Kota Surabaya sudah menggeliat. Sinar matahari pagi terlihat semburat di ufuk timur. Calon penumpang pun mulai memadati ruang tunggu Stasiun Gubeng untuk naik Kereta Api Sancaka yang akan mengantarkannya ke kota tujuan.
Tidak selang beberapa lama, kereta api tiba. Penumpang dengan tertib naik ke gerbong masing-masing. Udara sejuk menyergap dari balik ruangan yang bersih dan tempat duduk nan rapi.
Kereta api mulai merayap, menyapa satu kota ke kota lain. KA Sancaka mengantarkan penumpang dari Stasiun Gubeng Surabaya dengan tujuan akhir Stasiun Tugu Yogyakarta.
Dari kota-kota yang disinggahi KA Sancaka, Kota Klaten merupakan kota tujuan sebagian penumpangnya. Kota Klaten merupakan kota kecil di antara Solo dan Yogyakarta. Kota itu selama ini di bawah bayang-bayang perkembangan dua kota yang mengapitnya.
Padahal, Klaten sebenarnya juga memiliki potensi wisata yang eksotis dan menarik. Salah satu objek wisata yang patut dikunjungi adalah tempat pemakaman Sunan Bayat atau Sunan Pandanaran atau Sunan Jabalkat.
Untuk menuju objek wisata di kawasan Klaten bagian selatan ini, tidak terlalu jauh, hanya sekitar delapan kilometer dari Stasiun Klaten yang bersebelahan dengan terminal bus Klaten.
Wisatawan dari arah Yogyakarta bisa juga mengambil jalur dari Bendo Gantungan berbelok ke kanan, tidak perlu sampai ke terminal bus Klaten. Setelah itu, melintasi daerah Kecamatan Wedi dan menyusuri jalan beraspal hingga sampai di Desa Paseban, Kecamatan Bayat.
Jalan menuju Paseban, baik dari terminal bus Klaten ataupun yang melintasi jalan dari daerah Wedi hingga ke lokasi pemakaman Sunan Pandanaran, sangat bagus, beraspal.
Selama perjalanan, sejauh mata memandang akan terantuk pepohonan rindang maupun hamparan sawah nan hijau. Klaten merupakan salah satu daerah lumbung padi di Jawa Tengah. Tanah pertanian di daerah ini dikenal sangat subur. Bahkan, satu produk beras yang cukup dikenal luas adalah beras rojolele dari Delanggu yang dulu juga dikenal pabrik karung goni.
Ketika sudah mendekati objek wisata makam Sunan Pandanaran, khususnya yang dari stasiun atau terminal bus, akan bertemu dengan telaga atau masyarakat setempat menamakannya rowo, yakni Rowo Jombor.
Konon, Rowo Jombor dulu merupakan dataran rendah yang berbentuk cekungan luas dan dikelilingi oleh barisan pegunungan. Akibatnya, dataran rendah ini sering tergenang air, baik pada saat musim hujan maupun musim kemarau.
Telaga atau rowo yang dulu berada di Desa Jombor, kini berubah menjadi Desa Krakitan. Rowo ini sekarang menjadi lokasi warung apung. Puluhan warung apung yang menjajakan aneka ikan bakar dan ikan goreng ini berjajar mengitari sebagian sisi telaga. Sedangkan pada sisi lainnya dimanfaatkan oleh masyarakat setempat menjadi tempat budi daya ikan dengan karamba.
Industri Gerabah Melikan
Sebelum tiba di komplek pemakaman Sunan Pandanaran, wisatawan dapat meluangkan waktu sejenak untuk menikmati dan berbelanja aneka macam gerabah dari Desa Melikan, Kecamatan Wedi. Lokasi desa ini berdampingan dengan Rowo Jombor.
Hasil kerajinan gerabah dari Desa Melikan cukup variatif seperti kendi, piring, wajan, vas atau pot bunga dan produk-produk gerabah lainnya. Keramik atau gerabah produk desa ini ditawarkan mulai ribuan rupiah hingga ratusan ribu rupiah tergantung jenis, ukuran dan motif.
Untuk menemukan "Desa Gerabah" ini sangat mudah karena produk gerabah masyarakat dipajang hampir di sepanjang jalan. Gerabah dengan berbagai ukuran dan jenis terlihat di "showroom" pinggir jalan.
Produk gerabah dari Desa Melikan meski sekilas relatif sama dengan produk daerah lain, tapi teknik pembuatan yang digunakan perajin dari daerah ini, dengan putar miring, konon sangat langka.
Usai menikmati indahnya kerajinan gerabah Desa Melikan, wisatawan tinggal melanjutkan perjalanan sekitar satu kilometer untuk tiba di kawasan makam Sunan Pandanaran yang rindang dan berada di perbukitan.
Menurut literatur yang ada, Sunan Bayat atau Ki Ageng Pandanaran, adalah seorang adipati di daerah Pandanaran (sekarang Semarang) yang diangkat Raja Demak Bintoro. Adipati ini kemudian menjadi murid Sunan Kalijaga dan menyebarkan agama Islam di sekitar Bayat, Klaten.
Lokasi makam Sunan Bayat atau Sunan Pandanaran berada di Desa Paseban, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Komplek makam terletak di atas perbukitan yang sering disebut Gunung Jabalkat. Oleh karena itu, ada yang menyebut Sunan Bayat dengan nama Sunan Pandanaran atau Sunan Jabalkat.
Seperti halnya makam raja pada masa lalu, makam Sunan Bayat berada di perbukitan yang untuk mencapainya harus menaiki anak tangga. Gapura di depan makam juga artistik, memiliki arsitektur zaman kerajaan.
Sunan Pandanaran meskipun tidak masuk dalam Walisongo, namun banyak yang menganggap bahwa Sunan Bayat adalah sunan ke-sepuluh. Makam Sunan Pandanaran selama ini juga menjadi paket kunjungan wisata religi dari berbagai daerah di Jawa. Masyarakat banyak berziarah ke tempat ini. Nah, selamat mengunjungi Klaten yang ternyata memiliki potensi wisata yang sangat menarik... (*)
Video oleh: Slamet Hadi Purnomo