Madiun (Antara Jatim) - Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus menebar jala dalam
menyelidiki perkara gratifikasi yang melibatkan Wali Kota Madiun
Bambang Irianto dalam proyek pembangunan Pasar Besar Madiun (PBM)
senilai Rp76,5 miliar pada tahun anggaran 2009-2012.
Agaknya, kasus penyelewengan pembangunan Pasar Besar Madiun itu menjadi pintu masuk KPK untuk "mengendus" praktik penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan APBD yang dilakukan oleh orang nomor satu di Kota Madiun tersebut.
Belum selesai menyelidiki kasus PBM, KPK sudah dihadapkan dengan temuan dugaan gratifikasi lain berupa setoran rutin semua SKPD ke wali kota dari pos belanja langsung yang menurut informasi besarnya masing-masing mencapai 2 persen dari total anggaran kegiatan di setiap SKPD.
Adapun praktik setoran tersebut terbongkar saat penyidik KPK menggeledah kantor Badan Pengelolaan Keuangan dan Asset Daerah (BPKAD) Kota Madiun pada bulan Oktober lalu.
Untuk itu, KPK dipaksa bekerja keras mengungkap kasus dugaan pemotongan anggaran yang bersumber dari APBD Kota Madiun tersebut. Sebab, praktik dugaan itu dilakukan dengan modus yang rapi. Mulai dari penyerahan, pengepulan, hingga setoran ke "bos besar", yang berlangsung selama bertahun-tahun dengan mulus tanpa terendus.
Intinya, KPK saat ini tak hanya dihadapkan dengan penyelewengan dana yang berasal dari proyek pembangunan Pasar Besar Madiun saja. Melainkan sumber upeti lain dari anggaran kegiatan di sejumlah satker. Karenanya, komisi antirasuah itu sengaja membedah angka-angka di APBD Kota Madiun selama beberapa tahun terakhir.
Tim penyidik KPK lalu melakukan penggeledahan di semua SKPD di lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot) Madiun selama hampir dua bulan terakhir ini. Mulai dari dinas, bagian, perusahaaan daerah, hingga kantor kecamatan dan kelurahan.
Setelah penggeledahan, KPK kemudian melakukan pemeriksaan secara maraton seluruh kepala SKPD bersamaan dengan bendahara yang terlibat langsung dengan pengeluaran rutin di SKPD masing-masing tersebut.
Mereka tak dapat mengelak, karena KPK sudah memiliki bukti tersebut saat pemeriksaan berlangsung.
Pelaksana tugas (Plt) Kepala Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil Kota Madiun Nono Djati Kusumo, misalnya, ketika dikonfirmasi KPK, ia mengaku langsung disodori dokumen tentang aliran dana ke wali kota. Penyidik juga meminta tiga bendahara kegiatan didatangkan untuk proses klarifikasi itu.
"Kemarin ditanya aliran dana dari Dispendukcapil untuk Pak Wali," ungkap Nono kepada wartawan pada akhir November lalu.
Ia menjelaskan, ada 10 kegiatan sosialsiasi di satuan kerja (satker)-nya sepanjang 2015-2016 yang dibuka wali kota. Mulai sosialisasi tentang KTP elektronik, akta kelahiran, hingga akta kematian. Honor yang diserahkan ke wali kota sejak awal memang sudah dianggarkan sesuai prosedur. Maksimal Rp1,7 juta untuk sekali kegiatan.
Tak kalah penting, KPK juga memanggil sejumlah ketua asosiasi pengusaha jasa konstruksi lokal untuk menguak praktik "penyunatan" APBD tersebut.
"Kemarin, diklarifikasi soal data proyek dan besaran potongan. Tim penyidik KPK sudah punya buktinya, kami tinggal jawab saja untuk dicocokkan dengan bukti yang suda ada tersebut," ungkap Ketua Asosiasi Gabungan Kontraktor Indonesia (Gakindo) Madiun, Sukarman, usai menjalani pemeriksaan penyidik KPK di Madiun (15/12).
Pihaknya secara gamblang menyebut untuk proyek penunjukan langsung (PL) misalnya. Dengan nilai maksimal Rp200 jutaan, oknum pejabat pengadaan pemkot meminta "fee" atau setoran lima hingga 10 persen. Tergantung dari jenis konstruksi dan item pekerjaannya.
Seperti "overlay" (lapisan tambahan) jalan, misalnya, pengusaha jasa konstruksi harus setor lima persen. Lalu, saluran dengan konstruksi beton, setor tujuh persen.
Adapun, uang tersebut biasanya diserahkan secara tunai jika sudah ditetapkan pemenang bersamaan cairnya uang muka 30 persen dari nilai kontrak.
Hal yang sama diungkap Ketua Asosiasi Kontraktor Konstruksi Indonesia (Aksindo) Kota Madiun, Rochim Rudianto. Dia menyebut untuk mendapatkan proyek di Pemkot Madiun, anggotanya dipungut sedikitnya tujuh persen dari nilai proyek. Selama ini, hal itu (potongan) disebut kewajiban yang harus dipenuhi.
Lalu, kemana uang tersebut disetor?. Para pengusaha ini mengaku, dana potongan tersebut diserahkan ke oknum pejabat di Bagian Administrasi dan Pembangunan (Adbang) untuk kemudian diserahkan ke atasan.
Wakil Wali Kota Madiun Sugeng Rismiyanto yang ditanya soal praktik tersebut, mengaku tidak mengetahui tentang setoran satker itu. Dia juga belum mendapat informasi resmi apakah klarifikasi penyidik KPK terhadap kepala satker, para kabag, dan bendahara terkait setoran dana.
"Saya tidak tahu-menahu tentang setoran atau yang lainnya soal itu. Saya `no comment` saja terkait hal itu, karena saya benar-benar tidak tahu," ujar Sugeng Rismiyanto di Madiun awal Desember lalu.
Ia justru mengajak semua pihak menghormati proses yang kini sedang berjalan. Juga menilai secara proporsional dan objektif sesuai fakta hukum yang ada.
Telusuri Aset
Tak hanya soal setoran uang "panas", saat ini KPK juga mulai merambah ke aset-aset yang dimiliki oleh Bambang Irianto.
Penelusuran soal aset tersebut dilakukan KPK dengan memanggil semua camat dan bendahara sejumlah dinas di lingkup pemerintah kota setempat, baru-baru ini.
Camat Kartoharjo Tjatoer Wahyudianto kepada wartawan, mengatakan, ada sejumlah aset milik Bambang Irianto yang berada di daerahnya. Di antaranya, rumah pribadi di Jalan Jawa serta dua stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Jalan Diponegoro dan Jalan Panjaitan.
"Selain itu, juga ada agen gas elpiji atas nama istri Pak Wali, yakni Ibu Lies Irianto di Jalan Jawa," kata Tjatur pada Jumat (16/12).
Ia mengungkapkan, sejauh ini pertanyaan yang diberikan tim penyidik kepadanya hanya terkait aset orang nomor satu di Kota Madiun tersebut. Sedangkan petugas bendaharanya hanya diperiksa soal pelaksanaan anggaran di Kecamatan Kartoharjo.
Camat Taman Doris Eko Prasetyo juga mengatakan hal yang sama. Pihaknya juga ditanyai tentang aset Bambang Irianto yang berada di wilayah Kecamataan Taman.
Menurutnya, di Kecamatan Taman, Bambang Irianto punya aset rumah dan SPBU. Ia mengaku tidak tahu mengapa KPK sangat penasaran dengan aset milik Bambang Irianto tersebut.
Namun, sejumlah informasi menyebutkan, penelusuran aset Bambang Irianto tersebut merupakan pengembangan dari kasus pengusutan setoran sejumlah dinas dan pengusaha jasa konstruksi kepada Bambang Irianto.
Diduga, KPK sangat penasaran, apakah, aset-aset yang dimiliki oleh Bambang Irianto tersebut merupakan murni hasil kerjanya atau merupakan "hadiah" atas jabatannya.
Rasa penasaran itu dibuktikan KPK dengan menyita sebanyak empat unit mobil mewah milik Wali Kota Madiun Bambang Irianto dari rumah pribadinya yang berada di Jalan Jawa Kota Madiun, Jawa Timur pada Jumat (16/12) malam. Sebelumnya, KPK juga pernah menyita uang tunai, emas batangan, dan deposito BI berniai miliaran rupiah.
Adapun empat mobil mewah yang disita adalah hummer warna putih bernomor polisil B-11-RRU, Range Rover warna hitam bernomor polisi B-111-RUE, Jeep Rubicon bernomor polisi B-11-RUE, dan Mini Coopers warna putih bernomor polisi B-1279-CGY.
"Betul, telah dilakukan penyitaan terhadap empat mobil untuk tersangka BI. Yaitu, hummer, mini cooper, range rover, dan wrangler," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah saat dihubungi dari Madiun (17/12).
Mobil-mobil tersebut lalu dibawa oleh penyidik KPK ke markas Detasemen C Pelopor Satuan Brimob Polda Jawa Timur yang berada di Jalan Yos Sudarso Nomor 90 Kota Madiun.
Febri menjelaskan, penyitaan tersebut diduga memiliki keterkaitan dengan perkara yang sedang diselidiki.
"Penyitaan ini terkait dengan dugaan penerimaan gratifikasi yang dianggap pemberian suap yang diterima oleh BI," kata dia.
Hingga kini KPK masih terus mengembangkan kasus tersebut. Bahkan, sangat dimungkinkan jika jumlah tersangka dalam kasus tersebut akan bertambah. Sebab, sangat jelas, dalam melakukan "aksinya" tersebut, Bambang Irianto tidak sendiri. Diduga kuat ada pihak-pihak di dekatnya yang ikut memuluskan praktik ilegalnya guna mendapatkan keuntungan pribadi.
"Bisa saja (ada tersangka baru), ini kan masih terus berlanjut pemeriksaan saksi-saksinya," ujar Yuyuk Andriati Iskak yang saat itu masih menjabat sebagai Pelaksana Harian (Plh) Kabiro Humas KPK saat dihubungi melalui telepon dari Madiun, akhir November lalu.
Menurut dia, status para saksi yang saat ini masih terus berlanjut proses pemeriksaannya dapat saja berubah menjadi tersangka baru jika saat pemeriksaan ditemukan bukti cukup untuk mengubahnya menjadi tersangka.
Namun Yuyuk belum dapat memastikan kapan KPK menetapkan tersangka baru dalam kasus ini. Sebab, hal itu, sepenuhnya menjadi kewenangan tim penyidik. Apakah bukti untuk penetapan tersangka sudah cukup atau belum.
Ia menjelaskan, sejauh ini KPK baru menetapkan satu tersangka pada kasus ini, yakni Wali Kota Madiun Bambang Irianto yang telah ditahan di Rutan KPK untuk 20 hari pertama mulai tanggal 23 November 2016, demi kepentingan penyidikan kasus itu.
Ia menjadi tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi penerimaan terkait pembangunan pasar besar Kota Madiun. Nilai proyek pasar tersebut mencapai Rp76,523 miliar untuk anggaran tahun jamak pada 2009-2012.
Bambang diduga menerima keuntungan dari proyek pasar karena memberikan pinjaman kepada perusahaan pemenang tender. Perusahaan itu lalu menggunakan perusahaan anak Bambang sebagai penyalur barang-barang proyek.
Atas perbuatan tersebut, Bambang disangka melanggar Pasal 12 huruf i atau Pasal 12 huruf B atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (*)
Agaknya, kasus penyelewengan pembangunan Pasar Besar Madiun itu menjadi pintu masuk KPK untuk "mengendus" praktik penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan APBD yang dilakukan oleh orang nomor satu di Kota Madiun tersebut.
Belum selesai menyelidiki kasus PBM, KPK sudah dihadapkan dengan temuan dugaan gratifikasi lain berupa setoran rutin semua SKPD ke wali kota dari pos belanja langsung yang menurut informasi besarnya masing-masing mencapai 2 persen dari total anggaran kegiatan di setiap SKPD.
Adapun praktik setoran tersebut terbongkar saat penyidik KPK menggeledah kantor Badan Pengelolaan Keuangan dan Asset Daerah (BPKAD) Kota Madiun pada bulan Oktober lalu.
Untuk itu, KPK dipaksa bekerja keras mengungkap kasus dugaan pemotongan anggaran yang bersumber dari APBD Kota Madiun tersebut. Sebab, praktik dugaan itu dilakukan dengan modus yang rapi. Mulai dari penyerahan, pengepulan, hingga setoran ke "bos besar", yang berlangsung selama bertahun-tahun dengan mulus tanpa terendus.
Intinya, KPK saat ini tak hanya dihadapkan dengan penyelewengan dana yang berasal dari proyek pembangunan Pasar Besar Madiun saja. Melainkan sumber upeti lain dari anggaran kegiatan di sejumlah satker. Karenanya, komisi antirasuah itu sengaja membedah angka-angka di APBD Kota Madiun selama beberapa tahun terakhir.
Tim penyidik KPK lalu melakukan penggeledahan di semua SKPD di lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot) Madiun selama hampir dua bulan terakhir ini. Mulai dari dinas, bagian, perusahaaan daerah, hingga kantor kecamatan dan kelurahan.
Setelah penggeledahan, KPK kemudian melakukan pemeriksaan secara maraton seluruh kepala SKPD bersamaan dengan bendahara yang terlibat langsung dengan pengeluaran rutin di SKPD masing-masing tersebut.
Mereka tak dapat mengelak, karena KPK sudah memiliki bukti tersebut saat pemeriksaan berlangsung.
Pelaksana tugas (Plt) Kepala Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil Kota Madiun Nono Djati Kusumo, misalnya, ketika dikonfirmasi KPK, ia mengaku langsung disodori dokumen tentang aliran dana ke wali kota. Penyidik juga meminta tiga bendahara kegiatan didatangkan untuk proses klarifikasi itu.
"Kemarin ditanya aliran dana dari Dispendukcapil untuk Pak Wali," ungkap Nono kepada wartawan pada akhir November lalu.
Ia menjelaskan, ada 10 kegiatan sosialsiasi di satuan kerja (satker)-nya sepanjang 2015-2016 yang dibuka wali kota. Mulai sosialisasi tentang KTP elektronik, akta kelahiran, hingga akta kematian. Honor yang diserahkan ke wali kota sejak awal memang sudah dianggarkan sesuai prosedur. Maksimal Rp1,7 juta untuk sekali kegiatan.
Tak kalah penting, KPK juga memanggil sejumlah ketua asosiasi pengusaha jasa konstruksi lokal untuk menguak praktik "penyunatan" APBD tersebut.
"Kemarin, diklarifikasi soal data proyek dan besaran potongan. Tim penyidik KPK sudah punya buktinya, kami tinggal jawab saja untuk dicocokkan dengan bukti yang suda ada tersebut," ungkap Ketua Asosiasi Gabungan Kontraktor Indonesia (Gakindo) Madiun, Sukarman, usai menjalani pemeriksaan penyidik KPK di Madiun (15/12).
Pihaknya secara gamblang menyebut untuk proyek penunjukan langsung (PL) misalnya. Dengan nilai maksimal Rp200 jutaan, oknum pejabat pengadaan pemkot meminta "fee" atau setoran lima hingga 10 persen. Tergantung dari jenis konstruksi dan item pekerjaannya.
Seperti "overlay" (lapisan tambahan) jalan, misalnya, pengusaha jasa konstruksi harus setor lima persen. Lalu, saluran dengan konstruksi beton, setor tujuh persen.
Adapun, uang tersebut biasanya diserahkan secara tunai jika sudah ditetapkan pemenang bersamaan cairnya uang muka 30 persen dari nilai kontrak.
Hal yang sama diungkap Ketua Asosiasi Kontraktor Konstruksi Indonesia (Aksindo) Kota Madiun, Rochim Rudianto. Dia menyebut untuk mendapatkan proyek di Pemkot Madiun, anggotanya dipungut sedikitnya tujuh persen dari nilai proyek. Selama ini, hal itu (potongan) disebut kewajiban yang harus dipenuhi.
Lalu, kemana uang tersebut disetor?. Para pengusaha ini mengaku, dana potongan tersebut diserahkan ke oknum pejabat di Bagian Administrasi dan Pembangunan (Adbang) untuk kemudian diserahkan ke atasan.
Wakil Wali Kota Madiun Sugeng Rismiyanto yang ditanya soal praktik tersebut, mengaku tidak mengetahui tentang setoran satker itu. Dia juga belum mendapat informasi resmi apakah klarifikasi penyidik KPK terhadap kepala satker, para kabag, dan bendahara terkait setoran dana.
"Saya tidak tahu-menahu tentang setoran atau yang lainnya soal itu. Saya `no comment` saja terkait hal itu, karena saya benar-benar tidak tahu," ujar Sugeng Rismiyanto di Madiun awal Desember lalu.
Ia justru mengajak semua pihak menghormati proses yang kini sedang berjalan. Juga menilai secara proporsional dan objektif sesuai fakta hukum yang ada.
Telusuri Aset
Tak hanya soal setoran uang "panas", saat ini KPK juga mulai merambah ke aset-aset yang dimiliki oleh Bambang Irianto.
Penelusuran soal aset tersebut dilakukan KPK dengan memanggil semua camat dan bendahara sejumlah dinas di lingkup pemerintah kota setempat, baru-baru ini.
Camat Kartoharjo Tjatoer Wahyudianto kepada wartawan, mengatakan, ada sejumlah aset milik Bambang Irianto yang berada di daerahnya. Di antaranya, rumah pribadi di Jalan Jawa serta dua stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Jalan Diponegoro dan Jalan Panjaitan.
"Selain itu, juga ada agen gas elpiji atas nama istri Pak Wali, yakni Ibu Lies Irianto di Jalan Jawa," kata Tjatur pada Jumat (16/12).
Ia mengungkapkan, sejauh ini pertanyaan yang diberikan tim penyidik kepadanya hanya terkait aset orang nomor satu di Kota Madiun tersebut. Sedangkan petugas bendaharanya hanya diperiksa soal pelaksanaan anggaran di Kecamatan Kartoharjo.
Camat Taman Doris Eko Prasetyo juga mengatakan hal yang sama. Pihaknya juga ditanyai tentang aset Bambang Irianto yang berada di wilayah Kecamataan Taman.
Menurutnya, di Kecamatan Taman, Bambang Irianto punya aset rumah dan SPBU. Ia mengaku tidak tahu mengapa KPK sangat penasaran dengan aset milik Bambang Irianto tersebut.
Namun, sejumlah informasi menyebutkan, penelusuran aset Bambang Irianto tersebut merupakan pengembangan dari kasus pengusutan setoran sejumlah dinas dan pengusaha jasa konstruksi kepada Bambang Irianto.
Diduga, KPK sangat penasaran, apakah, aset-aset yang dimiliki oleh Bambang Irianto tersebut merupakan murni hasil kerjanya atau merupakan "hadiah" atas jabatannya.
Rasa penasaran itu dibuktikan KPK dengan menyita sebanyak empat unit mobil mewah milik Wali Kota Madiun Bambang Irianto dari rumah pribadinya yang berada di Jalan Jawa Kota Madiun, Jawa Timur pada Jumat (16/12) malam. Sebelumnya, KPK juga pernah menyita uang tunai, emas batangan, dan deposito BI berniai miliaran rupiah.
Adapun empat mobil mewah yang disita adalah hummer warna putih bernomor polisil B-11-RRU, Range Rover warna hitam bernomor polisi B-111-RUE, Jeep Rubicon bernomor polisi B-11-RUE, dan Mini Coopers warna putih bernomor polisi B-1279-CGY.
"Betul, telah dilakukan penyitaan terhadap empat mobil untuk tersangka BI. Yaitu, hummer, mini cooper, range rover, dan wrangler," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah saat dihubungi dari Madiun (17/12).
Mobil-mobil tersebut lalu dibawa oleh penyidik KPK ke markas Detasemen C Pelopor Satuan Brimob Polda Jawa Timur yang berada di Jalan Yos Sudarso Nomor 90 Kota Madiun.
Febri menjelaskan, penyitaan tersebut diduga memiliki keterkaitan dengan perkara yang sedang diselidiki.
"Penyitaan ini terkait dengan dugaan penerimaan gratifikasi yang dianggap pemberian suap yang diterima oleh BI," kata dia.
Hingga kini KPK masih terus mengembangkan kasus tersebut. Bahkan, sangat dimungkinkan jika jumlah tersangka dalam kasus tersebut akan bertambah. Sebab, sangat jelas, dalam melakukan "aksinya" tersebut, Bambang Irianto tidak sendiri. Diduga kuat ada pihak-pihak di dekatnya yang ikut memuluskan praktik ilegalnya guna mendapatkan keuntungan pribadi.
"Bisa saja (ada tersangka baru), ini kan masih terus berlanjut pemeriksaan saksi-saksinya," ujar Yuyuk Andriati Iskak yang saat itu masih menjabat sebagai Pelaksana Harian (Plh) Kabiro Humas KPK saat dihubungi melalui telepon dari Madiun, akhir November lalu.
Menurut dia, status para saksi yang saat ini masih terus berlanjut proses pemeriksaannya dapat saja berubah menjadi tersangka baru jika saat pemeriksaan ditemukan bukti cukup untuk mengubahnya menjadi tersangka.
Namun Yuyuk belum dapat memastikan kapan KPK menetapkan tersangka baru dalam kasus ini. Sebab, hal itu, sepenuhnya menjadi kewenangan tim penyidik. Apakah bukti untuk penetapan tersangka sudah cukup atau belum.
Ia menjelaskan, sejauh ini KPK baru menetapkan satu tersangka pada kasus ini, yakni Wali Kota Madiun Bambang Irianto yang telah ditahan di Rutan KPK untuk 20 hari pertama mulai tanggal 23 November 2016, demi kepentingan penyidikan kasus itu.
Ia menjadi tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi penerimaan terkait pembangunan pasar besar Kota Madiun. Nilai proyek pasar tersebut mencapai Rp76,523 miliar untuk anggaran tahun jamak pada 2009-2012.
Bambang diduga menerima keuntungan dari proyek pasar karena memberikan pinjaman kepada perusahaan pemenang tender. Perusahaan itu lalu menggunakan perusahaan anak Bambang sebagai penyalur barang-barang proyek.
Atas perbuatan tersebut, Bambang disangka melanggar Pasal 12 huruf i atau Pasal 12 huruf B atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (*)