Prosesi larung sesaji atau biasa disebut dengan istilah larungan di Telaga Ngebel, Ponorogo selalu menjadi momentum yang ditunggu wisatawan dan para pecinta budaya dari berbagai daerah, khusus masyarakat Kota Reog sendiri karena alasan kesejarahan dan budaya setempat.
Angin sepoi nan segar langsung menerpa wajah Dinar dan Arso yang berkendara sepeda motor sedikit terburu menuju lokasi acara larungan di depan paseban area wisata Telaga Ngebel, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, Rabu (14/10) pagi.
Sembari menarik gas agak dalam, Dinar bersama Arso terus memacu memutari jalan aspal yang mengitari danau alami yang memiliki luas sekitar 1,5 kilometer persegi itu.
Jam saat itu menunjuk pukul 09.15 WIB. Sempat cemas terlambat meski mata liar tak kuasa melihat suasana danau yang elok dengan pemandangan pencari ikan yang menjaring dari atas keramba-keramba. Sepeda motor Dinar terus menderu hingga akhirnya kedua remaja itu tiba di lokasi upacara larung sesaji, yang lokasinya kira-kira berada di sisi utara Telaga Ngebel.
"Ah, syukurlah tidak terlambat. Sayang sekali jika sampai kehilangan memotret ritual dari awal hingga akhir," cetus Dinar sembari mematikan mesin motonya.
Sekejap dia memarkir kendaraan di penitipan warga, sebelum kemudian beringsut menuju lokasi upacara larungan.
Di sana, ratusan bahkan ribuan orang sudah hiruk-pikuk mengambil posisi paling nyaman untuk menonton rangkaian ataupun penggalan prosesi larungan.
Ada yang duduk di seputaran paseban, ada yang masih santai menunggu sambil menikmati aneka penganan khas Ponorogo di warung-warung, duduk menggelar tikar di bantaran telaga, hingga bermain speedboat mengelilingi danau yang memiliki panjang lingkar sekitar lima kilometer tersebut.
Semua tampak asyik sampai gelaran ritual larungan dimulai, ditandai dengan datangnya dua bucengan (tumpeng) berisi aneka hasil bumi dan rempah.
"Itu bucengnya datang," seru Arso memberi kode pada beberapa temannya sesama penghobi foto, atau dalam bahasa gaul mereka disebut dengan istilah "fotografer".
Tak mau menunggu lama, bersama belasan wartawan dan kru dokumentasi dinas pariwisata setempat yang ikut meliput, Dinar, Arso serta sejumlah fotografer temannya langsung berburu gambar dari berbagai angel.
Prosesi larungan ditandai dengan seremoni penyerahan panji-panji adat desa setempat, dari Pj Bupati Ponorogo Maskur kepada sesepuh adat setempat, Dwijo Abdinagoro selaku ketua panitia upacara larung dan purak sesaji di Telaga Ngebel.
Nuansa kerajaan, lengkap dengan sepasukan hulubalang, abdi dalem hingga deretan dayang dan penari mengiringi keseluruhan ritual larungan.
Arso dan Dinar masih terus menodongkan lensa kamera mereka ke arah pementas hiburan reog dan aneka tarian daerah saat sepasang tumpeng berukuran tanggung, atau biasa disebut dengan buceng lanang dan buceng wadon itu diarak oleh para abdi dalem dan dayang-dayang mengelilingi Telaga Ngebel sejauh lima kilometer.
"Ritual larungan di Telaga Ngebel ini menjadi puncak rangkaian acara Grebeg Suro yang menjadi tradisi turun-temurun masyarakat Ponorogo," kata Maskur saat mebgisi sambutan.
Setelah menikmati aneka hiburan reog dan tari yang disaksikan oleh jajaran forum pimpinan daerah, pejabat dinas, tamu undangan serta tokoh masyarakat adat dari sejumlah desa sekitar Telaga Ngebel, ritual dilanjutkan dengan tradisi larungan serta purak tumpeng.
Buceng lanang dilarung ke tengah Telaga Ngebel, sementara buceng wadon dipurak atau menjadi bahan/obyek rebutan masyarakat yang masih meyakini makanan serta hasil bumi yang dipurak dalam ritual larungan bisa membawa berkah, kesehatan dan keselamatan.
Namun karena dua tahapan ritual itu dilakukan pada waktu bersamaan namun titik lokasi berbeda, Arso dan Dinar akhinya memilih mengikuti ritual larungan hingga ke tengah Telaga Ngebel dengan memanfaatkan jasa perahu wisata yang memang disediakan panitia penyelenggara bersama bagian humas pemkab setempat.
"Kami memberi ruang seluas-luasnya pada rekan-rekan jurnalis, komunitas ’sosmed’ (sosial media), maupun penghobi foto untuk mengabadikan ritual adat ini agar tradisi larungan Telaga Ngebel yang menjadi ikon wisata Ponorogo bisa tersiar ke seluruh dunia," ujar Kepala Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Ponorogo, Sapto Jatmiko.
Namun, rupanya tak hanya Arso-Dinar dkk yang berburu foto. Saat mereka mulai membidikkan moncong lensa kemera ke arah buceng lanang yang diarak turun tangga ke tepian danau, dari arah pinggiran telaga sudah bersiap ribuan pasang mata yang tegang menyaksikan detik-detik prosesi larungan.
Tak hanya menonton, banyak di antara pengunjung dan wisatawan itu yang ikut mengabadikan dengan peralatan kamera saku, android maupun telepon cerdas lainnya. "prat-pret, jrat-jret, klak-klik" , begitu kira-kira gambaran suara ratusan kamera berbagai jenis perangkat lunak itu berlomba mengabadikan prosesi larungan.
Bedanya, Dinar –Arso dan sedikit fotografer bisa mengambil gambar larungan dari tengah, sementara ribuan pengunjung atau wisatawan lain hanya bisa menyaksikan dari pinggir danau.
"Kalaupun ada (wisatawan) yang mau mengambil gambar atau menyaksikan hingga ke tengah juga bisa, caranya dengan menyewa perahu (speed) boat ataupun perahu bus wisata yang tersedia di pinggir telaga," ujar Amran, salah seorang awak perahu wisata menawarkan jasa.
Selepas prosesi larungan, aneka hiburan disediakan panitia grebeg suro di sekitar Telaga Ngebel, seperti hiburan musik dangdut, karawitan hingga pentas jaranan atau jathilan yang menjadi kesenian daerah lainnya.
Namun, biasanya selepas larungan pengunjung dan wisatawan kebanyakan lebih memilih membubarkan diri.
Mereka kemudian tersebar dengan agenda masing-masing, ada yang bergantian menyewa perahu boat dan perahu wisata, mencari makanan sambil bersenda gurau secara lesehan, atau sekedar duduk-duduk istirahat di tepi danau sambil menikmati suguhan kopi panas dan aneka gorengan yang dijajakan warung-warung sekitar telaga.
Pilihan terakhir ini yang akhirnya dipilih oleh Dinar dan Arso, setelah merasa cukup lelah berkeliling mengabadikan serangkaian prosesi larungan yang berlangsung hingga tengah hari.
Ikon Wisata Ponorogo
Berdasar legenda yang ditulis secara berantai oleh sejumlah kolumnis, konon cerita Telaga Ngebel memiliki mitologi sejarah berlatar cerita unik tentang kisah seekor ular naga bernama "Baru Klinting".
Sang Ular ketika bermeditasi secara tak sengaja dipotong-potong oleh masyarakat sekitar untuk dimakan. Secara ajaib sang ular menjelma menjadi anak kecil yang mendatangi masyarakat dan membuat sayembara, untuk mencabut lidi yang ditancapkan di tanah.
Namun, tak seorangpun berhasil mencabutnya, hingga sang bocah melakukannya sendiri dan dari lubang bekas lidi tersebut keluarlah air yang kemudian menjadi mata air yang menggenang hingga membentuk Telaga Ngebel.
Legenda Telaga Ngebel, terkait erat dan memiliki peran penting dalam sejarah Kabupaten Ponorogo, terutama kisah perjalanan pendiri kadipaten Ponorogo pada akhr era abad XIV, yakni Batoro Kathong.
Sebelum melakukan syiar Islam di Kabupaten Ponorogo, Batoro menyucikan diri terlebih dahulu di mata air, yang ada di dekat Telaga Ngebel yang kini dikenal sebagai Kucur Batoro.
Secara geografis, Telaga Ngebel berjarak sekitar 30 kilometer dari Pusat kota Ponorogo. Lokasinya persis di lereng Gunung Wilis yang berbatasan antara Kabupaten Ponorogo, Madiun serta Nganjuk
Obyek wisata berupa danau alami itu sebenarnya juga bisa ditempuh dari Kabupaten Madiun atau Nganjuk, namun akses jalan belum sempurna. Satu-satunya akses yang mudah dilalui dan masih bagus adalah dari arah kota Ponorogo dengan jarak tempuh sekitar 25-an menit kecepatan sedang.
Mengacu data yang beredar, Telaga Ngebel berada di ketinggian sekitar 784 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Dikelilingi hutan lindung di lereng gunung yang masih alami, tak heran jika kawasan Telaga Ngebel ini memberikan nuansa yang alami dengan pemandangan yang luar biasa eksotis.
Beberapa blogger, penulis bebas bahkan menyebut Telaga Ngebel lain daripada telaga atau danau-danau yang lain di Jatim.
Selain anggun, kondisi alamdi sekitar Telaga Ngebel sangat berprospek baik bila dikembangkan lebih lanjut, termasuk apabila dijadikan aset daerah guna meningkatkan perekonomian.
"Telaga Ngebel sudah seperti tambang emas yang menunggu sentuhan investor. Telaga Ngebel adalah ikon kedua Ponorogo setelah (kesenian) reog,” ujar sesepuh masyarakat adat Telaga Ngebel, Dwijo Abdinagoro.
Atas dasar nilai estetika, sejarah-budaya yang berkembang, Dwijo mengungkapkan ide pagelaran larungan desa-desa di sekitar Telaga Ngebel kemudian dicetuskan pada 1993.
Saat itu, atas inisiatif Camat Ngebel, lanjut Dwijo, tokoh masyarakat adat di delapan desa sekitar Telaga Ngebel dikumpulkan.
Tujuanya, yaitu menyatukan tradisi bersih desa menjadi ritual larungan yang digelar bersama.
Selain bertujuan melestarikan budaya leluhur mengucap syukur dengan selamatan serta aneka perayaan suroan untuk tolak bala, larungan diharapkan bisa meningkatkan nilai keparwisataan Telaga Ngebel sehingga berdampak ekonomi terhadap masyarakat sekitar Ngebel. (*)
Berburu Larungan Ngebel di Puncak Grebeg Suro
Jumat, 16 Oktober 2015 10:56 WIB
"Kami memberi ruang seluas-luasnya pada rekan-rekan jurnalis, komunitas ’sosmed’ (sosial media), maupun penghobi foto untuk mengabadikan ritual adat ini agar tradisi larungan Telaga Ngebel yang menjadi ikon wisata Ponorogo bisa tersiar ke seluruh dunia," ujar Kepala Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Ponorogo, Sapto Jatmiko.