Surabaya, (Antara Jatim) - Penjualan berbagai jenis alas kaki dari Jawa Timur ke berbagai daerah di Indonesia dan ekspor pada triwulan I 2016 menurun 40 persen jika dibanding periode yang sama tahun 2015, karena harga alas kaki yang naik sebagai imbas upah minimum kabupaten (UMK) yang mengalami kenaikan 10-15 persen pada 2016.
"Kendala paling serius memang masalah kenaikan upah. Di industri alas kaki upah berkontribusi 40 persen terhadap harga pokok penjualan," ucap Ketua Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Jatim Winyoto Gunawan, di Surabaya, Selasa.
Ia mengatakan awalnya sejumlah pelaku industri alas kaki di Jawa Timur khawatir terhadap kenaikan UMK yang bisa berimbas pada penjualan, dan terbukti industri alas kaki di Jatim turun drastis pada triwulan I 2016.
"Untuk total penjualan saya tidak bisa sebutkan, namun dalam tiga bulan awal penurunan penjualan hingga 40 persen jika dibanding periode yang sama pada tahun lalu. Penurunan penjualan lantaran harga alas kaki yang naik karena UMK yang naik hampir 10-15 persen pada tahun ini," katanya.
Winyoto mengatakan turunnya penjualan ini membuat persaingan semakin ketat saat memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada awal tahun 2016, sebab harga produksi alas kaki Jatim kalah bersaing dengan sepatu asal Vietnam.
"Ini karena selisih upah pokok di Vietnam lebih rendah hingga 32,5 persen dibanding Indonesia. Sehingga harga sepatu mereka bisa lebih murah, akibatnya produk mereka lebih menguasai," ucapnya.
Bukti lain, kata Winyoto, adalah turunya permintaan ekspor dari Eropa dan Amerika Serikat, karena negara tersebut lebih meminati produk sepatu asal negara Eropa Timur, sebab nilai upah yang hanya berkisar 100 Euro sampai 120 Euro atau Rp2 juta.
"Ini yang membuat harga mereka lebih murah, apalagi pengiriman juga lebih cepat. Padahal, selama ini kawasan Eropa berkontribusi 25 persen dari total nilai ekspor alas kaki Jatim. Dan di triwulan awal ini kontribusinya bahkan tak sampai 15 persen," katanya.
Sementara itu, Winyoto mengatakan saat ini pasar Amerika Serikat lebih tertarik dengan Vietnam, sehingga kedua negara telah melakukan MoU agar produk sepatu dari Vietnam bebas bea masuk.
"Sedangkan produk sepatu dari Indonesia masih dikenakan bea masuk sebesar 9 persen. Kondisi itu memaksa beberapa perusahaan untuk mulai mengurangi jam kerja, untuk menekan biaya produksi alas kaki yang naik 12–15 persen," ucapnya.
Ia berharap, pemerintah dapat memperhatikan industri alas kaki di Jawa Timur sehingga bisa mempertahankan produksi, karena biaya yang naik dan penjualannya lesu yang berdampak di pasar domestik dan ekspor.(*)