Surabaya (Antara Jatim) - Ikatan Pesantren Indonesia (IPI) menyatakan siap "perang" lewat media sosial untuk melawan radikalisasi dan sekaligus menggelorakan nasionalisme.
"IPI sendiri lahir sebagai jawaban atas stigma sarang teroris yang dialamatkan pada pesantren," kata Ketua Umum DPP IPI KH Zaini Ahmad di sela Munas I IPI di Surabaya, Minggu.
Di sela Munas I IPI yang berlangsung di Surabaya pada 27-28 Februari itu, ia menjelaskan digitalisasi juga akan dimanfaatkan IPI untuk mengembangkan kewirausahaan/ekonomi digital.
"Kejahatan seukuran biji zarroh saja diganjar secara setimpal, apalagi bom, tentu sanksinya lebih besar, karena itu kami akan memanfaatkan potensi media sosial untuk melawan radikalisasi," katanya.
Di sela Munas I IPI 2016 yang dibuka Pangdam V/Brawijaya Mayjen TNI Sumardi (27/2) dan dihadiri KH Muhdlor Mahmud (Pesantren Sidogiri, Pasuruan), serta pengurus dari 29 provinsi dan 316 cabang, ia mengatakan IPI siap bekerja sama dengan TNI.
"Pengurus DPP juga ada yang jenderal dan kehadiran pangdam juga membuktikan bahwa bangsa ini kuat karena kolaborasi TNI dengan santri sejak dulu," katanya.
Namun, kolaborasi saat ini harus dengan "perang" lewat media sosial, lewat digital untuk "perang" ekonomi, forum bela negara, dan sebagainya yang semuanya akan dibahas dalam Munas I IPI.
"Kami akan menyiapkan 5.000 iPad untuk pesantren digital, lalu seribu iPad untuk mencetak santri preneurship dan menangkal radikalisasi, dan sebagainya," katanya.
Dalam sambutannya, Pangdam V/Brawijaya Mayjen TNI Sumardi meminta dukungan para ulama dan santri dalam menangkal radikalisme, terorisme, dan liberalisme.
"Saya kira para ulama dan santri dalam dakwahnya dapat mengingatkan masyarakat untuk tidak melakukan kekerasan, teror, dan pergaulan bebas. Narkoba adalah salah satu dampak dari liberalisme atau pergaulan bebas itu," katanya.
Pendidikan Nasionalisme
Sementara itu, Ketua Umum Pergerakan Santri Nusantara, Tegar Putuhena, menyatakan pendidikan nasionalisme itu penting untuk menangkal terorisme, karena itu "perang" terhadap terorisme perlu dilakukan dengan memadukan pendidikan nasionalisme dengan pembelajaran pesantren.
"Selama ini terorisme selalu diidentikkan dengan pesantren dan kaum santri. Stigma seperti itu tentu tidak benar," katanya dalam diskusi publik bertajuk "Proteksi Santri Terhadap NKRI dari Bahaya Laten Terorisme" di Surabaya (28/2).
Menurut dia, penguatan peran santri itu penting untuk menangkal pemahaman radikalisme. "Jumlah pesantren di Indonesia cukup banyak, begitupun santri didik yang dihasilkan. Berkembangnya pemahaman radikal selama ini salah satunya dipicu minimnya penguatan jiwa nasionalisme, khususnya di kalangan santri," katanya.
Oleh karena itu, pemerintah harus turun tangan untuk melakukan pendidikan nasionalisme yang diintegrasikan dengan metode pembelajaran santri di pesantren guna menangkal radikalisme.
Senada dengan itu, akademisi Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Muhammad Hermansyah, menilai pentingnya proteksi NKRI di dunia akademik.
"Mahasiswa harus dibentuk sebagai agen nasionalisme yang kebal terhadap paham radikal dan terorisme. Dalam dunia akademik harus ada peran aktif setiap stakeholder untuk mencegah tumbuh suburnya ideologi radikal," katanya. (*)