Puskapsi: Daulat Rakyat "Tersandera" Ketidakpastian Penyelesaian Hasil Sengketa Pilkada
Sabtu, 25 April 2015 12:32 WIB
Jember (Antara Jatim) - Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember, Dr Bayu Dwi Anggono, mengatakan daulat rakyat akan "tersandera" dalam ketidakpastian penyelesaian perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) pilkada karena proses penyelesaian yang sebelumnya ditangani Mahkamah Konstitusi dialihkan ke peradilan khusus.
"Dalam Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menugaskan Mahkamah Konstitusi menangani sengketa pilkada sampai terbentuknya badan peradilan khusus," kata Bayu di sela-sela seminar nasional di Universitas Jember, Jawa Timur, Sabtu.
Menurut dia, penyelesaian perselisihan hasil pilkada melalui badan peradilan khusus karena MK melalui putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 yang menganulir Pasal 236C UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.
"Sehingga MK tidak lagi berwenang mengadili perselisihan hasil pilkada dan ketidaksiapan MA untuk melaksanakan UU Nomor 1 Tahun 2015 yang menyebutkan Pengadilan Tinggi yang ditunjuk MA berwenang memutuskan perkara perselisihan hasil pilkada," tuturnya.
Bayu menilai pembentukan badan peradilan khusus untuk mengadili perselisihan hasil sengketa pilkada tidak serta merta memberikan kepastian hukum bagi masyarakat, sehingga daulat rakyat akan "tersandera"dalam ketidakpastian penyelesaian sengketa pilkada itu.
"Perselisihan pilkada seharusnya diserahkan ke MK mengingat putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga konflik antarpasangan calon dalam pilkada tidak berlarut-larut dan tentunya akan lebih menjamin situasi politik dan keamanan di daerah yang kondusif," paparnya.
Para hakim MK, lanjutnya, sesuai Pasal 24C ayat (5) UUD 1945 memenuhi kualifikasi sebagai negarawan yang tentunya independensi dan integritasnya telah teruji dalam mengadili perkara hukum yang berdimensi politik seperti pilkada.
"Hal itu akan sangat rawan jika untuk menyelesaikan perselisihan pilkada yang nuansa politiknya sangat kuat diserahkan hakim ad hoc pada badan peradilan khusus yang belum teruji integritas dan independensinya," ucap mantan aktivis mahasiswa itu.
Selama ini, kata dia, menunjukkan semua pihak yang berpekara di MK bisa menerima putusan MK terkait perselisihan pemilu maupun pilkada karena menganggap MK profesional dan akuntabel dalam menangani perkara tersebut, meskipun harus diakui sempat ada riuh-riuh kecil pascatertangkapnya Ketua MK (Akil Mochtar) dalam kasus penyuapan perkara pilkada.
"Kami minta DPR bersama Presiden, dan MK perlu membuka mata terhadap beberapa fakta hukum dan fakta empiris tersebut untuk kemudian menganulir ide pembentukan badan peradilan khusus yang dianggap tidak sesuai dengan maksud UUD 1945, bahkan semakin membebani anggaran negara," ujarnya.
Ia berharap pemerintah dan DPR melakukan revisi UU Pemerintah Daerah, UU Kekuasaan Kehakiman, dan UU Mahkamah Konstitusi untuk menegaskan kembali wewenang MK dalam memutus perselisihan hasil pilkada karena pilkada serentak akan digelar pada 9 Desember 2015.
Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember menggelar seminar nasional dengan tema "Format Ideal Penyelesaian Perselisihan Hasil Pilkada Dalam Rangka Menegakkan Daulat Rakyat.".
Pembicara utama yang dihadirkan dalam seminar tersebut Menteri Hukum dan HAM Dr Yasonna H. Laoly dan Ketua Mahkamah Konstitusi Prof Arief Hidayat.
Beberapa narasumber lain juga dihadirkan yakni Dr. Supandi (Hakim Agung MA), Arif Wibowo (Anggota Komisi II DPR), Ida Budiati (Komisioner KPU), Prof. Dr. Widodo Ekatjahjana (Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember.(*)