Menyebut nama santri, sosok yang terbersit adalah putra maupun putri yang menempuh pendidikan di pondok pesantren. Mereka belajar memperdalam ilmu agama, selain ilmu umum.
Di era pasar bebas atau era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), kompetisi menjadi semakin terbuka. Bukan hanya masyarakat umum, para santri pun harus siap menghadapi.
Era persaingan bebas bukanlah hal yang mudah untuk dijalani. Masyarakat dituntut untuk kreatif. Jika berdagang, produk yang dijual pun harus mempunyai nilai jual yang tinggi, sehingga kualitasnya tidak kalah dengan kualitas produk dari negara lain.
Lalu, bagaimana dengan santri? Selama ini, mayoritas santri identik dengan mempelajari ilmu agama, tanpa harus belajar menjadi kreatif, termasuk pada era persaingan bebas. Hal itu sangat terlihat di pondok pesantren salaf.
Namun, di pondok pesantren modern, tentu tingkat pendidikannya akan lebih maju. Para santri diajari belajar bahasa asing, baik Bahasa Inggris maupun Bahasa Arab. Mereka pun dibekali keterampilan untuk bisa hidup di tengah masyarakat.
Namun, pendidikan yang diterima santri belum sepenuhnya merata. Mereka yang tinggal di pondok salaf, tentunya belum bisa sama kualitas pendidikannya dengan yang belajar di pondok pesantren modern.
Menghadapi era persaingan bebas, Presiden Joko Widodo pernah mengingatkan agar para santri dan kalangan pondok pesantren untuk siap dalam menghadapi persaingan MEA.
Saat berkunjung ke Pondok Pesantren (Ponpes) Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, Kabupaten Magelang (Mei 2016), Presiden mengingatkan betapa ketatnya persaingan yang dihadapi itu, sehingga tanpa persiapan yang baik, maka akan sulit untuk memenangkan persaingan.
Presiden pun berpesan, santri merupakan aset negara, karena itu para santri harus belajar, menambah ilmu, kerja keras, menambah pengalaman serta menggeluti profesi sesuai bidang dengan sungguh-sungguh untuk memenangkan persaingan pada era MEA itu.
Masukan dari Presiden kepada kaum santri ini tentunya menjadi angin segar yang berhembus, namun hingga kini pendidikan untuk santri masih belum benar-benar maksimal kan?.
Baru-baru ini, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) DPR menggagas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pendidikan Madrasah dan Pondok Pesantren. RUU ini digulirkan PKB sebagai respons atas kurangnya perhatian negara terhadap pendidikan madrasah dan pondok pesantren.
Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar mengatakan, minimnya perhatian negara terhadap pendidikan madrasah dan pondok pesantren itu diantaranya terlihat dari ketimpangan anggaran dan sarana prasarana, padahal pondok pesantren juga memiliki peran yang sangat besar untuk kemajuan bangsa Indonesia, bahkan ratusan tahun silam.
Ide dari PKB ini tentunya bisa dipahami, mengingat perhatian pada lembaga pendidikan ini memang masih belum optimal. Lulusan dari pondok pesantren masih dinilai sebelah mata, padahal para santri pun sudah banyak yang terbukti menyumbangkan pemikiran dan prestasinya demi kemajuan bangsa ini.
Misalnya, tokoh Nahdlatul Ulama KH Abdurrahkan Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur. Walaupun santri, beliau mampu memimpin Indonesia. Gus Dur pernah menjabat sebagai Presiden dan pemikirannya terus dipelajari dan dikembangkan hingga kini.
Berkaca dari itu, bisa disebut lulusan pondok pesantren juga mempunyai potensi dan prestasi. Harusnya, pemerintah mendukung pengembangan para santri, membekalinya dengan beragam ilmu dan keterampilan yang bermanfaat, untuk bekal bersaing di era MEA.
Apa yang dicetuskan PKB itu juga menjadi keresahan warga santri pada umumnya, sehingga jika direalisasikan diharapkan bisa semakin menjadikan santri terdidik dan profesional. (*)