Batik sudah waktunya naik kelas dari sekadar "fashion" (mode) menjadi bagian dari budaya (kehidupan), ucap pemerhati batik Lintu Tulistyantoro M.Ds. "Sejak ditetapkan UNESCO sebagai warisan takbenda untuk dunia, batik masih sekadar menjadi 'fashion'," tutur pecinta dan peneliti batik itu kepada Antara di Surabaya (19/9). Dosen interior Universitas Kristen Petra (UKP) Surabaya itu menyatakan batik sebagai mode itu tidak jauh berbeda dengan tekstil atau industri tekstil seperti pakaian lainnya. "Padahal, batik pada masa lalu itu menjadi bagian dari budaya, sehingga batik untuk acara X, Y, Z itu berbeda, bahkan batik untuk kalangan X, Y, Z juga berbeda," katanya. Namun, katanya, menjadikan batik sebagai budaya itu tidak harus meniru tradisi masa lalu. "Setidaknya, kita bisa membedakan batik dengan pakaian lainnya itu," kilahnya. Pendiri Komunitas Batik Jawa Timur di Surabaya (KiBaS) itu mencontohkan masyarakat harus menaikkan "kelas" batik dengan membedakan batik bukan atas dasar status atau bentuk kegiatan seperti masa lalu, melainkan atas dasar manfaat/fungsi. "Misalnya, batik untuk anak-anak dan orang dewasa itu harus berbeda. Atau, batik untuk dinas X dengan dinas Y, atau batik untuk bagian humas dengan bagian akademik," paparnya. Dengan begitu, batik memiliki ruh atau filosofi seperti pada masa lalu, sehingga masyarakat dunia akan melihat batik sebagai pakaian dengan nilai lebih, bukan asal dipakai saja. (*) (Foto: dokumen desain interior UK Petra Surabaya).
Lintu: Batik Sudah Waktunya Naik Kelas
Jumat, 19 September 2014 14:51 WIB