BPKP Rekomendasikan Sistem Bagi Hasil Terminal Purabaya
Jumat, 20 Februari 2015 19:40 WIB
Surabaya (Antara Jatim) - Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) merekomendasikan sistem bagi hasil pengelolaan Terminal Purabaya antara Pemkot Surabaya dengan Pemkab Sidoarjo tidak lagi menggunakan sistem bruto, melainkan netto.
Asisten II Sekretaris Kota (Sekkota) Surabaya Taswin di Surabaya, Jumat mengatakan hasil review BPKP tentang pengelolaan terminal Purabaya sudah diserahkan kepada Pemkot Surabaya pada 27 Januari lalu.
"Beberapa poin dari rekomendasi BPKP tersebut menyebutkan bahwa pembagian hasil terminal Purabaya itu tidak selayaknya dibagi dengan menggunakan sistem bruto," katanya.
Menurut dia, dimana sejak tahun 1982, sistem pembagian hasil pendapatan terminal dirincikan 30 persen untuk operasional, kemudian sisanya dibagi 40 persen untuk pemkot Surabaya dan 30 persen untuk kabupaten Sidoarjo.
"Menurut BPKP itu tidak sehat, pembagian hasil itu seharusnya adalah 100 persen untuk operasional, baru ketika ada lebihnya itu yang akan dibagi hasil antara Surabaya dengan Sidoarjo," ucapnya.
Akan tetapi, meski direkomendasikan sistem netto itu, untuk proporsional prosentase pembagian masih belum ditentukan. Apakah murni 50 persen 50 persen atau ada opsi lain.
Taswin mengatakan sekarang pihaknya masih belum bisa memastikan lantaran hal itu harus dibahas secara holistik antara kedua pihak.
Konsekuensi lain jika sistem netto ini diberlakukan, maka Pemkot Surabaya harus bersedia melakukan transparansi data dan akuntabilitas pendapatan terminal secara keseluruhan.
Hal itu harus dilakukan agar tidak ada kecurigaan antara dua pihak yang berkepentingan baik Surabaya maupun Sidoarjo. Terkait persoalan tersebut, Taswin menyebutkan bahwa pemkot siap menyajikan data pendapatan yang diperoleh terminal Purabaya setiap tahunnya.
"Kita siap, data ada dan kami tidak menutup-nutupi. Lagipula apa yang direkomendasikan BPKP itu sesuai dengan standar akutansi," katanya.
Meski sudah dipastikan bahwa pemkot akan menuruti rekomendasi BPKP, kata dia, pemkot Surabaya masih belum memastikan kapan sistem tersebut akan diberlakukan.
Selain itu, lanjut dia, tentang pelunasan hutang selama dua tahun sebesar Rp3 miliar yang ditangguhkan pembayarannya oleh Pemkot Surabaya. Alasannya karena kontrak sudah habis dan Purabaya mengalami kerugian.
"Kita belum bisa pastikan kapan berlakunya. Termasuk apakah hutang yang kemarin itu dihitung surut atau bagaimana. Maka menunggu nanti ada rapat lanjutan," terang Taswin.
Sebagaimana persoalan yang terjadi di Terminal Purabaya, selama tiga tiga tahun belakangan kontrak kerja sama antara Pemkot Surabaya dan Pemkab Sidoarjo yang dibuat 1982 sudah berakhir.
Sehingga saat ini pihaknya masih melakukan audit pengelolaan. Sebab, adanya terminal Purabaya tersebut dinilai pemkot Surabaya selalu mengalami kerugian.
Pada 2014 saja, Taswin menyebutkan bahwa selisih antara pendapatan dan operasional adalah Rp4 juta saja. Dengan kondisi tersebut pemkot masih harus memberikan sejumlah uang pada Pemkab Sidoarjo.
"Padahal kalau dilihat secara aset, mulai dari pekerja, PNS, armada itu milik pemkot semua. Justru mereka yang diuntungkan, hotel, biaya pajak, dan juga kehidupan perekonomian di sana yang tumbuh karena Terminal Purabaya. Sudah begitu kita masih dikejar-kejar bayar uang," katanya. (*)