Begitu mendengar istilah "nuklir", maka di benak siapapun sudah muncul asumsi negatif bahwa hal itu tentang bencana dalam skala maha dahsyat.
Karenanya, begitu seorang motivator "corporate" dari PT Total Quality Surabaya, Johan Yan, menemukan manfaat nuklir untuk menguji keaslian benda cagar budaya, seperti arca, maka hal itu rasanya sulit dipercaya.
Bersama dua peneliti yakni Prof Drs Samin Prihatin (ahli nuklir kimia BATAN) dan Prof Dr KP Timbul Haryono Hadiningrat MSc (pakar arkeometalurgi UGM Yogyakarta), Johan Yan menemukan metode baru untuk menguji keaslian arca Maha Nandi selama lima tahunan.
Selain temuan metode baru dengan menembakkan sinar nuklir ke benda cagar budaya itu, teknologi nuklir sebagai alat uji keaslian benda cagar budaya itu juga menyelamatkan nyawa para peneliti cagar budaya yang jumlahnya tidak banyak itu.
"Peneliti cagar budaya itu terancam nyawanya dan hal itu bukan cerita rahasia lagi, karena mereka sering menghadapi mafia benda cagar budaya yang ingin barang miliknya yang tidak asli dinyatakan asli dengan sedikit ancaman," ucapnya dalam sebuah wawancara khusus di Surabaya, Januari 2017.
Pemilik Museum Mahanandi, Jalan Raya Jemursari, Surabaya yang bergelar KRA Johan Yan Hadiningrat itu menjelaskan teknologi nuklir sebagai alat uji keaslian benda cagar budaya itu memiliki banyak nilai tambah.
"Dengan sinar nuklir yang ditembakkan ke benda cagar budaya oleh ahlinya (Prof Samin Prihatin), maka penelitian keaslian benda cagar budaya itu tidak perlu dilakukan dengan mencukil bendanya, sehingga benda cagar budaya itu tidak cacat," tuturnya.
Selanjutnya, Prof Timbul Haryono sebagai pakar arkeometalurgi akan "membaca" komponen kuno di dalamnya yang dengan teknologi nuklir itu akan terlihat semuanya hingga bagian terkecil (partikel).
"Saya menjadi bangga terhadap nenek moyang kita yang ternyata memiliki kemampuan canggih dalam keterbatasan," katanya.
Sebagai ungkapan syukur, Johan Yan membukukan hasil temuan itu dalam sebuah buku berjudul "Maha Nandi Dalam Perspektif Arkeometalurgi dan Teknologi Nuklir" yang sebanyak 5.000 buku itu sudah dibagikan secara gratis kepada museum di Indonesia pada 5 Februari 2017.
Dalam pertemuan dengan ratusan direktur dalam sebuah kegiatan bertajuk "Terima Kasih BagiMu, Indonesiaku" itu, ia mengatakan ribuan buku itu tidak hanya diberikan kepada museum, namun juga universitas, dan perpustakaan.
"Saya harapkan, buku itu mampu menginspirasi pemetaan benda-benda arkeologi yang ditemukan, membendung penjualan, penipuan dan penghancuran benda cagar budaya yang marak terjadi, seperti benda cagar budaya di Gunung Penanggungan yang dijarah orang-orang tidak bertanggung jawab," katanya.
Masterpiece Indonesia
Secara teknis, ahli nuklir kimia dari BATAN Prof Drs Samin Prihatin menegaskan bahwa keaslian sebuah benda cagar budaya dapat dibuktikan secara ilmiah, karena dirinya sudah melakukan pendekatan kualitatif pada 21 Februari 2012 dan pendekatan kuantitatif pada 25 Februari 2012.
"Identifikasi benda cagar budaya melalui pola dan unsur yang direkam dalam bank data itu mampu membuktikan asli dan palsu dari benda itu. Hasil penelitian, kami menemukan delapan unsur logam yang terdapat di Arca Maha Nandi," katanya.
Kandungan logam arca itu pada wilayah padmasana, antara lain Fe 132 (01,81 persen), Ni 2113 (28,61 persen), Cu 3158 (42,76 persen), Zn 499 (06,75 persen), Pb 77 (01,04 persen), Ag 55 (00,74 persen), Sn 940 (12,73 persen), Sb 94 (01,27 persen), dan Au 240 (03,25 persen).
Untuk kandungan logam arca itu pada wilayah ekor terdiri dari Fe 99 (02,42 persen), Ni 97 (02,37 persen), Cu 1952 (47,76 persen), Zn 1148 (28,09 persen), Pb 46 (01,12 persen), Ag 16 (00,36 persen), Sn 535 (13,09 persen), Sb 54 (01,32 persen), dan Au 99 (02,42 persen).
"Jadi, secara nuklir itu akhirnya dapat menemukan delapan unsur di dalam arca itu dengan metode bias dan tidak destruktif, karena arca yang ada tetap utuh. Apalagi, kesimpulan itu bukan oleh manusia, namun pembuktian ilmiah, sehingga peneliti benda cagar budaya bisa selamat," katanya.
Delapan unsur logam yang terkandung di dalam arca Maha Nandi itu akhirnya "dibaca" oleh guru besar bidang arkeologi Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Prof Dr Timbul Haryono MSc, yang akhirnya dipaparkan dalam buku itu.
"Tidak hanya delapan unsur logam di dalam Arca Maha Nandi itu, namun juga ada keistimewaan lain berupa adanya relic di dalamnya. Penemuan Relic itu berawal dari kejanggalan ketika arca ini difoto Pak Johan Yan dengan HP. Cahayanya selalu terfokus pada bagian perut," katanya.
Dari hasil penelitian yang berkesinambungan akhirnya diketahui ada semacam logam emas di dalam perut arca yang merupakan relic. Dalam referensi Domela Niewenhuis (1983), relic disebutkan sebagai benda suci yang dimasukkan ke dalam benda pemujaan untuk 'mengundang' kehadiran dewa.
"Penemuan relic ini sama dengan temuan arca emas pada pasangan dewa yang saling berpegangan tangan di Gua Gunung Seplawan, Donorejo, Kaligesing, Purworejo, Jawa Tengah, oleh Martowikrido pada tahun 1999," katanya.
Menurut Johan Yan, temuan relic itu disebut oleh Direktur Peninggalan Purbakala Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Junus Satrio Atmodjo sebagai masterpiece Indonesia. "Pak Junus Satrio memberikan kesimpulan itu melalui surat elektronik yang saya terima," katanya.
Hal itu, karena kelangkaan yang tidak tergantikan. "Ini adalah satu-satunya arca Nandi dengan ekor tegak dan kepala menengadah ke atas dengan relic suci di dalamnya sebagai tanda penyatuan dewa Syiwa dalam diri Nandi. Biasanya, arca Nandi yang ditemukan di Nusantara, kepalanya datar ke depan, dengan ekor ke samping menempel pada tubuh," kata Johan Yan.
Agaknya, bukan hanya kandungan logam di dalam Arca Maha Nandi itu yang menjadi "masterpiece" untuk tingkat kelangkaan benda cagar budaya itu, namun temuan Johan Yan dan dua peneliti tentang cara uji keaslian benda cagar budaya juga merupakan "masterpiece" untuk dunia keilmuan dan kepurbakalaan di dunia. (*)