Obituari - NAHDLIYIN KEHILANGAN ULAMA KONSEPTOR KHITTAH NU Oleh Zumrotun Solichah
Jember (Antara Jatim) - Sesepuh Nahdlatul Ulama (NU) KH Abdul Muchit Muzadi wafat dalam usia 90 tahun setelah menjalani perawatan di Rumah Sakit Persada Kabupaten Malang, Jawa Timur, Minggu pukul 05.00 WIB.
Kakak kandung KH Hasyim Muzadi itu dishalatkan di Pondok Pesantren Al-Hikam Malang, kemudian dibawa ke rumah duka di Jalan Kalimantan, Kelurahan/Kecamatan Sumbersari, Kabupaten Jember, untuk dimakamkan sesuai dengan permintaan almarhum.
Jenazah Mustasyar PBNU itu tiba di rumah duka sekitar pukul 12.30 WIB dan disambut isak tangis ribuan pelayat yang sudah datang sejak pagi, bahkan sejumlah pelayat berebut untuk membawa peti mati almarhum dari ambulans menuju Masjid Sunan Kalijaga di samping rumah duka.
Secara bergantian, ribuan pelayat melakukan shalat jenazah sebagai pengormatan terakhir kepada santri pendiri NU KH Hasyim As'yari yang tahu persis perjalanan NU mulai dari awal terbentuknya organisasi masyarakat terbesar di Indonesia itu.
"Sakit bapak sudah lama. Sebelum Hari Raya Idul Fitri sempat masuk rumah sakit, namun cuma seminggu dan sembuh," kata putra bungsu Muchit Muzadi, Alfian Futuhul Hadi.
Tokoh kharismatik NU kelahiran Tuban, 4 Desember 1925 itu, sehat kembali dan selama Ramadhan hingga shalat Idul Fitri berada di Jember. Namun pada 17 Agustus 2015, sesepuh yang akrab disapa Mbah Muchit itu ke Malang.
"Beliau masuk rumah sakit sejak 20 Agustus 2015 hingga tutup usia. Kondisinya sempat drop pada Kamis (3/9) dan harus diinfus dengan menggunakan pompa untuk memasukkan cairan," papar pria yang akrab dipanggil Ucuk itu.
Saat ditanya sakit almarhum, putra bungsu yang menempati rumah di Jalan Kalimantan Jember itu mengatakan kemungkinan karena faktor usia almarhum yang sudah 90 tahun.
"Almarhum memang memiliki riwayat penyakit prostat yang sempat diderita 10 tahun silam dan selama ini memang belum sempat menjalani operasi karena sempat diterapi air zam-zam dan sembuh total," kenangnya.
Berdasarkan keterangan medis, lanjutnya, ada kelebihan cairan, sehingga masuk ke paru-paru dan zat-zat penting sudah tidak bisa diproduksi lagi, sehingga keluarga besar menerima dengan ikhlas kepergian beliau.
Ucuk mengaku sempat diberikan sebuah pesan terakhir sebelum almarhum meninggal yang akan selalu diingat yakni "Bapak pesan, belajar ilmu agama iku gak ono entek'e (belajar ilmu agama itu tidak ada habisnya). Meskipun dimulai kapan saja, tetapi tidak ada akhirnya dalam mencari ilmu agama," tuturnya menirukan pesan almarhum.
Meskipun sudah tiba di rumah duka pukul 12.30 WIB, jenazah almarhum penggagas Khittah NU itu baru dimakamkan sekitar pukul 14.30 WIB di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Tegalboto karena menunggu putra sulungnya Ahmad Jauhari yang datang dari Bogor.
Sebelum dimakamkan, Ahmad Jauhari mewakili pihak keluarga mengucapkan terima kasih atas semua pelayat yang hadir untuk mengantarkan jenazah almarhum ke tempat peristirahatan yang terakhir.
"Saya mewakili keluarga meminta keikhlasan dari seluruh pelayat untuk bersama-sama mengantarkan Mbah Muchit menghadap Sang Khalik agar diterima semua amal ibadahnya. Amin," kata Ahmad.
Ia mengatakan almarhum menyampaikan tiga pesan sebelum mengembuskan napas terakhir di rumah sakit. "Bapak ingin dimakamkan di Jember berdampingan dengan almarhumah ibu Siti Farida karena beliau tinggal di Jember dan berharap bisa diterima masyarakat Jember," katanya.
Pesan kedua, meminta keluarga untuk mengabari Salahudin Wahid (Gus Sholah) saat meninggal, karena almarhum merupakan satu-satunya santri langsung dari KH Hasyim Asy'ari yang masih hidup.
"Pesan ketiga, almarhum berharap Pak Hamid, Pak Munir, dan Pak Afandi untuk memakmurkan Masjid Sunan Kalijaga yang kini diasuh adik Ucuk," tuturnya.
Sementara cucu almarhum Ahmad Saifudin Zuhri mengatakan pesan beliau yang selalu dipegang oleh keluarga yakni melarang putra-putrinya untuk berpolitik dan masuk partai politik.
"Sampai saat ini tidak ada anak-anak beliau yang berkiprah di politik dan keluarga besar diminta untuk selalu menjaga tempat ibadah. Mbah Muchit sosok yang sederhana dan sangat bersahaja bagi cucu-cucunya," katanya dengan lirih.
"Ndandani Awak"
Wakil Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Jember Misbahussalam mengatakan nama KH Muchit Muzadi sangat terkenal dan masyhur di kalangan ulama NU dan tokoh-tokoh nasional di Indonesia pasca-Muktamar NU tahun 1984 di Situbondo.
"Almarhum yang membuat dan menulis konsep Khittah NU atas permintaan KH Ahmad Siddiq dan tentu tidak terlepas dari pemikiran KH Ahmad Siddiq sendiri," tuturnya.
Kakak kandung dari KH Hasyim Muzadi itu semasa hidupnya dikenal sebagai konseptor ulung dan ideolog di balik berbagai kebijakan strategis NU dalam masalah keagamaan dan kebangsaan.
"Mbah Muchit dipercaya sebagai sekretaris pribadi KH Ahmad Siddiq dan menjadi konseptor dalam perumusan berbagai gagasan strategis NU dan Bangsa, khittah nahdliyyah dan hubungan NU dan politik, serta penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal," paparnya.
Kesuksesan duet KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan KH Ahmad Siddiq tidak lepas dari pemikiran dan konsep sesepuh NU yang sudah lama tinggal di Kabupaten Jember itu.
"Bahkan setelah KH Ahmad Siddiq wafat, rujukan pemikiran khittah NU tertuju pada almarhum. Bahkan di usia 60 tahun lebih, Mbah Muchit sering menjadi narasumber di tingkat nasional dan regional untuk menjelaskan khittah NU," ucap mantan anggota DPRD Jember itu.
Menurut dia, almarhum merupakan santri langsung dari pendiri NU KH Hasyim Asy'ari yang tahu persis terhadap perjalanan NU dari mulai dari awal terbentuknya organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia itu.
"Kyai Muchit dikenal dekat dengan kader-kader muda NU karena beliau telaten membimbing, mengarahkan, membina, dan mengajar anak-anak muda," katanya.
Almarhum tokoh senior NU itu juga selalu mengingatkan kalau masuk NU itu diniati untuk "ndandani awak" (memperbaiki diri) baik dari sisi ibadah, ilmu, dan akhlak, sehingga jangan sampai menjadi pengurus NU ingin memperbaiki NU atau ulama NU.
"Almarhum selalu memberikan nasehat kepada warga nahdliyin agar menjaga kehormatan diri (al-'iffah). Jangan korbankan kehormatan dirimu hanya untuk kesenangan sesaat dan nasehat itu sering dilontarkan pada anak-anak muda NU," tuturnya.
Mbah Muchit adalah sosok tokoh yang hidup sederhana, meskipun pernah menjabat sekda dan anggota DPRD karena selama hidupnya almarhum selalu bersahaja dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, bahkan terkesan "low profile".
Hal tersebut juga disampaikan Ketua Gerakan Pemuda Ansor Jember, Ayub Junaidi yang mengatakan warga nahdliyin sangat kehilangan konseptor khittah NU yang selalu menjadi panutan.
"Kiprah beliau bersama KH Ahmad Siddiq sangat luar biasa untuk menerapkan Aswaja dan menyatukan Islam dengan Pancasila yang saat itu mendapat penolakan yang cukup keras dari berbagai pihak," tuturnya.
KH Muchit dipercaya membuat rumusan konseptual mengenai Aswaja, menuntaskan hubungan Islam dengan Negara dan mencari rumusan pembaruan pemikiran Islam, serta strategi pengembangan masyarakat NU.
"Dengan sumbangsih pemikiran almarhum, NU menjadi organisasi yang sangat besar dan luar biasa memiliki peranan di bidang keagamaan, kemasyarakatan, dan kenegaraan," ucap Ayub yang juga Wakil Ketua DPRD Jember itu.
Selain itu, lanjutnya, sosok tauladan yang patut ditiru adalah kesederhanaan almarhum yang selalu tercermin dalam kehidupan sehari-hari dan selalu menghargai pemikiran kaum muda NU.
"Beliau sangat bersahaja dalam menyikapi segala persoalan di dalam NU dan kesederhanaan almarhum membuat beliau seperti 'padi' semakin berisi semakin merunduk," katanya.
Bupati Jember MZA Djalal yang hadir dalam pemakaman almarhum juga menyampaikan duka cita yang mendalam karena Kabupaten Jember kehilangan tokoh NU kharismatik.
"Saya atas Pemerintah Kabupaten Jember dan secara pribadi menyampaikan duka cita yang mendalam atas meninggalnya tokoh NU kharismatik. Mungkin tidak hanya warga Jember, namun warga nahdliyin sangat kehilangan almarhum," tuturnya.
Ia mengatakan almarhum merupakan sosok yang sederhana, memiliki wawasan ilmu yang luas, dan 'low profile', sehingga sangat bersahaja dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.
"Semoga kita semua bisa meneladani sikap kesabaran dan kesederhanaan beliau," ucap Bupati Jember dua periode itu.
Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas juga datang untuk melayat ke rumah duka Mbah Muchit karena selama menempuh pendidikan sekolah menengah atas (SMA), Bupati Banyuwangi itu pernah tinggal dan menjadi santri almarhum.
"Beliau adalah tokoh NU yang luar biasa dan di usianya yang sudah lanjut masih menyempatkan diri untuk mendokumentasikan kejadian penting melalui tulisan yang selalu menjadi perhatian semua pihak," ucap Anas.
Ia juga sangat kagum dengan sikap kesederhanaan almarhum dan cara berkomunikasi sesepuh NU dengan semua kader muda NU yang dapat diterima dengan baik.
"Beliau sangat menjunjung tinggi silaturahmi dan setiap berkunjung ke Banyuwangi, beliau selalu singgah untuk terus menjalin silaturahmi," kenangnya.
Tokoh besar NU yang selalu berada di "balik layar" tersebut meninggalkan delapan anak, 19 cucu, dan satu cicit. Beliau dimakamkan berdampingan di sebelah makam istrinya di TPU Tegalboto.
Selamat jalan Mbah Muchit, semoga amal ibadah diterima dan semua dosa diampuni Allah SWT. Amin ya robbal alamin. Semoga, generasi muda NU dan masyarakat yang ditingalkan bisa tetap mewarisi sikap teladan almarhum yang sederhana, hormat kepada ulama, peduli pada kaum muda, serta komitmen pada khittah. (*)