Harapan warga kota Surabaya untuk mendapatkan pemimpin
pemerintahan dari hasil pemillihan kepala daerah serentak 9 Desember 2015,
untuk sementara kandas setelah sampai batas akhir pendaftaran 3 Agustus lalu
hanya satu pasangan calon yang terdaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota
Surabaya.
Pasangan calon tunggal itu adalah Tri Rismaharini dengan
Whisnu Sakti Buana yang diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan,
tanpa bantuan koalisi karena mereka sangat yakin mampu memenangi pilkada Kota
Surabaya dengan kekuatan sendiri, tentu sambil mengandalkan elektabilitas Risma
yang cukup tinggi.
Tanpa disadari, rasa percaya diri berlebihan itu lah yang
menjadi biang kegagalan pelaksanaan pilkada Kota Surabaya tahun ini. Partai
politik lain enggan mengajukan calon karena kandidatnya pasti akan dianggap
sebagai kontestan boneka.
Bisa dimaklumi apabila Haries Purwoko yang menjadi bakal
calon Wakil Wali Kota Surabaya mendampingi Dhimam Abror Djuraid, mendadak
mundur saat pendaftaran karena mendengar ada yang menyindirnya sebagai boneka.
Dengan alasan harga diri, Haries pun menyelinap ke toilet
kemudian menghilang dari kantor KPU Surabaya hingga batas waktu pendaftaran,
sehingga pasangan Abror-Haries pun dinyatakan tidak mendaftar.
Sikap pasangan calon yang diusung Partai Demokrat dan Partai
Amanat Nasional itu dengan membatalkan pendaftaran, bisa jadi untuk memberi
pelajaran bagi PDIP yang terlalu PeDe.
Memiliki 16 kursi di parlemen, PDIP jelas merupakan partai
terkuat. Sayang, potensi kekuatan itu diumbar tanpa kendali dan tidak diimbangi
dengan gagasan-gagasan yang cerdas.
Mereka seharusnya
bisa memproduksi sendiri calon pendamping dengan menempatkan kandidat dari
partai lain, tentu dengan segala risiko termasuk pendanaannya atau membiayai
seseorang menjadi calon dari jalur independen.
Sekarang, penyesalan lah yang mereka rasakan. Kini berbagai
upaya harus mereka tempuh untuk mencari cara bagaimana agar pilkada Kota
Surabaya tetap bisa terlaksana tahun ini.
Peluang yang ada kini tinggal mengajukan judicial review
(uji materi) UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi atau mengharapkan Presiden
menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
Keduanya sama-sama mengandung risiko. Judicial review harus
menunggu waktu yang tidak bisa ditentukan, sementara tahapan pilkada tetap
berjalan, sedangkan Perppu juga makan waktu karena harus meminta persetujuan
DPR.
Perppu biasanya dikeluarkan oleh Presiden dalam kondisi
darurat atau kegentingan yang memaksa. Memang kemudian muncul perspektif yang
berbeda di kalangan masyarakat, apakah saat ini terjadi kegentingan sehingga
diperlukan Perppu.
Sementara sebagian orang menganggap Perppu diperlukan karena
menilai kegentingan bukan hanya menyangkut masalah keamanan negara, tapi juga
aspek lain seperti perekonomian apabila suatu daerah tidak memiliki kepala
daerah definitif.
Sambil menunggu berbagai upaya tersebut, ada baiknya PDIP
mengintrospeksi diri agar ke depan tidak mengulang kembali kekeliruan yang
berakibat fatal.