Probolinggo (Antara Jatim) - Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Probolinggo, Jawa Timur meminta pemerintah membatasi impor tembakau karena hal tersebut berdampak pada penurunan harga jual tembakau di sejumlah daerah.
"Kebijakan impor harus disesuaikan dengan kebutuhan tembakau dalam negeri, sehingga tidak berdampak merugikan petani yang sudah menanam tembakau," kata Ketua APTI Kabupaten Probolinggo Mudzakir saat dihubungi di Probolinggo, Senin.
Berdasarkan data, lanjut dia, kebutuhan tembakau untuk pabrik rokok dalam setahun sebanyak 300.000 ton, sedangkan produksi tembakau dalam negeri berkisar 240.000 – 260.000 ton per tahun.
"Seharusnya impor tembakau berkisar 40.000 hingga 60.000 ton per tahun sesuai dengan kebutuhan, namun informasinya impor tembakau mencapai 150.000 – 200.000 ton, sehingga hal itu akhirya membuat harga jual tembakau di tingkat petani rendah," tuturnya.
Saat ini, katanya, harga jual tembakau Paiton Voor Oogst (Paiton VO) kualitas atas (top grade) di tingkat petani sebesar Rp32.000 per kilogram dan nilai itu lebih rendah dibandingkan harga jual tahun 2012 yang mencapai Rp45.000 per kilogram.
"Harganya memang menurun perlahan sejak tahun 2012. Dulu paling murah atau kualitas rendah saja masih laku terjual sampai Rp22.000 per kilogram, sekarang maksimal kualitas yang sama hanya laku Rp18.000 per kilogram," katanya.
Ia mengatakan luas areal tanam tembakau di Kabupaten Probolinggo menurun drastis hampir 50 persen dibandingkan setengah dekade silam itu yang tercatat pada tahun 2012 luas areal tembakau sekitar 15.000 hektare.
"Tahun ini ditargetkan luas areal tanamnya sama dengan tahun lalu sekitar 10.774 hektare, sedangkan realisasi areal tanam 2016 hanya sekitar 9.500 hektare karena banyak petani tembakau yang beralih menanam padi, jagung dan bawang merah," ujarnya.
Petani asal Desa Jatiurip, Kecamatan Krejengan itu berharap agar pemerintah bisa lebih bijak dalam melakukan impor tembakau dan memang ada jenis tembakau impor yang diperlukan oleh Indonesia karena berbeda jenis dengan yang ada di dalam negeri.
"Seperti tembakau dari Turki, pabrik rokok masih membutuhkan jenis tembakau itu untuk campuran rokok, sedangkan tembakau impor dari Amerika dan Tiongkok sebenarnya tidak diperlukan, apalagi isu yang beredar harga tembakau impor lebih murah dibandingkan tembakau lokal," katanya.
Mudzakir berharap pemerintah bisa menekan laju impor tembakau karena banjirnya impor komoditas itu dapat menyebabkan tembakau petani lokal justru tidak terbeli, sedangkan di sisi lain, sistem budi daya tembakau yang lebih baik juga diperlukan untuk menunjang produktivitas dan kualitas tembakau petani di Indonesia.(*)