Sidoarjo (Antara Jatim) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur menilai kasus semburan lumpur Lapindo masih menyisakan berbagai persoalan menyusul yang selama ini tampak adalah penyelesaian ganti rugi saja.
Direktur Eksekutif Walhi Jatim Rere Christanto do Sidoarjo, Senin mengatakan 11 tahun semburan lumpur Lapindo, tetapi yang nampak dipahami masyarakat luas yang awam dengan kasus Lapindo adalah perihal penyelesaian ganti-rugi.
"Yang masih luput dari publik adalah fakta bahwa penggantian kerugian yang diderita korban telah direduksi menjadi sebatas 'jual-beli' tanah dan bangunan antara warga-korban dengan Lapindo atau pemerintah," katanya saat temu media memperingati sebelas tahun semburan lumpur Lapindo.
Ia mengemukakan, mekanisme jual beli sebagai model ganti rugi kepada korban justru memunculkan persoalan sosial baru, karena pemerintah hanya memperhitungkan kerugian materiil dan mengabaikan hilangnya hak-hak korban yang lain setelah keluarnya semburan lumpur panas Lapindo.
"Salah satu persoalan yang kemudian dilupakan adalah fakta degradasi kondisi lingkungan di wilayah semburan lumpur Lapindo," katanya.
Ia menjelaskan, berdasarkan penelitian Walhi pada tahun 2008 menyimpulkan bahwa tanah dan air di area sekitar lumpur panas mengandung PAH (Polycyclic Aromatic Hydrocarbon) hingga 2.000 kali di atas ambang batas normal.
"Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) menyatakan bahwa PAH adalah senyawa organik yang berbahaya dan bersifat karsiogenik atau memicu kanker," ujarnya.
Pada tahun 2016, kata dia, penelitian logam berat yang dilakukan Walhi Jawa Timur menunjukkan level timbal (Pb) dan Cadmium (Cd) pada air sungai Porong mencapai angka 10 kali di atas ambang batas yang diperbolehkan di lingkungan.
"Bukan hanya di air saja, level tinggi logam berat juga ditemukan dalam tubuh biota di sungai Porong yang dijadikan buangan untuk semburan lumpur Lapindo," ucapnya.
Kontaminasi logam berat juga terkonfirmasi ada dalam sumur warga di desa-desa sekitar semburan lumpur Lapindo.
"Pada pembacaan dari dua desa yakni Gempolsari di Kecamatan Tanggulangin dan Glagaharum di Kecamatan Porong, ditemukan kandungan timbal (Pb) 2-3 kali di atas ambang batas yang diperbolehkan, dan kandungan kadmium (Cd) hingga 2 kali di atas ambang batas yang diperbolehkan," ucapnya.
Ia menjelaskan, kondisi ini mengakibatkan air sumur di sekitar semburan lumpur Lapindo tidak bisa dipakai sebagai konsumsi untuk air minum warga.
"Indikasi menurunnya derajat kesehatan warga bisa dilihat dari melonjaknya jumlah penderita ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) di Puskesmas Porong dan Jabon," katanya.
Ia menambahkan, di wilayah Puskesmas Jabon data penderita ISPA melonjak 150 persen dari kondisi normal, yakni dari rata-rata 60 kasus menjadi 170 kasus.
"Dari hasil pemeriksaan kesehatan terhadap 20 korban Lapindo yang dilakukan secara acak, ditemukan 10 korban Lapindo sebanyak 50 persen yang mengalami kelainan pada pemeriksaan darah dan urine sedangkan 4 korban lapindo mengalami kelainan pada pemeriksaan toraks," katanya.
Oleh karena itu, lanjut dia, pemerintah harus mulai membaca ulang skema penyelesaian kasus Lapindo dengan memasukkan pemenuhan sepenuhnya hak-hak korban Lapindo menjadi isu arus utama yang wajib dituntaskan.
"Karena tugas negara untuk memastikan bahwa setiap warga negara mendapatkan hak-haknya. Ketidakmampuan negara memastikan terpenuhinya hak-hak korban Lapindo yang hilang akan semakin menegaskan asumsi bahwa pada kasus semburan lumpur Lapindo, negara telah absen," ujarnya.(*)