Surabaya (Antara Jatim) - Perintah membaca dan menulis dalam Al Quran sesungguhnya merupakan satu paket yang satu sama lain memiliki makna penting.
Allah pasti memiliki alasan penting mengapa perintah membaca menjadi firman pertama untuk Nabi Muhammad. Sebagai perintah maha penting, membaca adalah proses terus menerus yang harus dijalani oleh umat Nabi.
Namun, jika makna membaca itu hanya diartikan sempit, maka umat akan menmgalami keterbatasan dalam pembacaan itu. Membaca akan "selesai" ketika apa yang harus dibaca tidak berkembang.
Ahli tafsir Prof Quraish Shihab dalam bukunya "Wawasan Al-Quran" memaknai perintah iqra' yang menjadi pembuka Surat Al-'Alaq itu sebagai "menghimpun".
Dari menghimpun itu lahir aneka makna, seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu dan (termasuk) membaca, baik teks tertulis maupun tidak.
Menulis adalah lanjutan dari aktivitas iqra' itu sendiri. Misalnya, agar telaah, pendalaman dan penelitian menjadi lebih abadi, maka perlu diikat dalam aktivitas menulis.
Hal itu pula yang barangkali disadari oleh kalangan ulama Nusantara yang kemudian produktif menghasilkan banyak kitab. Hasil menulis itu menjadi bukti bahwa kiprah tokoh berlatar (setidaknya budaya) NU dalam dunia intelektual memiliki akar sejarah kuat yang dibuktikan dengan banyaknya kitab karya mereka.
Beberapa dari mereka adalah Syeh Nawawi Al Bantani, Syech Yasin Padang, Syech Ihsan Jampes, dan lainnya. Karya-karya mereka tidak hanya menjadi jariyah ilmu di dalam negeri, bahkan hingga menjadi kajian di gudangnya ulama di Timur Tengah.
Dalam perkembangannya, budaya mengabadikan ilmu lewat buku itu dianggap mengalami kemunduran, meskipun sebenarnya dari sarana atau fasilitas yang tersedia saat ini tidak kalah dengan ulama-ulama terdahulu.
Ulama muda asal Madura, KH M Faizi mengistilahkan kondisi tersebut dengan, "pernah vital, kemudian tidak vital, sehingga perlu direvitalisasi.".
Pandangan itu mengemuka dalam seminar bertema "Revitalisasi Tradisi NU Berbasis Literasi" dan peluncuran buku "Membaca dan Menggagas NU ke Depan" yang diselenggarakan Litbang PCNU dan Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Ponorogo di kampus Insuri Ponorogo, 14 Maret 2015.
Pengasuh Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk, Sumenep, Madura, itu menilai dalam konteks kekinian, kaum nahdliyin harus lebih aktif menuangkan gagasannya, terutama di dunia maya.
Generasi sekarang adalah generasi sosial media sehingga untuk urusan agama mereka juga banyak belajar dari sumber tersebut karena sangat mudah diakses.
Pentingnya kaum nahdliyin mengambil bagian dari menjadi sumber rujukan, khususnya di dunia maya itu karena ilmu agama yang mereka baca itu banyak yang tidak jelas sanad atau asal usulnya.
"Ini sangat berbahaya," kata kiai yang dikenal sebagai penyair dan penulis sejumlah buku itu.
Ia mengibaratkan dengan munculnya banyak tulisan yang tidak baik di dunia maya. Hal itu bukan karena banyaknya jumlah orang yang kurang baik itu, tapi karena banyak orang baik yang diam saja.
Di lingkungan Pesantren Anuqayah sendiri, menulis menjadi bagian dari proses pendidikan dengan membiasakan santri menulis setiap hari. Kalau hal itu tidak bisa, maka bisa tiga kali dalam sepekan.
Para santri juga dibiasakan membaca resume buku yang dibuat oleh para ustaz sebelum mereka masuk kelas. Dalam resume itu juga dijelaskan sejumlah diksi yang diperkirakan kesulitan dicerna oleh santri.
Ketika mereka menunggu masuk kelas, mereka membaca resume itu. Kalau tertarik ingin tahu lengkapnya para santri bisa mencari di perpustakaan.
Penulis belasan buku, antara lain "Merentang Sajak Madura Jerman" ini mengemukakan bahwa banyak kegiatan yang mendukung sehingga santri dan alumnus Annuqayah banyak yang menjadi penulis.
Kegiatan itu antara lain pameran buku atau lomba tulisan, termasuk mereka berlomba-lomba mengirim tulisan ke berbagai media di luar pondok.
Penerbitan buku "Membaca dan Menggagas NU ke Depan" itu dimaksudkan sebagai upaya membudayakan budaya menulis di kalangan NU, khususnya di bumi tempat pujangga Jawa termasyhur Raden Ngabei Ronggowarsito menimba ilmu.
Dr Sutejo, budayawan muda NU, yang menggagas penerbitan buku itu mengemukakan bahwa NU kini memiliki intelektual yang tidak sedikit dengan raihan gelar akademis tertinggi.
Di buku 393 halaman ini, dari 16 penulis, delapan di antaranya bergelar doktor dan selebihnya magister. Buku ini hadir untuk mengikat pemikiran-pemikiran mereka dalam bentuk naskah yang bisa dipelajari siapa saja, dimana saja dan kapan saja.
"Dan kami akan menerbitkan kembali buku-buku berikutnya dari teman-teman muda NU ini agar menjadi kebiasaan yang bagus di kemudian hari. Saya pikir intelektual muda kaum nahdliyin di tempat lain juga banyak. Kalau mereka semua aktif menulis, pasti luar biasa," katanya.
Ketua Litbang Pengurus Cabang NU Ponorogo ini mengemukakan bahwa dengan menulis, proses penularan ilmu dari seorang guru akan lebih luas vibrasinya. Demikian juga dengan kaum nahdliyin yang basis budayanya adalah ilmu, yakni pesantren.
Budaya membaca sebagaimana dibiasakan di lingkungan pesantren atau sejenisnya agaknya memang perlu direvitalisasi dengan pemaknaan yang lebih lengkap, yakni dalam semangat "menghimpun", sehingga aktivitas menulis juga menjadi bagian dari iqra' itu.
Sementara Pengasuh Pondok Pesantren Darut Tauhid Cirebon, Jawa Barat, KH Husein Muhammad mengingatkan bahwa ulama-ulama terdahulu memberikan contoh luar biasa bagaimana mereka produktif mengikat ilmu dalam bentuk buku atau kitab.
Penulis buku, antara lain, "Fiqih Seksualitas", "Fiqih HIV/AIDS" dan "Islam Agama Ramah Perempuan" ini menyebut contoh Syech Ihsan Jampes yang karya-karyanya diakui dunia internasional, bahkan menjadi kajian di Al Azhar Kairo.
Sementara itu, katanya, Kiai Nawawi Al Bantani itu dalam satu hari belajar 12 ilmu pengetahuan dan Syech Jalil setiap hari menulis 14 halaman.
Ia menceritakan bahwa ulama terdahulu dengan fasilitas yang sangat terbatas, telah melahirkan banyak karya luar biasa, baik jumlah maupun kualitasnya. Padahal zaman, dimana mereka hidup, kertas dan tinta sangat terbatas.
"Internet tidak ada, listrik juga tidak ada, tapi bisa menulis beribu-ribu lembar. Imam Syafi'i, penanya menjadi cahaya, Imam Nawawi telunjuknya menjadi cahaya. Betapa kegelapan ruang tidak menghalangi beliau untuk terus menulis," ujarnya.
Karena itu ia mengajak umat Islam, khususnya kaum nahdliyin untuk membangkitkan kembali budaya menulis dengan membangun kebiasaan yang bersentuhan dengan literasi itu.
"Saya tidak pernah pergi-pergi tanpa membawa buku untuk dibaca. Dari membaca itu akan muncul inspirasi untuk menulis," kata pendiri Institut Studi Islam Fahmina ini.
Kiai Husein sendiri dikenal sebagai penulis produktif yang telah menghasilkan puluhan buku dalam berbagai bidang kajian, seperti agama, sosial, ekonomi, pendidikan, gender dan lainnya.
Alumnus Al Azhar Kairo itu mengemukakan bahwa karya tulis merupakan sesuatu yang bisa diwariskan kepada generasi mendatang sebagaimana dicontohkan ulama terdahulu.
"Apa yang dinikmati umat saat ini adalah buah yang telah ditanam (karya yang ditulis) oleh ulama terdahulu. Karena itu umat saat ini juga harus menanam atau berkarya agar bisa dinikmati oleh umat di masa mendatang," ujarnya. (*)