Perajin Tahu Bojonegoro Kurangi Produksi
Kamis, 18 Desember 2014 8:34 WIB
Bojonegoro (Antara Jatim) - Perajin tahu di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, mengurangi produksi rata-rata sekitar 25 persen, sejak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), disebabkan naiknya harga kedelai.
Ketua Paguyuban Perajin Tahu dan Tempe Bojonegoro Arifin di Bojonegoro, Kamis mengatakan perajin lebih memilih mengurangi produksi tahu dibandingkan menaikkan harga. Selain itu, perajin juga mengurangi porsi tahu yang dijual, tetapi harganya tetap sama dengan harga sebelum ada kenaikan BBM.
Perajin, lanjutnya, tidak berani menaikkan harga tahu, karena khawatir pembelinya berkurang.
"Tapi kenyataannya pembeli tahu juga berkurang, sebab kenaikan harga BBM mempengaruhi daya beli masyarakat," ujarnya.
Menurut dia, perajin tahu di Desa Ledokkulon, Kecamatan Kota, yang menjadi sentra perajin tahu di daerahnya, dengan jumlah sekitar 300 perajin, semuanya menurunkan produksinya.
"Penurunan produksi juga terkait dengan modal, sebab kalau produksinya tetap sama dengan naiknya harga kedelai jelas biaya produksi pembuatan tahu naik," tandasnya.
Ia mencontohkan dirinya mengurangi produksi tahu rata-rata menjadi 1,5 kuintal/hari, yang biasanya bisa mencapai 2 kuintal/hari.
Saat ini, katanya, harga kedelai impor Rp8.000/kilogram, yang semula sebelum ada kenaikan harga BBM Rp7.600/kilogram. Begitu pula, harga kedelai lokal naik menjadi Rp7.600/kilogram, yang semula Rp7.300/kilogram.
"Perajin tahu juga membutuhkan kedelai lokal untuk campuran," jelas dia.
Lebih lanjut ia menjelaskan produksi tahu di daerahnya berbeda dengan produksi tahu di daerah lainnya, seperti Sumedang, Jawa Barat, yang produksinya tahu bisa bertahan dengan waktu lama.
Menurut dia, produksi tahu perajin yang menjadi anggotanya, tidak bisa bertahan lama, disebabkan tanpa bahan pengawet.
Oleh karena itu, lanjut dia, para perajin tahu memasarkan sendiri produksi tahunya baik dalam keadaan masih mentah atau sudah digoreng ke sejumlah pasar tradisional di daerahnya, juga Babat, Lamongan, Tuban dan Blora, Jawa Tengah.
"Kalau dua hari tidak laku tahu kami sudah rusak," ucapnya. (*)