Jember (ANTARA) - Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) M. Choirul Anam mengusulkan pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat yang selama ini tidak kunjung selesai, dan sebagai bentuk komitmen pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM.
"Ada 12 kasus pelanggaran HAM berat pada masa lalu yang kini masih ada di ranah jaksa agung dan perdebatannya tidak kunjung tuntas terkait dengan pemenuhan alat bukti yang dikumpulkan Komnas HAM dinilai tidak cukup," katanya dalam diskusi publik yang merupakan rangkaian kegiatan Festival HAM di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Rabu.
Selain Komnas HAM, diskusi publik yang bertema "Membaca masa depan HAM dalam periode kedua Presiden Joko Widodo" itu juga menghadirkan pembicara dari akademisi hukum Universitas Brawijaya Malang Muktiono, dan korban pelanggaran HAM pada 1998 sekaligus mantan pengurus Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) Mugiyanto.
Kasus-kasus yang masuk kategori pelanggaran HAM berat masa lalu yakni peristiwa 1965-1966, penembak misterius (petrus) 1982, peristiwa Talangsari Lampung 1989, tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II pada 1998-1999, peristiwa kerusuhan Mei 1998.
Kemudian penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998, peristiwa Wamena dan Wasior 2001-2003, peristiwa Aceh-Jambo Keupok 2003, peristiwa Aceh-Simpang KKA 1998, peristiwa Aceh Rumoh Geudong 1989, serta peristiwa dukun santet di Jawa Timur 1998-1999.
"Dalam kasus pelanggaran HAM berat itu, Komnas HAM sudah meminta keterangan puluhan orang dan bukti-buktinya juga ada, namun ketika berkas itu sudah diserahkan kepada kejaksaan agung maka dikembalikan lagi dengan dalil bukti yang dikumpulkan Komnas HAM belum cukup," tuturnya.
Ia mengatakan, beberapa dokumen resmi yang menunjukkan perintah atas tindakan pelanggaran HAM juga ada di salah satu instansi yang diduga melakukan pelanggaran HAM, namun pihak Komnas HAM tidak memiliki kewenangan untuk mengambil secara paksa dokumen tersebut.
Untuk mendapatkannya, butuh kewenangan merampas alat bukti, namun mengacu pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, maka Komnas HAM tidak memiliki kewenangan tersebut.
"Saya berharap penegak hukum yang punya kewenangan untuk merampas alat bukti bisa melakukan itu, namun kalau tidak bisa maka berikan surat perintah perampasan dokumen kepada Komnas HAM, agar kami bisa bergerak melakukannya dengan cepat," ujarnya.
Anam menjelaskan pihaknya dan masyarakat tentu sepakat, apabila kasus pelanggaran HAM berat tersebut bisa dituntaskan dalam waktu cepat, sehingga dibutuhkan komitmen pemerintah dan aparat penegak hukum untuk lebih serius menuntaskan pelanggaran HAM berat pada masa lalu.
"Kami berharap Presiden Joko Widodo menerbitkan perppu atas UU Nomor 26 Tahun 2000 untuk memberikan kewenangan penyidikan kepada Komnas HAM, kemudian diharapkan juga ada tim bersama antara Komnas HAM dengan Kejagung yang sekretariatnya di Komnas HAM," ujarnya.
Sementara korban pelanggaran HAM Mugiyanto mengatakan bahwa penyelesaian kasus HAM tidak hanya pada pengadilan, namun pemenuhan hak korban juga harus diperhatikan.
"Penyelesaian kasus HAM di Indonesia tidak bisa ditempuh dengan jalur tunggal peradilan saja karena persoalannya sangat kompleks, sehingga negara harus hadir untuk penanganan korban dan keluarganya," imbuhnya.
Pemerintah perlu terbitkan perppu tuntaskan kasus pelanggaran HAM berat
Rabu, 20 November 2019 22:06 WIB