Waduk Wonogiri Masih Tumpuan Pengendali Banjir
Kamis, 19 Februari 2015 21:26 WIB
Bojonegoro (Antara Jatim) - Air yang mengalir dari dua pintu pengeluaran Waduk Wonogiri, di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, yang baru dibuka seorang petugas setempat menimbulkan bunyi mendesis dan bergemuruh mirip suara pesawat terbang yang lepas landas.
Dikeluarkannya air di waduk setempat, hanyalah sebatas uji coba, karena Bupati Bojonegoro Suyoto, dengan jajarannya, didampingi Bupati Wonogiri Danar Rachmanto, berkunjung ke waduk itu.
"Saat ini ketinggian air Waduk Wonogiri 135,99 meter. Ketinggian air kami pertahankan untuk mengamankan kebutuhan air saat musim kemarau di sepanjang Bengawan Solo," kata Kepala Divisi (Kadiv) Jasa Air dan Sumber Air (ASA) Perum Jasa Tirta I Wilayah Bengawan Solo, Winarno Susiladi di lokasi Waduk Wonogiri, Rabu (18/2).
Lebih lanjut ia menjelaskan saat ini empat pengeluaran air Waduk Wonogiri ditutup untuk menjaga air yang sudah tertampung dengan ketinggian air pada papan duga 135,99 meter, sejak Senin (16/2).
"Tahun lalu ketinggian air di Waduk Wonogiri tidak sampai 136 meter, sehingga terjadi kekeringan di hilir, Jawa Timur," tuturnya.
Hanya saja, menurut ASA Perum Jasa Tirta I Wilayah Bengawan Solo, Abdul Rasyaq kalau ketinggian air Waduk Wonogiri bertambah lagi, disebabkan di daerah atasnya turun hujan, maka airnya harus dilepas masuk Bengawan Solo.
"Pengaruh pelepasan air yang selama ini terjadi tidak banyak memengaruhi banjir di daerah hilir Jawa Timur, sebab jaraknya jauh," tandasnya.
Banjir di daerah hilir Jatim, lanjut dia, lebih banyak dipengaruhi curah hujan di Solo, Ngawi, Kali Madiun, juga hujan di daerah hilir Jawa Timur.
Ia memberikan gambaran memang ada pengeluaran air Waduk Wonogiri, ketika di Bojonegoro
dan sekitarnya masuk siaga banjir dengan ketinggiaan air di Bojonegoro 13,84 meter, pada 10 Februari 2015.
Banjir di hilir Jatim itu, diperhitungkan besarnya sekitar 1.750 meter kubik/detik, berasal dari hulu, Jawa Tengah, sekitar 500 meter kubik/detik.
Selain itu, juga dari Ngawi dan sekitarnya 650 meter kubik/detik dan debit di hilir yang dipengaruhi hujan mencapai 550 meter kubik/detik.
Meski demikian, ia mengakui air yang dikeluarkan dari Waduk Wonogiri dalam kejadian banjir besar awal 2007, cukup besar, sebab ketinggian air waduk setempat, sempat mencapai 138,2 meter.
"Secara bersamaan ketika itu di Solo, Ngawi, juga terjadi banjir, sehingga memperparah banjir di Jawa Timur," ungkapnya.
Yang jelas, ia optimistis tahun ini tidak akan terjadi kekeringan di daerah hilir Jawa Timur, sebab pola pemanfaatan air Waduk Wonogiri sudah dibahas bersama dengan pihak yang memanfaatkan air.
Di Bojonegoro, jelas Kasi Operasi Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Bengawan Solo di Bojonegoro Mucharom, sedikitnya ada 187 pompa air yang mengambil air di musim kemarau dari Bengawan Solo dengan debit rata-rata 26 liter/detik.
"Kalau air di hilir Jawa Timur, tidak tercukupi jelas akan terjadi kesulitan air untuk industri di Gresik, juga PDAM di Lamongan, yang memanfaatkan air Bengawan Solo," ujarnya.
Pengendali Banjir dan Penyedia Air
Sesuai fungsinya, lanjut dia, keberadan Waduk Wonogiri yang juga dikenal dengan nama Waduk Gajahmungkur, selain sebagai pengendali banjir dengan debit sekitar 4.000 meter kubik/detik, juga sebagai penyedia air baku.
"Tahun ini ada jadwal untuk menampung air hujan secara maksimal di Waduk Wonogiri antara 16-30 April," ucapnya.
Di Bojonegoro, sebagaimana disampaikan Suyoto, Waduk Wonogiri, selalu menjadi perbincangan masyarakat di daerahnya, bahkan jajaran pemkab yang terkait dengan pengairan, setiap kali terjadi banjir atau kekeringan.
"Kalau terjadi banjir, masyarakat, juga jajaran pemkab kadang sering menyalahkan pengelola Waduk Wonogiri, karena dianggap tidak memperhitungkan kondisi dalam mengeluarkan air yang masuk ke Bengawan Solo," paparnya.
Ia mengaku tidak ingin kejadian banjir besar yang menimpa di daerahnya di akhir 2007 dan awal 2008 dan kekeringan yang melanda di daerahnya tahun lalu terulang lagi.
Banjir dengan skala besar tersebut, dengan ketinggian air pada papan duga di Bojonegoro mencapai 16,26 meter, mengakibatkan puluhan ribu hektare tanaman padi rusak. Selain itu, banjir juga merusak ratusan rumah warga, bahkan di antaranya, ada yang roboh dan hanyut.
Banjir yang melanda hampir mencakup separuh kabupaten setempat, juga meredam kawasan perkotaan hingga mencapai 75 persen lebih, dan tercatat sekitar 200 ribu jiwa warga di Bojonegoro mengungsi.
Data di Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bojonegoro, banjir awal Februari 2009, ketinggian air di Bojonegoro berkisar 15 meter (siaga III), genangan banjir merendam 116 desa yang tersebar di 15 kecamatan.
Jumlah warga terdampak, tercatat 10.239 KK (40.298 jiwa), di antaranya 1.331 jiwa terpaksa harus mengungsi. Ini belum termasuk warga korban banjir di Tuban, Lamongan dan Gesik.
"Kami juga ingin memastikan bahwa kebutuhan air pertanian di daerah kami tercukupi di musim kemarau. Begitu pula kebutuhan industri minyak Blok Cepu, sebab kalau terlambat sehari saja bisa rugi triliunan rupiah," paparnya.
Bengawan Solo yang mata airnya dari pegunungan Seribu di Wonogiri, di antaranya, sepanjang 300 kilometerdi daerah hilir Jatim, selalu menimbulkan permasalahan banjir dan kekeringan.
Berdasarkan data teknis, debit banjir yang terjadi di daerah hilir besarnya bisa mencapai lebih dari 3.000 meter kubik/detik, sementara "bank full capacity" (palung sungai) Bengawan Solo di daerah hilir, hanya berkisar 900-1.200 meter kubik/detik.
Akibatnya, luapan Bengawan Solo yang debitnya bisa mencapai 2.000 meter kubik/detik, meluber merendam areal pertanian, pemukiman warga, juga prasarana dan sarana umum di Bojonegoro, Tuban, Lamongan dan Gresik.
Balai Besar Bengawan Solo di Solo, Jawa Tengah, sebenarnya sudah memiliki formula pengendali banjir dan kekeringan di hilir, Jawa Timur, yaitu merealisasikan Waduk Jipang di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Namun, merealisasikanWaduk Jipang yang mampu menampung air 930 juta meter kubik, akan menghadapi masalah sosial yang cukup berat. Di antaranya, merealisasikan Waduk Jipang harus memindahkan sekitar 120 ribu jiwa warga di daerah Jateng dan Jatim, belum termasuk menyangkut masalah teknik pembangunan waduk.
Memperhitungkan beratnya masalah sosial, Pemerintah terpaksa menenggelamkan konsep megaproyek Waduk Jipang yang diperkirakan pembangunannya menelan dana Rp10 triliun. (perhitungan 2010).
"Untuk menambah tampungan air di hulu, Jawa Tengah juga pengendali banjir akan dibangun Waduk Pidekso," ucap Winarno. (*)