Jember (Antara Jatim) - Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur Rere Christanto mengatakan sebanyak 608.913 hektare lahan hutan di wilayah setempat dalam kondisi kritis karena eksploitasi tambang secara berlebihan.
"Saat ini total izin pinjam pakai kawasan hutan untuk eksplorasi tambang di Jatim seluas 3.983 ha, namun dampaknya menyebabkan kerusakan hutan mencapai 608.913 ha," tuturnya dalam jumpa pers memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia di Kabupaten Jember, Minggu.
Menurutnya, persoalan kerusakan hutan juga menjadi titik kritis pengelolaan kawasan di Jatim dan tingkat kerusakan sedemikian masif adalah indikasi penting adanya upaya kebijakan secara sistematis untuk "membunuh" Jawa dengan krisis ekologi.
"Pembiaran terhadap konflik-konflik sumber daya alam dan lingkungan hidup, serta pelanggaran perizinan terhadap wilayah yang mempunyai nilai penting secara ekologis tidak bisa dibiarkan karena semakin banyak hutan lindung yang rusak dan meningkatnya jumlah bencana ekologis yang terjadi di Jatim," tuturnya.
Ia mengatakan konflik-konflik sumber daya alam yang terus terjadi menunjukkan kegagalan komitmen penataan kawasan di Jawa Timur oleh pemerintah, seperti kasus di kawasan pesisir selatan Jatim yang terjadi sebanyak tiga kali dalam kurun waktu sebulan.
"Pada 26 September 2015, dua aktivis yang menolak tambang pasir besi di Desa Selok Awar-Awar Lumajang dibantai hingga menyebabkan Salim Kancil meninggal dunia dan Tosan mengalami luka parah. Pada 2 November 2015, truk yang diduga pengangkut pasir besi dihadang massa dan dibakar di Paseban, Kabupaten Jember dan 26 November 2015, massa yang memprotes penambangan emas di Tumpang Pitu Kabupaten Banyuwangi menghadapi kekerasan aparat," katanya.
Selain pertambangan pesisir selatan, lanjut dia, konflik yang mengemuka adalah persoalan sumber daya air, pada kawasan hulu seperti Malang Raya, ekspansi besar-besaran industri pariwisata menyebabkan matinya sumber mata air.
"Di Kota Batu, dari 111 sumber mata air yang pernah tercatat, sekarang hanya tersisa 57 mata air. Prakarsa masyarakat untuk penyelamatan sumber daya air tidak jarang harus menghadapi ancaman konflik, bahkan kriminalisasi," ujarnya.
Ia mengatakan Walhi Jatim meragukan kesungguhan penuntasan konflik sumber daya alam oleh pemerintah karena sampai saat ini belum ada kebijakan yang jelas dan konsisten terkait penataan kawasan dan pengkajian menyeluruh terhadap wilayah-wilayah yang punya nilai penting secara ekologis.
"Di Jatim belum semua daerah sudah mempunyai dokumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis, padahal dokumen itu menjadi dasar penataan kawasan dan pengelolaan sumber daya alam," katanya menambahkan.
Rere menjelaskan salah satu contoh kegagalan penataan kawasan yang terlihat jelas adalah masalah pesisir selatan Jatim dan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Jawa Timur telah menggarisbawahi kawasan selatan Jawa, termasuk Jawa Timur adalah kawasan rawan bencana tsunami.
"Dengan mengacu itu, penataan kawasan di pesisir selatan seharusnya ditujukan untuk meminimalisir dampak kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh bencana, sehingga keputusan untuk melepas wilayah tersebut menjadi wilayah pertambangan merupakan sebuah pertanyaan besar," ujarnya.
Ia menegaskan perlu langkah nyata dari Pemprov Jatim dan segenap jajaran pemerintah daerah untuk menghasilkan kebijakan yang mampu mencegah berulangnya konflik-konflik sumber daya alam di Jatim.
"Ketegasan terhadap aturan tata kelola lingkungan hidup, penataan dan perlindungan kawasan yang memiliki nilai penting secara ekologis menjadi syarat mutlak bagi pemulihan lingkungan hidup dan menjadi bagian dari usaha besar penurunan risiko bencana ekologis, serta penyelamatan ruang hidup rakyat," katanya menambahkan.(*)