Penyakit "Human Immunodeficiency Virus/ Acquired Immunodeficiency Syndrom atau yang akrab disingkat HIV/AIDS sampai saat ini masih menjadi ancaman serius yang mematikan. Dan, pada pertemuan Menteri Kesehatan se-Dunia mengenai Program-program untuk Pencegahan AIDS pada tahun 1988 pun dicanangkan Hari AIDS se-Dunia pada setiap tanggal 1 Desember untuk menumbuhkan kesadaran terhadap wabah AIDS yang disebabkan virus HIV itu. Temuan penderita penyakit "mematikan" itu setiap tahun selalu bertambah. Ibarat fenomena "gunung es", begitu istilah dari tim medis Dinas Kesehatan menyebutnya. Mulai pucuk dan sekarang mengarah ke bawah untuk temuan. Jawa Timur diketahui tertinggi kedua setelah Papua, temuan HIV/AIDS-nya. Sampai September 2014, temuan HIV mencapai 19.249 penderita, sementara AIDS 8.976 penderita, sementara Papua, HIV 16.051 penderita, dan AIDS 10.184 penderita. Kasus yang menggerogoti daya tahan tubuh itu, bukan hanya menjangkiti kelompok risiko tinggi, seperti pekerja seks komersial (PSK) ataupun pelanggan. Namun, sudah menjangkau luas, termasuk ibu rumah tangga. Yang membuat miris, dari indentifikasi faktor risiko, ternyata pelajar serta anak-anak juga sudah ada yang diketahui menderita penyakit ini. Kondisi mereka, sebagian masih sehat, sebagian sudah ada yang meninggal dunia. Di Kabupaten Kediri, sejak 1996 sampai 2014 ini temuan kasus HIV/AIDS mencapai 680 kasus, dimana 207 di antaranya sudah meninggal dunia. Dari data 680 kasus itu, diketahui jika mayoritas adalah usia produktif. Ibu rumah tangga yang menderita penyakit itu juga cukup banyak, mencapai 73 orang, sementara pelajar ada enam, dan anak-anak ada 20. Kondisi ini tentu saja mengkhawatirkan. Ibu rumah tangga menjadi kelompok rentan yang tertular penyakit ini. Ia menjadi korban "tertularnya" virus itu dari suaminya, sementara anak-anak tertular dari ibunya. Begitulah yang selama ini dari dinas kesehatan melakukan pemeriksaan. Selama ini, kelompok risiko tinggi, PSK memang masih mendominasi temuan penyakit itu. Mereka berisiko tinggi tertular ataupun menularkan, sebab gaya hidup yang tidak sehat, salah satunya, berhubungan dengan lawan jenis yang berbeda-beda terus. Salah satu penularan penyakit ini, yaitu dengan melakukan hubungan seksual. Tapi, jika sudah ibu rumah tangga, pelajar, bahkan anak-anak, kondisi ini tentu saja membuat berbagai kalangan prihatin dan menyayangkan. Tidak seharusnya mereka ikut menjadi korban tertular penyakit tersebut. Pada 18 Juni 2014, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini membuat keputusan yang berani, dengan menutup lokalisasi Dolly. Tempat prostitusi yang konon terkenal dan terbesar di Asia Tenggara ini ditutup dan lokasinya akan dijadikan sentra bisnis dan perdagangan. Perjuangan keras saat itu dilakukan oleh Wali Kota, sebab mendapatkan tantangan luar biasa dari para penghuni. Hal itu wajar, di lokalisasi itu, roda pereekonomian berputar luar biasa, mulai dari prostitusi sampai aktivitas ekonomi warga sekitar, seperti berjualan. Namun, nyatanya penutupan sudah resmi dilakukan. Para muncikari dan penghuni dipulangkan ke daerahnya masing-masing. Bahkan, mereka juga mendapatkan "bekal" uang pembinaan, dengan syarat alih profesi. Keputusan penutupan lokalisasi juga ditegaskan oleh Gubernur Jatim. Diharapkan, seluruh lokalisasi di provinsi ini, secara bertahap ditutup, dan penghuninya alih profesi. Keputusan ini memang dinilai baik. Namun, kenyataannya, penutupan tidak menghentikan aktivitas prostitusi. Di Kabupaten Kediri, setidaknya ada delapan tempat prostitusi. Semuanya sudah ditutup, tapi aktivitas masih terus jalan. Sekarang, yang perlu diperhatikan adalah, "apakah keputusan untuk penutupan lokalisasi menjamin praktik prostitusi berhenti?". Jawabannya adalah "tidak". Satu tempat ditutup, mereka masih bisa beroperasi. Lalu, "siapa yang pertama mengetahui dimana keberadaan para penghuni lokalisasi tersebut?". Jawabannya adalah "pelanggan". "Mengapa?", begitu pertanyaannya. Teknologi begitu memudahkan seseorang untuk komunikasi ataupun transaksi. Mereka bisa bertemu dengan pelanggan dimana saja dan kapan saja, dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi tersebut. Seperti benang kusut yang sulit bertemu ujungnya. Praktik-praktik prostitusi, yang memicu penularan penyakit HIV/AIDS terus saja menjadi ancaman. Jika sudah begitu, kesadaran semua pihaklah yang harus ditegakkan. Tidak cukup dengan sosialisasi, tapi juga realisasi. Peran serta semua pihak untuk menemukan, ataupun menghindari penularan penyakit itu harus dilakukan. Bukan hanya menghindari gaya hidup bebas dengan berganti pasangan, melainkan dengan menjaga kebersihan, terutama alat-alat yang masuk ke tubuh, seperti alat suntik ataupun tindik. Kesadaran diri sendiri untuk memeriksakan kesehatan juga berdampak positif. Jika benar ada indikasi terkena penyakit tersebut, tim medis tentunya lebih mengetahui apa yang harus dilakukan, apakah sudah memerlukan obat ataupun belum. Ya, walaupun belum ada obat untuk menyembuhkan penyakit itu, antiretroviral masih menjadi obat yang ampuh untuk mencegah penyakit itu semakin parah. Tentu, obat paling ampuh adalah moral manusia itu sendiri. (*)
HIV/AIDS sudah Ancam Anak-anak
Sabtu, 29 November 2014 18:37 WIB