Lalu Lintas
Ruas-ruas jalan di Tianjin, Yunnan dan Beijing relatif sama dengan kota-kota lain di Tiongkok, lebar dan lurus. Jalan di pusat kota relatif tidak selebar daerah pengembangan kota, meskipun jika dibandingkan dengan jalan-jalan kota di Indonesia masih sangat lebar.
Jalan di pusat Kota Tianjin tidak terlalu lebar dibandingkan dengan pusat pengembangan baru karena wilayah pusat kota terdapat bangunan-bangunan bersejarah dan jika dirobohkan biayanya sangat tinggi.
Sementara di Yunnan, jalan ke luar kota justru terhubung dengan jalan tol yang lurus dan lebar. Bahkan, pembangunan jalan tol di Yunnan cukup fantastis karena dibangun di atas bukit, mengepras dan mengebor bukit. Pemandangan itu bisa disaksikan ketika melintas dari Kunming ke kawasan Yu Xi, Xi Lin atau Dali yang harus melintasi empat terowongan sepanjang seratus meter hingga 500-an meter. Teknologi dan produktivitas mereka dalam teknik sipil sekaligus arsitektur sangat tinggi.
Kondisi yang sama dapat di temui di Ibu Kota RRT, Beijing , yang jalannya lurus dan lebar menghubungkan barat-timur dan utara selatan. Jalan di depan Lapangan Tiananmen misalnya, sangat lebar sehingga arus lalu lintas terkesan lengang.
Arsitektur bangunan-bangunan di pusat Kota Tianjin, Yunnan dan Beijing layaknya bangunan di berbagai kota di Tiongkok, bernuansa barat. Bahkan, terkait dengan nuansa barat ini, di Tianjin dikenal dengan kisah Perang Boxer yakni gerakan masyarakat China dalam melawan dominasi bangsa Eropa dan Jepang. Di sejumlah titik bahkan terlihat monumen perlawanan mereka.
Di sepanjang jalan juga terdapat pohon-pohon penghijauan. Semakin keluar pusat kota, penghijauannya cukup terasa. Suasana hijau semakin cantik ketika di sejumlah titik terdapat taman-taman kota. Lingkungan sangat terjaga.
Dengan fasilitas jalan yang lebar bukan berarti tidak terjadi kepadatan. Arus lalu lintas di Yunnan, Tianjin dan Beijing cukup terasa pada jam masyarakat pergi dan pulang bekerja atau sekolah. Arus lalu lintas menuju kota terlihat pada pagi hari, dan arus lalu lintas ke luar kota padat pada sore hari.
Apalagi, arus lalu lintas di persimpangan-persimpangan jalan. Meski persimpangan terlihat lebar, tapi menyatunya pejalan kaki, pengendara mobil dan pengendara sepeda motor listrik, menjadikan arus lalu lintas di persimpangan terkesan semrawut. Dengan demikian, harus hati-hati dan polisi yang ada di sejumlah titik jalan seperti halnya di Indonesia juga harus turun tangan mengaturnya.
Pengendara sepeda motor di Tiongkok tidak wajib mengenakan helm seperti di Indonesia. Alasannya, konon mereka hanya menggunakan sepeda motor listrik yang kecepatan maksimalnya tidak boleh lebih dari 30 kilometer per jam.
Semua sepeda motor yang beroperasi di Tiongkok , khususnya di kota-kota besar, menggunakan tenaga listrik. Jika ada pengguna sepeda motor berbahan bakar bensin dan sejenisnnya akan ditangkap, karena itu ilegal. Dengan demikian, polusi udara di negara ini bisa ditekan. Bahkan, biaya operasionalnya pun jauh lebih murah. Sekali mengisi listrik (charge), diperkirakan cukup untuk mengendarai sepeda motor listrik sejauh 82 kilometer.
Perusahaan di Tiongkok kini juga sudah mulai menawarkan produk sejenis di Indonesia, khususnya Jatim dan Surabaya. Sebanyak 40-an siswa Sekolah Menegah Kejuruan (SMK) di Jatim telah dilatih selama sekitar sebulan di Tianjin untuk merakit sepeda motor jenis ini.
"Diharapkan nantinya mereka bisa memproduksi sepeda motor listrik di Indonesia. Dalam tahap awal kita targetkan para siswa tersebut bisa memproduksi 300-500 unit per bulan. Sedangkan harga sepeda motor itu diperkirakan lima jutaan rupiah," kata Direktur Kerja Sama Tianjin- Jatim, Jasper Ho, beberapa waktu lalu. (Bersambung...). (*)