Bondowoso (ANTARA) - Suatu sore di hari libur, seorang anak laki-laki yang masih duduk di bangku kelas 5 sekolah dasar (SD) sibuk bermain sepak bola dengan penuh imajinatif di atas kasur.
Si bocah berimajinasi menjadi kiper dengan melempar bola plastik ke tembok dan ketika terpantul ditangkap oleh dia sambil menjatuhkan tubuhnya ke kasur.
Bosan, kemudian menghinggapi jiwanya. Bocah itu mondar mandir dari satu kamar ke kamar lain untuk mencari teman bermain atau sekadar ngobrol.
Ketika itu, ia mendapati ayahnya sedang membaca buku, demikian juga ibu dan kakaknya juga melakukan hal sama.
Akhirnya si bocah berhenti mondar mandir, kemudian mengambil buku dan melakukan aktivitas membaca, di samping ayah ibu dan kakaknya.
Cerita di atas memberi pelajaran bahwa kebiasaan untuk melakukan sesuatu, termasuk budaya membaca buku bagi seorang anak, perlu contoh yang nyata di lingkungan keluarga. Motor utamanya adalah orang tua.
Anggota Komisi X DPR RI Gamal Albinsaid mengingatkan kembali mengenai pentingnya budaya literasi yang terintegrasi dalam semua proses pembelajaran.
Ia menyarankan contoh lugas dan nyata untuk membudayakan literasi bagi anak-anak, misalnya dengan mewajibkan siswa membaca buku selama 10 menit hingga 15 menit, setiap pagi, sebelum kegiatan belajar mengajar dimulai.
Diingatkan agar upaya pembiasaan literasi jangan hanya terjebak di kegiatan berupa festival yang lebih mengedepankan seremonial dan kurang memberikan dampak nyata.
Membumi
Masalah peningkatan budaya membaca harus dilakukan dengan lebih membumi dan aplikatif dalam semua keadaan, sehingga budaya membaca bukan lagi sekadar wacana.
Karena itu, diperlukan keterlibatan semua pihak dalam upaya percepatan budaya literasi ini.
Mewajibkan siswa membaca dengan durasi 10-15 menit sebelum pelajaran dimulai adalah salah satu cara untuk membiasakan anak menjadi suka membaca.
Bentuk lain bisa dilakukan, misalnya guru mewajibkan para siswanya untuk memulai pelajaran, dengan menyuruh murid bercerita mengenai buku atau bahan apa yang dia baca di rumah sebelum si anak berangkat ke sekolah.
Jika kebiasaan ini terus dipelihara, maka mau tidak mau, siswa akan selalu membaca buku atau bahan bacaan lain, sebelum mereka pergi ke sekolah. Waktu membacanya bisa fleksibel, seperti pada sore atau malam hari, atau pagi hari sebelum siswa berangkat ke sekolah.
Para guru yang telah mengenyam pendidikan keguruan, tentu sudah sangat paham bagaimana memperlakukan anak, saat si siswa menceritakan kembali mengenai bahan atau buku yang telah dibaca itu.
Guru, misalnya, tidak boleh memberikan kritik kaku yang membuat anak tidak nyaman untuk bercerita mengenai apa yang telah dibacanya itu. Kalau pun ada yang perlu disampaikan kepada siswa untuk perbaikan, si guru harus menyampaikan dengan hati-hati dan selalu memberikan penghargaan atau pujian yang dapat meningkatkan rasa percaya diri anak yang bercerita.
Selain bercerita dengan lisan, pilihan yang memiliki efek literasi berganda adalah bercerita dengan tulisan atau resume.
Cara ini, selain dapat membiasakan anak untuk membaca, dengan menulis ulang atau resume terhadap bahan bacaan, juga akan melatih anak terbiasa menuangkan sesuatu dalam bentuk tulisan.
Pada tahap berikutnya, sekolah bisa menganggarkan dana pembelian buku untuk dijadikan hadiah bagi siswa yang dinilai mampu menceritakan kembali bahan bacaan dengan utuh dan bagus. Upaya ini bisa juga dijadikan arena lomba bagi anak-anak didik.
Sebagaimana cerita di atas mengenai si anak yang akhirnya tertarik untuk membaca buku ketika mendapati semua orang di rumah itu membaca buku, sekolah juga seharusnya demikian.
Guru budayakan membaca
Guru, dengan posisi sangat tinggi, bahkan menjadi sentral bagi para siswa, juga harus memiliki budaya membaca, dimanapun dan dalam momentum apapun.
Tanpa contoh nyata dari guru, jangan harap para siswa akan memiliki budaya membaca. Dalam budaya Jawa, bukankah makna guru itu digugu dan ditiru? Jadi, bagi seorang guru tidak ada pilihan lain untuk membiasakan budaya membaca, sehingga layak untuk digugu dan ditiru oleh siswanya.
Selain memiliki tanggung jawab moral untuk digugu dan ditiru oleh para siswanya, para guru tentu juga memiliki tanggung jawab moral domestik untuk menjadi contoh sebagai sosok yang haus membaca bagi anak-anak kandungnya di rumah.
Jika di sekolah sudah menerapkan pola pengajaran satu mata pelajaran diampu oleh satu guru, maka budaya membaca dan bercerita tidak hanya dilakukan oleh guru mata pelajaran Bahasa Indonesia. Semua mata pelajaran bisa menerapkan budaya literasi ini.
Untuk mempercepat pembudayaan membaca ini, tentu tidak cukup hanya dilakukan oleh orang tua di rumah atau guru di sekolah, apalagi hanya menyerahkan ikhtiar ini kepada pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Demi mewujudkan cita-cita besar bersama untuk mencapai Indonesia maju, semua pihak harus mengambil bagian dalam ikhtiar ini.
Tokoh agama, bahkan guru mengaji yang selama ini hanya mengajari anak-anak untuk bisa membaca Al Quran, bisa juga mengambil peran ini.
Sebelum mengaji anak-anak diminta untuk untuk bercerita mengenai isi buku dari kisah para nabi atau bahan bacaan lain yang isinya terkait dengan nilai-nilai agama.
Desa yang saat ini dipercaya mengelola dana besar dari Program Dana Desa pemerintah pusat, juga bisa menganggarkan sebagian untuk mendukung budaya literasi.
Pemerintah desa bisa mengalokasikan dana untuk pembelian buku yang didistribusikan ke kampung atau ke rukun tetangga (RT), sehingga anak-anak di satu dusun memiliki alternatif untuk memilih bahan bacaan.
Pemerintah desa bisa mengakomodasi kepentingan warga dewasa dalam pengadaan buku ini, dengan menyesuaikan tema buku dengan aktivitas sehari-hari warga.
Jika di satu dusun atau RT, masyarakatnya banyak bekerja di bidang pertanian, maka buku yang disediakan, sebagian juga mengenai pertanian, selain buku untuk konsumsi anak-anak.
Jika di satu dusun umumnya warga bergelut dengan budi daya perikanan, maka buku-buku yang disediakan juga terkait dengan perikanan.
Dengan semua pihak mengambil peran dalam upaya ini, maka budaya literasi akan terus bergerak dan hidup di tengah masyarakat.