Bahasa pada dasarnya merupakan sarana untuk menyampaikan pesan serta tujuan dan maksud seseorang, baik antar individu ke individu, individu ke kelompok, dan antar kelompok ke kelompok. Seperti yang telah banyak digagas oleh beberapa linguis bahwa dengan bahasa seseorang dapat berinteraksi dan berkomunikasi dengan baik antar mahluk sosial.
Dengan bahasa pula, seseorang dapat menunjukkan identitas dirinya dihadapan khalayak ramai, tak jarang kita dapat mengetahui identitas seseorang dengan mendengarkan bahasa dan dialek yang digunakannya. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa bahasa ialah satu-satunya bukti untuk menyampaikan isi pikiran dan keinginan seseorang terhadap orang lain.
Seperti yang diungkapkan seorang linguis Jerman bahwa apa bila ingin mengubah paradigma dan cara pandang suatu masyarkat, maka terlebih dahulu harus dapat mengetahui serta menguasai bahasa masyarakat itu sendiri.
Kita ketahui, bahwa bahasa lisan yang dapat digunakan dalam berinteraksi itu ada dua macam penggunaan, kalau tidak dengan menggunakan bahasa nasional, tentunya menggunakan bahasa daerah yang di pakai dalam lingkungan sehari-hari.
Kalau bahasa nasional tentu penggunaannya dalam ranah nasional, sementara bahasa daerah hanya orang-orang tertentu saja yang dapat mengetahui bahasa itu, walaupun ada kemungkinan besar hanya minoritasnya saja.
Dalam negeri ini terdapat beberapa bahasa daerah yang hal itu menjadi salah satu bukti kekayaan dan kebudayaan yang harus dilestarikan, dan dalam bahasa juga terdapat dialek-dialek yang menjadi keunikan tersendiri bagi bahasa-bahasa itu sendiri. Misalnya, dalam bahasa Madura yang digunakan oleh mayoritas masyarakat orang Madura yang didalamnya terdapat dialek-dialek yang berbeda, ada dialek bahasa orang Sumenep, Pamekasan, Sampang, dan Bangkalan.
Artinya, bahasa itu bersifat umum dalam penggunaannya, sedangkan dialek bersifat khusus yang hanya digunakan bagi daerah-daerah tertentu saja.
Namun, hari berganti minggu, bulan berganti tahun, dengan bergesernya waktu dan berubahnya zaman, bahasa Madura mulai jarang digunakan, walaupun ada yang menggunakannya itu hanya dalam ranah tingkat bawah saja (eje’ iye). Padahal, dalam bahasa Madura terdapat beberapa tingkatan dan penggunaan yang tidak boleh di salah dalam menggunakan dari masing-masing tingkatan tersebut.
Ada beberapa tingkatan dalam bahasa Madura, yang tidak boleh salah dalam menggunakannya, yaitu sebagai berikut:
1. Eje’ Iye (tingkat bawah) ini dipergunakan untuk orang yang lebih tua terhadap yang lebih muda. Misalnya, orang tua ke anak dan guru ke murid.
2. Enggi Enten, (sedang) ini dipergunakan untuk yang setara derajad atau umurnya. Misalnya, siswa sesama siswanya, santri sesama santrinya, dan sebagainya.
3. Enggi Bunten, (halus) tingkatan yang terahir ini dipergunakan untuk orang yang lebih muda terhadap yang lebih tua. Misalnya, anak ke orang tua, dan santri ke gurunya. Tingkatan ini biasa di pakai dulu di lingkungan kerajaan.
Dari ketiga tingkatan tersebut, tidak boleh disalahgunakan, baik dalam menggunakan bahasa dalam tingkatannya.
Selain itu juga, bahasa Madura menyimpan pesan etika, moral yang terselubung di balik kata atau kalimat yang ada dalam tiap tingkatan itu. Misalnya, pada tiap tingkatan dari yang tiga itu mengajari penggunanya untuk selalu menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda. Dapat dibuktikan, marahnya orang yang tidak berbahasa (bhesa) Madura dengan baik tentu beda dengan marahnya orang yang menggunakan bahasa (bhesa) Madura yang ikut aturan yang sesuai dengan tingkatan di atas.
Sejatinya, bahasa Madura mempunyai huruf-huruf abjad sendiri yang disebut dengan "carakan madhure". Namun, pada saat ini hanya sebagian kecil dari yang kecil yang masih mengetahui dan ingat akan huruf-huruf tersebut. Padahal, itu merupakan warisan leluhur yang harus di jaga dan lestarikan sepanjang hidup titah orang Madura.
Pada kenyataanya, tidak sedikit kita jumpai di lingkungan kita sendiri bahwa kawula muda banyak menggunakan bahasa nasional dan bahasa gaul yang bertujuan agar lebih keliatan bergensi. Sebagian anak-anak Madura pada sekarang ini, bahasa ibu-nya (pertamanya) bukanlah bahasa Madura, tetapi yang perkenalkan dan diajarkan pertama kali ialah bahasa nasional, sehingga mereka kurang mengetahui terhadap bahasa tanah kelahirannya sendiri, entah itu dalam penggunaan dan sintaksisnya.
Lantas, siapa lagi yang dapat menjaga dan melestarikannya? Dan kapan lagi kalau tidak di mulai dari sejak dini? Sebab, bahasa tidak hanya dapat diketahui dengan belajar, dengan aplikasi langsung-pun juga dapat diketahui.
Oleh sebab itu, marilah kita sama-sama bahu-membahu demi menjaga dan melestarikan bahasa Madura yang menjadi salah satu bukti budaya kita ialah dengan cara mengajarkan kepada anak-anak kita. Bukan berarti tidak boleh belajar bahasa yang lain, tapi setidaknya kita dapat menjaga warisan leluhur kita tanpa harus menolak apa yang sudah ada di hadapan kita.
Seperti pepatah Arab mengatakan yang artinya "memelihara atas tradisi lama yang baik, dan mengambangkan dengan tradisi baru yang lebih baik".
Harapan terahir kita ialah anak-anak kita yang akan menjadi generasi penerus kita kelak, walaupun zaman sudah serba canggih dengan adanya teknologi yang sudah bermuara pada saat ini, generasi kita masih tetap menjaga budaya dan tradisi yang sudah mengantal mulai dahulu kala, justru dapat memanfaatkan teknologi itu untuk menjaga dan melestarikan budaya kita khususnya bahasa Madura. Waallahu ta'ala A'lam bis Showaab. (*)
---------
*) Penulis adalah mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Arab STAIN Pamekasan, Madura, Jawa Timur.
Bahasa Madura Mulai Mengikis
Rabu, 9 November 2016 12:23 WIB
Dengan bergesernya waktu dan berubahnya zaman, bahasa Madura mulai jarang digunakan, walaupun ada yang menggunakannya itu hanya dalam ranah tingkat bawah saja (eje’ iye). Padahal, dalam bahasa Madura terdapat beberapa tingkatan dan penggunaan yang tidak boleh di salah dalam menggunakan dari masing-masing tingkatan tersebut.