Banyuwangi (Antara Jatim) - Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, menggelar Festival Budaya Osing yang menyuguhkan tradisi masyarakat suku asli daerah itu dalam menyadap nira untuk bahan dasar membuat gula dari sari pohon aren.
Suguhan bagi masyarakat yang ingin menikmati liburan panjang akhir pekan dengan tontonan budaya tradisional itu dilangsungkan di Desa Banjar, Kecamatan Licin, Sabtu hingga Minggu (8/5).
Festival itu digelar dengan menampilkan proses pembuatan gula aren (sugar brown) dari air atau nira pohon aren yang dimulai dari proses penyadapan, pengolahan, sampai gula aren itu menjadi berbagai makanan dan minuman.
Saat festival berlangsung, Desa Banjar yang biasanya asri dan sunyi berubah menjadi ramai. Wisatawan yang penasaran hadir berjubel untuk melihat langsung proses pengolahan gula aren di desa yang terletak di kaki Gunung Ijen itu.
Di sepanjang jalan, rumah-rumah warga menyuguhkan jajanan khas desa yang berbahan dasar gula aren. Misalnya saja bolu kuwuk, jenang procot, iwel-iwel, kulupan sawi (singkong yang dibalut gula aren). Semuanya berasa manis. Tidak ketinggalan suguhan kopi pahit yang diminum dengan gigitan gula aren menjai suguhan istimewa dan khas.
Pengunjung juga bisa melihat langsung proses pemasakan nira menjadi gula aren dalam gubuk-gubuk yang berderet di sepanjang jalan. Hawa terasa panas karena proses pemasakannya tradisional menggunakan tungku kayu dsalam ukuran besar. Namun hal itu akan menjadi pengalaman unik bagi wisatawan, apalagi dari mancanegara.
Salah satu wisatawan asal Spanyol, Paula Gracia (22), tampak asyik mengambil gambar proses pembuatan gula coklat itu. Menurut Paula prosesnya sangat menarik karena unik dan bagi dia tidak ditemui di negara asalnya.
“Ini pertama kalinya saya melihat proses pembuatan sugar brown. Sangat menarik. Saya sangat terkesan dengan yang ada di sini," ujarnya.
Bukan hanya menikmati, Paula mencoba setiap olahan gula aren ini. “Rasanya enak dan unik. Saya suka," ujarnya.
Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mengatakan Osing Culture Festival menjadi ajang yang spesial karena idenya berasal dari inisiatif warga Desa Banjar, Kecamatan Licin, sendiri. Tradisi menyadap nira pohon aren yang telah berlangsung turun-temurun dengan semua prosesnya, ternyata mampu disuguhkan menjadi sebuah atraksi wisata yang menarik dan unik.
"Ini membuktikan masyarakat mempunyai konsep, kreativitas, dan memiliki harapan untuk memajukan desanya. Dengan digelarnya festival ini menjadi modal yang kuat bagi Desa Banjar untuk bertransformasi menjadi desa wisata, apalagi masyarakatnya ramah-ramah, alamnya juga sangat indah, dan masih dalam satu jalur dengan Gunung Ijen," kata Anas saat membuka festival tersebut.
Dalam kesempatan itu, Bupati Anas menyempatkan diri melihat pengolahan gula aren secara tradisional. Anas juga mencicipi aneka penganan dari gula aren itu. "Secara tak langsung, kegiatan ini membangkitkan kuliner lama, dan berpotensi menumbuhkan pasar," kata Anas.
Camat Licin Muhammad Lutfi juga mengatakan Osing Culture Festival merupakan ide dari warga Desa Banjar. Melihat pariwisata berkembang, terutama Gunung Ijen yang mampu menyedot ribuan wisatawan, memunculkan ide dari masyarakat setempat untuk mengolah potensinya menjadi sebuah daya tarik wisata.
"Ini murni ide dari warga sini untuk mengembangkan desanya. Sebenarnya sudah dimulai sejak tahun lalu. Sudah banyak rombongan wisatawan yang menikmati paket tur wisata ini. Mereka melihat sadap nira, pengolahannya serta kita suguhi kuliner berbahan dasar gula aren. Mereka sangat senang, apalagi juga kita tampilkan kesenian warga di sini," ujarnya.
Tradisi penyadapan nira di desa Banjar memiliki keistimewaan. Seperti yang diungkapkan salah satu penyadap nira asli warga Desa Banjar, Haini (54). Menurut Haini, tidak sembarang orang bisa menyadap nira pohon aren. Hanya mereka yang mendapatkan mimpi bertemu gadis atau sosok perempuan saja yang bisa melakukan penyadapan dengan lancar. Selain itu, seseorang yang menyadap nira juga harus bersih hatinya atau pohon nira yang disadap tidak akan mau mengeluarkan air.
"Misalnya saja saya selingkuh, walaupun berair tapi tadah yang dipasang tidak akan penuh dengan nira," ujar Haini.
Selain itu, ungkap Haini, para penyadap nira di desanya meyakini saat akan menyadap nira, baju yang dikenakan harus sama dengan baju saat pertama kali mereka menyadap. “Selain itu, penyadap harus harum bau tubuhnya. Kalau dua syarat itu tidak dipenuhi, biasanya air hasil sadapannya tidak akan maksimal," ujar Haini yang berprofesi penyadap nira selama lebih dari 30 tahun.
Para pengunjung selain bisa melihat beragam olahan nira dan cara memasaknya, pada festival itu sebagian juga diajak menyusuri kebun pohon aren. Mereka diajak melihat langsung kebun aren, penyadapan niranya, hingga pengolahannya. Mereka juga disuguhi nasi lemang khas Banjar, yaitu nasi yang dimasukkan ke dalam bambu. (*)
Festival Budaya Osing Tampilkan Tradisi Sadap Nira
Sabtu, 7 Mei 2016 18:22 WIB