Jakarta (Antara) - Sekretaris Pers Gedung Putih Josh Earnest meyakini Donald Trump sudah lama tahu Rusia berada di balik serangkaian serangan peretasan yang mengintervensi Pemilihan Presiden Amerika Serikat ketika dia mengundang Rusia untuk mencari email-email Hillary Clinton yang hilang.
Trump sendiri terus-terusan membantah laporan dinas intelijen AS bahwa Rusia berada di balik penyusupan ke lembaga-lembaga Partai Demokrat, termasuk Komite Nasional Demokrat (DNC), Komite Kampanye Senator Demokrat dan akun email kepala tim kampanye Hillary Clinton, John Podesta.
Josh Earnest menyatakan keyakinannya bahwa Trump tahu sekali intervensi Rusia itu jauh sebelum komunitas intelijen memastikan serangan siber itu atau tepatnya Oktober silam, satu bulan sebelum pemungutan suara 8 November lalu.
"Ada cukup bukti hal itu telah lama diketahui sebelum Pemilu dan pada kebanyakan kasus jauh sebelum Oktober," kata Earnest menunjuk seruan Trump kepada Rusia untuk membantu dia meretas lawannya, Hillary Clinton.
"Itu bisa menjadi indikasi bahwa dia jelas-jelas mengetahui dan telah menyimpulkan, berdasarkan pada apa pun fakta-fakta atau sumber-sumber yang ada di tangan dia, bahwa Rusia terlibat dan keterlibatan mereka telah memberikan dampak negatif kepada kampanye lawannya (Hillary Clinton)," sambung dia.
"Itulah alasan Trump mendorong Rusia untuk terus meretas," simpul Earnest merujuk undangan Trump kepada Rusia pada sebuah jumpa pers pertengahan Juli silam agar Rusia membantu dia mencari email-email hilang milik Hillary Clinton. Waktu itu, Trump menyatakan Rusia kemungkinan besar akan disanjung oleh media massa AS.
Jika laporan bocoran dokumen CIA bahwa Rusia mengintervensi Pemilihan Presiden AS dengan membantu menaikkan Trump ke Gedung Putih, maka Trump mungkin saja benar.
Pekan ini New York Times melaporkan bahwa "media massa besar yang memberitakan email-email DNC dan Podesta yang diposting oleh WikiLeaks, telah menjadi intrumen de facto dari intelijen Rusia."
Earnest juga mengingatkan media massa bahwa Trump pernah memuji kepemimpinan Presiden Rusia Vladimir dan memilih Paul Manafort sebagai kepala tim kampanyenya, padahal orang ini memiliki kaitan finansial dan pribadi yang ekstensif nan besar dengan Rusia.
"Jelas bagi mereka yang mengamati Pemilihan Presiden bahwa strategi 'retas dan bocorkan' telah diterapkan tidak setaraf kepada dua pihak (yang mengikuti Pemilu AS) dan kepada dua tim kampanye yang berbeda," kata Earnest.
Dia melanjutkan, satu pihak jelas-jelas dirugikan oleh strategi itu, sedangkan satu pihak lainnya diuntungkan.
"Kini saya tahu ada banyak laporan bahwa mungkin ada beberapa ketidaksepakatan di antara komunitas intelijen mengenai ada tidaknya niat, ini hal yang mesti mereka tanyakan dan dapatkan jawabannya bahwa mereka munkin saja berusaha menjawab, namun yang jelas tidak ada keraguan soal dampak (serangan peretasan itu)," kata dia dalam laman Politico.
Trump sendiri membantah intervensi Rusia itu dengan menyebutnya sebagai teori konspirasi. "Kecuali Anda bisa menangkap peretasnya, sangat sulit memastikan siapa yang meretas," tulis Trump dalam Twitter. "Mengapa ini tidak dilakukan sebelum Pemilu?"
(*)