsi dari Suriah yang masuk.
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi juga mengungkapkan bahwa Turki memiliki tantangan berat, karena memiliki posisi yang sangat strategis dalam artinya banyak sekali FTF yang pergi ke Suriah melalui Turki.
"Selain itu, juga karena letak geografisnya yang berdekatan dengan Suriah sehingga menerima banyak sekali pengungsi dari Suriah yang jumlahnya lebih dari 2 juta orang," ujarnya.
Dengan kata lain bahwa Turki memiliki tantangan yang amat pelik baik secara eksternal maupun internal.
Namun, toh nyatanya nasionalisme telah mampu menyatukan rakyatnya hingga isu-isu perpecahan internal bangsanya nyaris jarang sekali mengemuka.
Sedikit teladan bagi bangsa Indonesia untuk menyadari agar tidak larut dalam isu-isu politisasi isu agama yang mengundang perpecahan. Sementara ancaman terorisme justru semakin tampak di depan mata.(*)
Video Oleh Hanni Sofia
Pesan Terakhir Mustafa di Dinding Mausoleum Ataturk (Video)
Minggu, 9 Juli 2017 20:24 WIB