Bojonegoro (Antara Jatim) - Perajin tahu dan tempe Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, menyatakan bertahan tetap berproduksi dan tidak terpengaruh harga kedelai impor dan lokal yang cenderung naik.
"Perajin tahu dan tempe tidak ada yang berhenti berproduksi. Meskipun harga kedelai impor dan lokal cenderung naik," kata Ketua Paguyuban Perajin Tahu dan Tempe Bojonegoro Arifin, di Bojonegoro, Sabtu.
Ia menyebutkan harga kedelai impor sempat naik dari Rp7.000 per kilogram menjadi Rp7.200 per kilogram, dan kedelai lokal yang semula Rp6.800 per kilogram, naik menjadi Rp7.000 per kilogram, dua pekan lalu.
Tapi, lanjut dia, kenaikan harga kedelai impor dan lokal hanya sempat bertahan selama sepekan, kemudian turun lagi masing-masing menjadi Rp7.000 per kilogram dan Rp6.800 per kilogram, sepekan lalu.
"Meskipun nanti harga kedelai naik lagi, biasanya perajin tetap bertahan dengan harga penjualan ke konsumen, dengan resiko keuntungan berkurang," ucapnya.
Begitu pula, menurut dia, perajin tahu tidak ada yang berani mengurangi porsi penjualan tahu ke konsumen, khawatir tidak laku.
"Kenaikan harga kedelai impor selama ini selalu dipengaruhi naiknya nilai tukar dolar Amerika Serikat," katanya.
Lebih lanjut ia menjelaskan perajin tahu yang menjadi anggotanya dengan jumlah 150 perajin termasuk perajin tempe dalam membuat tahu memanfaatkan kedelai impor 70 persen dan kedelai lokal 30 persen.
Ia memberikan gambaran dirinya masih mampu menjual tahu dengan bahan kedelai 1,5 kuintal dan tempe 25 kilogram/hari.
"Saya bisa menjual tahu dengan bahan kedelai 1 kuintal per harinya," perajin lainnya Ny. Marfuah.
Ia menambakan produksi tahu dan tempe yang menjadi anggota paguyuban, selain memenuhi kebutuhan lokal, juga dijual ke luar kota, seperti ke Babat, Lamongan dan Cepu, Jawa Tengah.
"Sekarang kami juga harus bersaing dengan perajin tahu Sumedang, Jawa Barat, yang mulai berproduksi di Bojonegoro," jelasnya. (*)