Jember (Antara Jatim) - Terlahir dengan keterbatasan fisik dari keluarga yang sederhana di Desa Bagorejo, Kecamatan Gumukmas, Kabupaten Jember, Jawa Timur, tidak menyurutkan semangat Dinka Yuliani untuk mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi.
Perempuan penyandang disabilitas tuna netra kelahiran 15 Juli 1991 itu sejak kecil memiliki cita-cita sebagai pahlawan tanpa tanda jasa atau guru, sehingga harapan itu memberikan semangat kuat untuk melanjutkan pendidikan di bangku kuliah.
"Awalnya saya hanya 'low vision', namun lama-kelamaan saya tidak bisa melihat. Saya sempat merasa kecewa dengan hidup saya, namun alhamdulillah keluarga selalu memberikan dukungan, sehingga saya bisa menerima kenyataan sebagai tuna netra," katanya.
Perjuangannya untuk bisa sekolah banyak mengalami hambatan dan lika-liku yang cukup panjang karena awalnya ibunya melarang Dinka untuk bersekolah dan tinggal di asrama Sekolah Luar Biasa (SLB) di Kelurahan Bintoro, Kecamatan Patrang.
"Ibu sangat protektif dengan anaknya yang tidak bisa melihat karena beliau tidak tega saya sendirian di asrama SLB dan khawatir terjadi sesuatu yang buruk, namun bapak saya yang kemudian memberikan dukungan penuh, agar saya sekolah," tutur penyandang disabilitas yang akrab disapa Dinka itu.
Dengan segala tekad dan berat hati meninggalkan keluarga yang dicintai nya, ia berusaha tegar dan kuat demi mewujudkan impian untuk memperoleh pendidikan yang sama dengan orang-orang non difabel pada umumnya.
"Mendengar banyak cerita penyandang disabilitas netra yang tidak bersekolah karena tidak diperbolehkan oleh keluarganya menjadi pemicu semangat bagi saya untuk membuktikan kepada masyarakat, bahwa kami punya hak untuk sekolah tinggi, meskipun dengan keterbatasan fisik," ucapnya.
Dinka mengawali pendidikannya di SLB-A di Kelurahan Bintoro dan melanjutkan pendidikannya ke SMP inklusi yang juga berada sekompleks dengan SLB, sehingga ia menginap di asrama para penyandang disabilitas yang berada di sekitar sekolah setempat.
Tidak ada keluarga yang mendampingi saat berada di asrama, sehingga ia bersama penyandang disabilitas lainnya mau tidak mau harus berusaha hidup mandiri untuk melakukan semuanya sendiri, tanpa bantuan orang lain.
Dengan berbekal hidup mandiri selama beberapa tahun di asrama, membuat semangat Dinka untuk terus melanjutkan pendidikannya ke SMA Negeri 5 Jember dan tidak lagi sekolah luar biasa atau inklusi.
"Awalnya memang cukup berat dengan keterbatasan saya tidak bisa melihat dan bebaur dengan mereka yang normal, sehingga saya memerlukan waktu sekitar satu semester untuk menyesuaikan dengan lingkungan dan pelajaran," katanya.
Tekad yang kuat memberikan semangat bagi Dinka untuk berusaha mengikuti pelajaran semaksimal mungkin dan sering berkonsultasi kepada guru, ketika ada beberapa materi yang belum dipahami nya.
Bersekolah di sekolah umum baginya merupakan anugerah karena tidak semua penyandang disabilitas dapat sekolah bersama orang-orang yang normal pada umumnya, namun ia harus berjuang keras untuk beradaptasi dan membuktikan kepada masyarakat, bahwa kelompok difabel pun punya untuk mengenyam pendidikan yang sama di sekolah umum.
Setelah lulus dari SMA 5 Jember, Dinka melanjutkan pendidikannya ke Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) PGRI Jember dengan jurusan pendidikan luar biasa (PLB) dan pada saat itu hanya satu-satunya tuna netra yang duduk di bangku kuliah IKIP PGRI Jember.
"Sebagian besar yang kuliah di IKIP PGRI dengan jurusan PLB adalah kawan-kawan tuna daksa dan tuna rungu, mungkin saya satu-satunya tuna netra pada saat itu yang kuliah. Namun saat ini sudah banyak kawan-kawan tuna netra yang kuliah," ujar sarjana yang baru lulus pada tahun 2015 itu.
Difabel dan Pendidikan
Tidak banyak cerita keluh-kesah yang disampaikan Dinka tentang perjuangannya untuk mendapatkan pendidikan yang layak karena semuanya sirna dengan keberhasilannya menggapai cita-cita menjadi guru yang mengabdi untuk bangsa.
"Saya ingin para penyandang disabilitas mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya seperti mereka yang normal karena mendapatkan pendidikan adalah hak bagi semua orang, sehingga mereka yang memiliki keterbatasan fisik juga berhak untuk menggapai cita-cita setinggi langit," katanya dengan tersenyum.
Awalnya banyak orang-orang yang meragukan Dinka untuk bisa mengenyam pendidikan hingga di bangku kuliah dan menggapai cita-citanya sebagai guru karena penyandang disabilitas sering kali dipandang remeh oleh kebanyakan orang.
"Sejak kecil bapak saya mengatakan kalau ada kemauan pasti ada jalan, sehingga pesan itu yang selalu teringat dan membuat tetap semangat untuk terus berusaha dan beliau selalu menanamkan bahwa orang-orang terbaik adalah mereka yang bermanfaat bagi orang-orang disekitarnya, sehingga menurut saya, guru adalah salah satunya," ujarnya.
Meski sudah meraih gelar sarjana, bagi Dinka belumlah cukup mendapatkan ilmu dan ia berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan jenjang strata-2 (S-2). Namun keinginan itu masih belum bisa diwujudkan karena faktor biaya.
"Sebenarnya saya ingin melanjutkan ke S-2, namun sabar dulu karena biayanya juga tinggi karena jenjang S-2 untuk pendidikan luar biasa tidak ada di perguruan tinggi di Jember, sehingga harus ke luar kota seperti Surabaya dan Malang yang membutuhkan biaya hidup yang tidak sedikit," katanya.
Kendati demikian, penyandang disabilitas yang baru menikah beberapa bulan itu memiliki keyakinan dan semangat pantang menyerah untuk mengatasi rintangan dan keterbatasan yang dimiliki nya.
"Saya sangat yakin pasti ada jalan untuk melanjutkan pendidikan S-2, namun saat ini saya fokus untuk mendidik anak-anak tuna netra di SLB-A Kelurahan Bintoro, agar nasib mereka bisa lebih baik dan lebih sukses daripada saya," ujarnya menambahkan.
Dinka juga pernah tampil di program "Kick Andy" Metro TV dalam tema "Guru Cacat Pemberi Semangat", sehingga diharapkan perjuangannya bisa menginspirasi orang-orang yang memiliki keterbatasan fisik dalam meraih cita-citanya.
Guru senior SLB-A Kelurahan Bintoro Rahman mengakui semangat Dinka sangat tinggi untuk mengenyam pendidikan dan meraih cita-citanya menjadi guru, sehingga hal itu selalu menginspirasi guru-guru lain di sekolah.
"Sosok Dinka yang selalu ceria dan supel membuat nyaman semua orang untuk berkomunikasi, sehingga saya optimistis ia bisa dengan mudah meraih cita-citanya sebagai guru yang profesional, meskipun memiliki keterbatasan fisik," katanya.
Ia mengaku sering memberikan motivasi kepada anak didiknya yang kini menjadi guru di SLB Kelurahan Bintoro karena dengan keterbatasan yang dimiliki tidak boleh menjadi penghalang dalam meraih mimpi.
"Dinka juga menjadi anggota Ikatan Tuna Netra Muslim Indonesia (ITMI) sebagai wadah kawan-kawan tuna netra untuk mendapatkan pencerahan atau siraman rohani bagi mereka yang beragama Islam," ujarnya.
Rahman juga berharap masyarakat tidak lagi memandang sebelah mata terhadap orang-orang yang cacat karena mereka juga manusia yang berhak mendapatkan keinginan dan menggapai cita-cita seperti mereka yang normal.
"Saya dan Dinka akan membuktikan bahwa mereka yang memiliki keterbatasan fisik bisa mengabdi untuk bangsa dengan mendidik anak-anak tuna netra, agar kehidupan anak berkebutuhan khusus itu bisa lebih baik," katanya menambahkan.
Dinka Yuliani salah satu sosok difabel yang harus berjuang melawan keterbatasan untuk mendapatkan pendidikan yang dicita-citakan.
Sementara Ketua Persatuan Penyandang Cacat (Perpenca) Jember Zaenuri Rofii mengatakan para penyandang disabilitas memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan karena hak tersebut merupakan hak dasar.
"Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak dan tanpa diskriminasi, termasuk meraka penyandang disabilitas. Mereka yang difabel tetap memiliki kesempatan yang sama dalam mendapatkan pendidikan," tuturnya.
Dalam momentum Hari Disabilitas Internasional pada 3 Desember 2016 diharapkan pemerintah bisa menyediakan pendidikan yang layak bagi mereka yang memiliki keterbatasan fisik. Memang secara lahir berbeda, tetapi perbedaan itu bukanlah alasan mutlak untuk menolak difabel mengenyam pendidikan di sekolah yang layak. (*)