Surabaya (Antara Jatim) - Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair) Surabaya bersama Pemerintah Belanda membahas program pengembangan transplantasi ginjal guna mengurangi kasus gagal ginjal di Indonesia dalam seminar bertajuk "The New Paradigm for Kidney Transplantation and Hemodialysis".
Ketua panitia seminar dr Widodo di Surabaya, Kamis mengatakan dalam seminar yang digelar 6-8 April ini, para dokter Indonesia dan Belanda membahas program pengembangan transplantasi ginjal di Indonesia yang masih sangat minim.
"Di Indonesia saat ini banyak pasien gagal ginjal tahap 5. Upaya penanganan gagal ginjal tahap 5 dengan hemodialisis atau cuci darah tidaklah cukup dan harus dengan transplantasi," kata dia.
Selain itu, kata Widodo, seminar tersebut juga bertujuan untuk membentuk jaringan transplantasi antar-RS di Indonesia. "Yang terpenting, mematangkan aturan soal transplantasi ginjal, perlindungan pada yang donor dan menghindari jual-beli ginjal," kata dia.
Sementara itu, mantan Kepala Instalasi Dealisis Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Soetomo Surabaya dr Pranawa mengatakan, kasus penyakit ginjal akhir-akhir ini meningkat.
"Transplantasi ginjal pertama dilakukan di Surabaya tahun 1988. Kasus pertama pada 1988. Hanya saja tidak banyak transplantasi yang bisa kami lakukan. Ini karena terbatasnya donor transplantasi ginjal," tutur Pranawa.
Dia menjelaskan, keterbatasan pendonor ginjal di Indonesia bukan karena masalah biaya. Hal itu dikarenakan BPJS menanggung transplantasi ginjal hingga Rp300 juta.
Dia menyebut, masalah transplantasi di Indonesia adalah hukum perundangan. Selain itu, masalah lain terkait asumsi masyarakat yang menyebut orang yang mendonorkan ginjalnya akan menanggung bahaya.
"Padahal orang yang mendonorkan ginjalnya usia lebih panjang, angka harapan hidup kebih panjang. Ini karena yang donor adalan orang-orang pilihan dan setelah donor akan berhati-hati dalam hidup," ujarnya.
Opsi donor ginjal dari jenazah dari jenazah, kata Pranawa, masih menjadi keberatan masyarakat. Terlebih donor ini hanya bisa dilakukan pada orang yang mengalami mati batang otak (MBO). Selain itu, dokter yang melakukan transplantasi tidak boleh yang ikut menangani pasien MBO tersebut.
"Sampai sekarang di Surabaya sejak 1988 baru melakukan 42 transplantasi. Surabaya kalah jumlah dibanding Rumah Sakit (RS) di Jakarta yang sudah melakukan lebih dari 50 transplantasi. Meski demikian di Surabaya lebih kaya kasus. Ada anak donor ke ibu, ibu donor ke anak dan lainnya," katanya.
Pranawa mencontohkan, ada ibu yang donor ginjal ke anaknya 30 tahun lalu masin hidup dan berusia 89 tahun. Operasi dilakukan tahun 1989. Ada yang cangkok ginjal tahun 1988 dan masih hidup sampai sekarang.
"Di Saudi Arabia yang negara Islam, kebutuhan transplantasi per tahun mencapai 500. Dari jumlah itu ada transplantasi hidup dan jenazah," kata dia.(*)