Surabaya (Antara Jatim) - Seperti orang tidak kreatif saja, semua persoalan disikapi hanya dengan dua kubu: setuju atau tidak, mendukung atau tidak, langsung atau tidak, dan konflik-konflik semacamnya. Padahal, masih ada cara lain yang bukan saling serang, cara lain yang bukan hitam-putih, cara lain yang lebih dinamis, cara lain yang bukan menyederhanakan persoalan dengan "perang" atau pro-kontra, cara lain yang lebih "tengah" (jalan tengah). Alangkah indahnya bila semua bisa saling belajar, kubu pro belajar kepada kubu kontra, kubu kontra belajar kepada kubu pro, atau kubu "setuju" belajar kepada kubu "tidak setuju", kubu "tidak setuju" belajar kepada kubu "setuju". Tatanan kenegaraan memiliki tiga pilar yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Posisi ketiganya setara. Artinya, bila legislatif dipilih secara langsung (pemilu legislatif yang langsung), maka eksekutif dan yudikatif juga harus melalui mekanisme pemilihan yang langsung agar setara. Bila wakil rakyat (legislatif) dipilih rakyat, maka eksekutif dan yudikatif juga harus dipilih rakyat. Bila legislatif dipilih langsung, tapi eksekutif justru dipilih legislatif (DPRD) atau tidak langsung, maka posisinya menjadi tidak setara, apalagi DPRD akan menjadi "dominan" dengan bisa memakzulkan eksekutif. Namun, legislatif ternyata tidak dipilih secara langsung, melainkan legislatif "ditentukan" oleh parpol, lalu parpol melempar pilihannya kepada rakyat untuk dipilih langsung. Jadi, pemilihan legislatif hakekatnya tidak sepenuhnya bersifat langsung, melainkan berjenjang dan langsung. Idem, yudikatif juga tidak dipilih secara langsung, melainkan yudikatif (hakim) dipilih oleh sebuah komisi (Komisi Yudisial). Sebelumnya, yudikatif itu dipilih oleh eksekutif, sehingga posisi yudikatif menjadi PNS (pegawai negeri sipil), tapi hal itu sudah dikoreksi dengan adanya KY. Nah, bagaimana dengan eksekutif ? Agaknya, pro-kontra pilkada langsung bukan satu-satunya kemungkinan. Meski tidak diserahkan kepada DPRD, eksekutif juga masih mungkin dipilih tidak langsung, bisa seperti legislatif yang berjenjang lewat parpol, atau bisa juga seperti yudikatif yang sama sekali tidak langsung dengan lewat komisi. Bahkan, kemungkinan di luar itu juga masih ada, karena hal terpenting ada kesetaraan antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Ketiganya bisa sama-sama dipilih secara langsung dan ketiganya bisa sama-sama dipilih secara tidak langsung. Yang tidak boleh adalah eksekutif dipilih legislatif atau sebaliknya, karena cara itu meniadakan kesetaraan. Namun, meski tidak dipilih melalui legislatif bukan berarti eksekutif dipilih secara langsung, karena cara lain masih ada yakni berjenjang atau lewat komisi yang khusus dibentuk untuk itu. Apalagi, sekarang saja ada keragaman dalam pilkada langsung atau tidak. Fraksi Demokrat, Fraksi PAN, Fraksi Golkar, Fraksi PPP dan Fraksi Gerindra mendukung pemilihan gubernur, bupati dan wali kota dilakukan oleh DPRD. Untuk cara (pilkada) langsung didukung Fraksi PDI-P, Fraksi Hanura, Fraksi PKS dan pemerintah. Ada satu cara yang diusulkan Fraksi PKB yakni cara kombinasi yakni untuk gubernur dipilih langsung, sedangkan untuk bupati dan wali kota dipilih oleh DPRD. Pilkada Perbaikan Daripada "perang" untuk pilkada langsung atau pilkada tidak langsung (oleh DPRD) atau bahkan saling menyerang antara kedua kubu, agaknya membaca argumentasi kubu pilkada langsung dan kubu pilkada tidak langsung justru lebih penting, karena membaca argumentasi akan memungkinkan ada "saling belajar" dan "saling belajar" akan memungkinkan perbaikan. Kelompok "pilkada langsung" menilai pilkada oleh rakyat (langsung) itu merupakan penerapan atas frasa "dipilih secara demokratis" yang diamanatkan Pasal 56 UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Selain itu, pilkada tidak langsung yang dikembalikan kepada pemilihan oleh DPRD akan menyebabkan terjadi permainan uang atau korupsi politik di lingkaran elite anggota DPRD, lalu partai-partai kecil tidak mungkin meloloskan kader-kader terbaiknya untuk menjadi pemimpin di daerah. Dalam kubu "langsung" ada beberapa nama Kepala Daerah, sebut saja Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Wagub DKI Basuki Purnama (Ahok), Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo hingga Presiden Terpilih Joko Widodo (Jokowi). Vox populi, vox Dei... Suara Rakyat adalah Suara Tuhan... Kubu "langsung" juga didukung argumentasi ilmiah berdasarkan hasil survei yang dilakukan melalui "quick poll" LSI pada tanggal 5 - 7 September 2014. Hasilnya, 81,25 persen menyatakan setuju bahwa kepala daerah harus tetap dipilih secara langsung seperti yang telah berjalan hampir sembilan tahun. Hanya 10,71 persen yang menyetujui kepala daerah dipilih oleh parlemen di daerah masing-masing, lalu ada 4,91 persen menyatakan bahwa kepala daerah sebaiknya ditunjuk oleh Presiden. Jadi, argumentasinya rasional, bukan diwarnai syahwat atau nafsu berkuasa. Tidak hanya itu, ada banyak pengamat yang pro-kubu "pilkada langsung" dengan argumentasi bahwa pilkada melalui DPRD itu bertentangan dengan sistem politik Indonesia yang menganut sistem presidensial. Simak saja Pasal 18 Ayat 4 UUD 1945 bahwa pemilu presiden dipilih langsung oleh rakyat, sehingga mekanisme yang sama juga berlaku pada pemilu kepala daerah di provinsi hingga kabupaten/kota. Jadi, kubu "langsung" menyebut beberapa manfaat yakni tidak menyalahi UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (dipilih secara demokratis) dan Pasal 18 Ayat 4 UUD 1945 (dipilih oleh rakyat), tidak ada permainan uang di kalangan elite politik, kader terbaik bisa terpilih (meski kader parpol kecil), dan tidak merusak sistem presidensial. Lain halnya dengan kubu "tidak langsung" yang menyebut tiga kerusakan akan terjadi yakni perpecahan masyarakat, politik biaya tinggi yang menghalalkan segala cara, permainan opini yang tidak mendidik masyarakat awam, dan menyimpang dari Pancasila (sila keempat atau sistem perwakilan). Kubu "tidak langsung" menilai pemilihan oleh DPRD akan menghindari perpecahan antar-tokoh, antar-masyarakat antar-saudara, antar-suku, dan "perpecahan" habis-habisan dari pusat hingga daerah seperti terjadi antara Koalisi Merah Putih dengan Tim Jokowi-JK pada tataran parlemen. Hal yang tidak kalah merusak dari "pilkada langsung" adalah mendorong politik biaya tinggi, sehingga calon pemimpin akan menghalalkan segara cara dengan korupsi. Hingga Januari 2014, KPK menetapkan 318 dari 524 kepala daerah dan wakil kepala daerah tersangkut dengan kasus korupsi. Ada pula puluhan legislator yang akhirnya masuk penjara. Selain pemimpin, politik biaya tinggi juga merusak rakyat, karena pemilihan secara langsung tidak lagi ditentukan dengan pertimbangan rasional, melainkan "money politics" (politik uang). Artinya, pilkada oleh DPR/DPRD tidak akan memperkya DPR/DPRD, karena sudah ada KPK, PPATK, LSM, dan lembaga pengawas lainnya. Bahkan, kerusakan terbesar adalah menyimpang dari Pancasila yang sudah jelas mengakomodasi pemilihan secara perwakilan (sila keempat). Jadi, pilkada terbaik bukanlah pilkada langsung atau pilkada tidak langsung, melainkan pilkada terbaik adalah pilkada perbaikan pada kelemahan pilkada langsung dan pilkada tidak langsung, sehingga tidak ada tudingan yang saling serang, bahkan mungkin juga melihat pilihan lain (tanpa menyalahi Pancasila) seperti cara berjenjang atau lewat komisi. Kalau sudah begitu, buat apa "perang" (kubu-kubuan) ?!. (*) --------------- *) Penulis adalah pewarta LKBN Antara Jawa Timur yang pernah mengikuti workshop peliputan pilkada oleh Dewan Pers dan workshop Jurnalisme Damai di Poso. (*)
Berita Terkait
Mendagri: Pilkada langsung tak otomatis kepala daerahnya baik
11 Desember 2025 16:30
Demokrat akan kaji wacana kepala daerah dipilih DPRD
18 Desember 2024 09:20
Forpimda Banyuwangi pantau langsung pemungutan suara di TPS
27 November 2024 13:35
Komnas HAM turun langsung pantau 13 provinsi rawan di pilkada
22 November 2024 22:15
Pengawas TPS di Situbondo langsung bekerja setelah dilantik
5 November 2024 14:56
Paslon Madiun janji lanjutkan program bermanfaat langsung untuk warga
1 November 2024 21:50
Mahfud MD: Pilkada langsung atau tidak sama-sama ada politik uang
5 September 2020 19:22
Pasangan Eri Cahyadi-Armuji deklarasi di Taman Harmoni atas perintah langsung Megawati
2 September 2020 20:24
