Surabaya (Antara Jatim) - Pada mulanya Tri Wahono menjual uang kuno yang didapat dari seorang numismatik atau kolektor uang kuno, yang butuh uang karena terhimpit masalah ekonomi, selanjutnya uang kuno yang dijualnya sampai sekarang dipasok dari tukang rombeng.
Uang-uang kuno itu berupa lembaran dan koin, ditata berderet pada dua etalase pada lapak sempit berukuran 3 x 1 meter di Pasar Blauran, Surabaya, Jawa Timur. Lembaran-lembarannya kebanyakan terlihat lusuh.
Di tiap lekukannya seakan menyimpan sejarah panjang perjalanannya. Begitu pula dengan yang berbentuk koin, warna logamnya sudah banyak yang memudar tergerus waktu. Meski begitu nilai nominalnya masih bisa terbaca.
"Sepertinya ini uang yang paling tua yang ada di sini," ujar Tri, pemuda berkulit putih berusia 26 tahun itu, Minggu.
Dia meraih uang koin bertuliskan VOC dari tumpukan koin-koin kuno di sudut etalasenya. Warna logamnya yang kekuningan tampak paling hitam karena tumpukan zaman di antara uang koin lainnya.
Tertera tahun 1786 pada uang koin itu. Lama Tri membolak-balik uang koin berlambang VOC itu. Tidak ditemukan angka nominalnya. Matanya kemudian menerawang jauh ke abad 17 hingga 18 pada masa Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) berkuasa di bumi Nusantara.
Berbagai literatur sejarah mengisahkan kongsi dagang Belanda itu sangat kuat secara finansial sehingga dapat mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik di Tanah Air. Terbukti pada saat itu VOC telah memiliki tentara, selain juga mata uang sendiri, yang salah satunya saat ini berada di tumpukan koin uang kuno pada sudut etalase Tri Wahono di Pasar Blauran. "Gak tahu kenapa gak ada angka nominalnya,” ucapnya.
Tri kemudian mengais koin lain pada sudut etalasenya. Diraihnya uang koin bergambar Ratu Wilhelmina. Pada sisi di baliknya bergambar lambang negara Belanda, terpahat tulisan Munt Van Het Koningrijk Nederlanden. "Gak tahu juga apa artinya. Tapi dari uang ini setidaknya kita tahu di masa penjajahan Belanda, mata uang kita masih ikut Gulden, belum Rupiah," ujarnya.
Tertera nominalnya 2 1/2 Gulden, keluaran tahun 1931. Berbeda dengan uang koin-koin kuno lainnya yang warna pada logamnya sudah memudar, koin bergambar Ratu Wilhelmina berwarna silver ini sepertinya lekang oleh zaman.
"Ini memang terbuat dari bahan perak, makanya wujud dan warnanya tak berubah sedikitpun. Semisal dipaku pun bisa tembus membentuk sebuah lubang, gak merusak keseluruhan logamnya," katanya.
Mungkin karena terbuat dari bahan perak itulah uang koin bergambar Ibu Suri yang berkuasa paling lama dalam sejarah penguasa monarki kerajaan Belanda ini sampai sekarang tergolong paling laris diburu. Tri sendiri di etalasenya memiliki seri uang kuno dari masa penjajahan Hindia Belanda berupa koin dan lembaran keluaran tahun 1819 hingga 1930-an. Seluruh uang Gulden yang diterbitkan pemerintah Kolonial Belanda itu, sebagaimana tertera di tiap lembaran yang dipajang di etalasenya, tertulis diterbitkan oleh Dejavasche Bank.
"Tapi yang paling laku dicari orang, ya, uang koin bergambar Ratu Wilhelmina ini. Pernah saya tanya, rata-rata yang membeli uang koin Wilhelmina ini tidak untuk dikoleksi, tapi dilebur lagi buat perihasan," katanya.
Tri meraup untung besar dari koin bergambar Ratu Belanda yang konon berperan besar dalam Perang Dunia I dan Perang Dunia II ini. Koin bergambar ratu penyebab krisis ekonomi dunia tahun 1933, yang menyebabkan kejatuhan Belanda sebagai penguasa kolonial itu, oleh Tri dijual Rp500 ribu per keping.
Uang Rupiah
Masyarakat Indonesia ternyata pertama kali beralih dari mata uang Gulden menggunakan Rupiah sebagai alat pembayaran pada masa penjajahan Jepang. Tri menunjukkan lembaran uang yang diterbitkan oleh Dai Nipon Teikoku Seihu (Pemerintah Imperial Jepang) keluaran tahun 1943 yang tersisa di etalasenya. "Di sini tinggal lembaran bernominal satu Rupiah ini," katanya.
Sebelumnya, Tri pernah memiliki seri uang rupiah yang diterbitkan Dai Nipon Teikoku Seihu, masing-masing bernilai 1/2 rupiah, lima rupiah, 10 rupiah, dan seratus rupiah. “Semuanya diterbitkan tahun 1943, sepertinya sudah laku terjual semuanya, tinggal lembaran yang satu rupiah di sini,” ujar nya.
Sedangkan Pemerintah Indonesia diketahui pertama kali menerbitkan uang Rupiah sendiri, yang dikenal dengan nama Oeang Republik Indonesia (ORI) sejak tahun 1946, atau setahun sejak Indonesia merdeka. ORI terbitan pertama berbentuk uang kertas senilai satu sen dengan gambar muka keris terhunus dan gambar belakang teks UUD 1945, yang ditandatangani Menteri Keuangan saat itu, A.A. Maramis.
Sejak itu pula dinyatakan uang Rupiah yang sebelumnya dikeluarkan pemerintah kolonial Jepang dan uang Javasche Bank yang pernah diterbitkan Pemerintah Hindia Belanda sudah tidak berlaku lagi. Di etalase Tri Wahono di Pasar Blauran, bisa dilihat ORI pernah menerbitkan uang senilai satu sen, lima sen, 10 sen, setengah Rupiah, satu Rupiah, lima Rupiah, sepuluh Rupiah, dan seratus Rupiah.
Keberadaan ORI yang diterbitkan Pemerintah Indonesia ini konon semakin menguatkan keberadaan Indonesia di mata dunia setelah memproklamasikan kemerdekaan di tahun 1945. Selanjutnya uang rupiah diterbitkan oleh Bank Indonesia di tahun 1957 dengan pecahan senilai Rp5, Rp10, Rp25, Rp50, Rp100, Rp1.000, Rp5.000, dan Rp10.000.
Tampak berbagai lembaran maupun koin seri uang rupiah yang diterbitkan Bank Indonesia hingga tahun 1990-an mendominasi etalase di lapak yang disewa Tri Wahono di Pasar Blauran. Menurutnya, uang produksi Bank Indonesia yang paling banyak dicari adalah koin pecahan Rp100 yang bergambar rumah Minang keluaran tahun 1971.
"Selain itu uang lembaran Rp500 yang bergambar monyet keluaran tahun 1990 juga banyak dicari. Katanya sih bisa membawa keberuntungan. Kebanyakan memang orang-orang mencari uang kuno untuk dibuat mistis, perdukunan," katanya.
Terhadap uang kuno yang paling banyak diburu itu, Tri mematok harga tinggi. "Saya kasih harga Rp100 ribu per koin atau per lembarnya, pasti dibayar oleh yang beli. Sebab dia mengaku sangat butuh," ucapnya.
Bukan Kolektor
Tri Wahono terang-terangan mengatakan dirinya bukan seorang numismatik, sebutan bagi kolektor uang kuno. "Saya hanya menjualnya," katanya.
Tri justru lebih bangga menyebut profesinya sebagai tukang krom perhiasan, yang juga sekaligus mencari peruntungan dari jual-beli emas di Pasar Blauran.
Lapaknya yang berukuran sempit sekitar 3 x 1 meter di Pasar Blauran itu memang dibagi dua dengan tempat kerjanya yang membuka jasa krom perhiasan dan jual beli emas, di samping menjajakan uang kuno, dengan cara dipamerkan di dua buah etalase yang disusunnya berbentuk huruf L, yang sekaligus berfungsi sebagai pagar bagi ruang lapaknya, membuat lapaknya itu semakin sempit.
Sejak merantau dari tanah kelahirannya di Dusun Dung Temu, Desa Banaran, Kecamatan Pracimantoro, Wonogiri, Jawa Tengah, di tahun 2008, Tri mengisahkan sudah melakoni profesi sebagai tukang krom perhiasan di Pasar Blauran. "Saat itu saya baru lulus SMA. Diajak paman ke sini. Ya, sejak itu ikut Paman jadi tukang krom perhiasan, sekalian membantu jual-beli emas di lapaknya Paman," tuturnya.
Tri yang lahir dari keluarga petani lantas pada tahun 2014 memutuskan buka lapak sendiri di Pasar Blauran, memisahkan diri dari pamannya, dan dilakoninya sampai sekarang. “Semula di lapak ini saya membuka jasa krom perhiasan, sambil jual-beli emas,” ujarnya.
Tak lama setelah membuka lapak sendiri, ada seseorang yang menawarkan menjual perhiasan emas di lapaknya itu. Setelah transaksi emas mencapai kata sepakat, orang itu kemudian menawarkan banyak lembaran dan beberap koin uang kuno yang telah dimasukkannya ke dalam amplop. Dia bertanya apakah Tri berminat membelinya. “Dia bilang lagi butuh uang,” katanya.
Tri sempat mengintip jumlah uang kuno di dalam amplop yang disodorkan kepadanya. Nominalnya tidak sampai Rp1 juta. "Uang zaman dahulu kan per lembarnya nilainya kecil-kecil, mungkin totalnya waktu itu gak sampai Rp500 ribu. Dan saya sama sekali gak ngerti apa-apa soal uang kuno. Saya asal saja menawarnya seharga Rp1 juta. Ternyata dikasihkan semuanya," katanya, mengenang.
Sejak itulah Tri memajang uang-uang kuno yang sebelumnya sama sekali tidak pernah terlintas di pikirannya untuk dijual di lapaknya. Tidak butuh waktu lama, sekitar sebulan kemudian, uang modal Rp1 jutanya kembali dari penjualan uang kuno itu. “Malah untungnya banyak. Dari modal awal Rp1 juta dari uang kuno yang semula satu amplop itu, saya dapat lebih,” ujarnya.
Seiring waktu berjalan, melihat uang-uang kuno yang dideret di dua etalase di lapaknya, banyak pengunjung Pasar Blauran yang berhenti untuk menawarkan sejumlah uang kuno kepadanya. Tri mengaku tidak pernah mencarinya, uang-uang kuno ini datang sendiri.
Orang-orang yang datang menawarkan uang kuno untuk dijual di lapaknya itu beberapa di antaranya berasal dari orang-orang rumahan. “Bukan numismatik, orang-orang ini hanya menyimpan di rumahnya sedikit uang yang oleh Bank Indonesia sudah dinyatakan tidak laku. Daripada tidak ada gunanya lagi, mereka menjualnya ke saya,” katanya.
Tentunya Tri membelinya dengan harga murah untuk kemudian menjualnya kembali dengan harga yang lebih tinggi. Selain itu, Tri justru menyatakan lebih banyak mendapat pasokan uang kuno dari sejumlah tukang rombeng dari seputaran Kota Surabaya.
“Ya, pada akhirnya lapak saya ini menjadi jujukan dari tukang-tukang rombeng yang menemukan uang kuno dari berbagai kampung maupun perumahan di Surabaya dan sekitarnya, dan saya dengan senang hati menerimanya," katanya.
Namun Tri menegaskan, menjual uang kuno dari lapaknya yang sempit di Pasar Blauran ini hanyalah usaha sampingan saja. "Usaha yang utama tetap ngekrom perhiasan dan jual-beli emas," ucap pria yang hingga kini bersama keluarga kecilnya tinggal di rumah kontrakan kawasan Kampung Kranggan, Surabaya. (*)