Surabaya (Antara Jatim) - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Arief Hidayat mengatakan turut memperhatikan polemik peralihan wewenang Undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang peralihan wewenang pengelolaan pendidikan dari pemerintah Kota/Kabupaten ke Provinsi Jatim.
“Dampak di daerah dan sikap provinsi yang harusnya menangani selama peralihan juga menjadi perhatian MK dalam mengambil keputusan. Selama belum ada putusan maka UU harus dijalankan,” jelasnya usai kuliah tamu “Wawasan Kebangsaan Untuk Meningkatkan Kesadaran Berkonstitusi” di Universitas Pembangunan Nasional (UPN) “Veteran” Jawa Timur, Senin.
Dikatakannya, untuk mengambil putusan perlu berbagai kajian dan pertimbangan dari sembilan hakim di MK. Hal itu disebabkan, hakim memerlukan pemahaman yang konferensif. Sehingga ia tidak dapat memberikan kapan kepastian putusan dikeluarkan.
“Bisa saja sudah selesai bulan Juni masih ada rapat urusan hakim. Kami juga mempertimbangkan legal opinion, satu perkara bisa sampai satu atau 20 putusan," katanya.
Dia menambahkan, kalau belum memperoleh keyakinan apa yang diputus akan dipelajari kembali sehingga prosesnya menjadi agak panjang.
"Saat ini MK sedang menggalakkan visi peningkatan kualitas putusan. Sehingga pematangan keputusan dilakukan seksama," ucapnya.
Bahkan, lanjutnya untuk satu putusan hakim harus membaca hingga 400 halaman. Dan keputusan tiap hakim tidak bisa diganggu gugat, sebab tiap hakim memiliki independensi tersendiri.
“Kelemahan di Indonesia pemahaman pembatalan UU ini masih belum dipahami semuanya. Termasuk pembatalan UU 23 ini bukan berarti bukan berarti penghapusan pasal tetapi penghapusan substansinya,” ungkapnya.
Seperti yang diketahui hingga saat ini belum ada putusan atas gugatan pengajuan uji materiil terhadap UU tersebut. Padahal gugatan yang diajukan wali murid siswa SMA/SMK di Surabaya itu sudah melewati berbagai persidangan dengan menampilkan saksi ahli. (*)