"Ma, foto sama badut tweety Ma," rengek bocah perempuan yang rambutnya dikepang dua kepada mamanya saat berlibur di kawasan Monomen Nasional.
Sang badut tweety pun dengan sigap merespons dengan lambaian tangan sambil mengajak berfoto si bocah yang nampak kegirangan. Uluran tangan badut tweety pun disambutnya dan spontanitas memeluk tokoh kartun itik berwarna kuning tersebut.
"Senyum dong Dek... tangannya disilangkan ke pipi," ucap ibunda sang bocah sebelum menekan kamera dari Android-nya.
"Satu..dua...tiga," ujarnya memberi aba-aba.
"Lihat ma..lihat," teriak bocah itu sambil berlari melihat hasil jepretan mamanya. "Lagi ma, sekarang foto sama badut Marsha," pinta sang bocah dan berlari menuju badut Marsha --tokoh kartun anak-anak asal Rusia yang mulai populer-- yang saat itu dikerumuni anak-anak lainnya.
Sang mama pun menyusul anaknya, dengan terlebih dulu memberi selembar uang Rp2 ribuan ke kotak yang diletakkan persis di depan badut tweety berdiri.
Badut tweety pun kembali melambai-lambaikan tangan ke arah pengunjung lain yang melintas tepat di depannya. Ada yang berhenti, ada yang membalas lambaian tangan, ada juga yang sekadar melihat.
Pagi itu, Selasa (27/5), bertepatan dengan hari libur Isra Mi'raj Nabi Muhammad SAW, suasana di Monumen Nasional (Monas) Jakarta, ramai pengunjung berpakaian olahraga. Selain berlari pagi, ada yang jalan santai dan bersepeda.
Selain tweety dan marsya, di balik pilar Tugu Monas, banyak badut berdiri dan diajak berfoto bersama, ada ipin dan upin, doraemon, super mario, menion, hello kitty, dora, sponge bob dan sebagainya.
Cuaca belum panas benar karena sang mentari belum terlalu tinggi. Sinarnya yang masih mengandung vitamin D membuat pengunjung seolah enggan berhenti menggerakkan kaki, tangan dan tubuhnya.
Tepat tidak jauh dari lapangan futsal di sana, badut tweety berdiri. Lebih dari sejam ia terus bergoyang menghibur pengunjung Monas, khususnya anak-anak.
Saat jarum jam tepat di angka 9, sebuah kaleng plastik di depan diangkatnya. Dengan melenggak-lenggokkan pinggul, tweety berjalan. Belum sampai 10 langkah, dua anak berlari mendekatinya dan menepuk perut si tweety yang dibalas dengan gerakan genit sang badut.
Anak-anak itu pun berlalu, si tweety melanjutkan jejak langkahnya menuju ke gerbang pintu keluar timur Monas. Sepanjang jalan, tangannya tak pernah berhenti melambai-lambaikan tangan ke arah anak-anak yang melintas. Hingga akhirnya ia berdiri di balik pohon dan melepas bagian kepalanya.
Di Balik Kostum Badut
Dari balik kostum badut, pria berperawakan kurus setinggi 168 centimeter, kulitnya sawo matang dan rambutnya yang cepak basah kuyup akibat keringat bercucuran. Dibantu seseorang, ia melepas semua kostum badut tweety-nya dan memilih duduk di bawah pohon sambil memesan kopi hitam.
Namanya singkat, Suprapto. Ia lahir di Kalimantan Barat, 6 April 1987. Namun sejak kecil, saat ayahnya yang berprofesi sebagai anggota TNI pindah tugas di Aceh, ia bersama keluarganya tinggal di Desa Geulanggang Gampong, Kecamatan Kota Juang, Bireuen.
"Panggil saja Prapto mas. Saya juga ada darah Jawa Tengah kok, jadi sedikit mengerti Bahasa Jawa," katanya memulai pembicaraan.
Belum berhenti bicara, segelas kopi yang dipesannya tiba. Kaos putih di tubuh yang basah oleh keringat dilepas dan diperasnya. Ia pun melanjutkan perkenalannya sembari menyodorkan SIM A dari dompetnya.
"Hanya itu identitas saya yang tersisa. Sedangkan, dompet lama, KTP, ATM dan identitas lainnya hilang dicopet di Tanjung Priok, sebulan lalu," katanya. "Untung ijazah saya masukkan ke tas besar, sehingga masih selamat dan bisa melamar pekerjaan," tambah dia.
Prapto baru tiba di Ibu Kota akhir April 2014. Dari Pelabuhan Belawan Medan, kapal yang ditumpanginya berhenti di Pelabuhan Tanjung Priok. Baru turun dari kapal, tas kecil raib dari tangannya.
"Saya bingung saat itu. Satu blackberry dan satu ponsel ada di dalam tas yang dicuri. Tapi tujuan saya ke Jakarta hanya satu, ke Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta memasukkan lamaran pekerjaan," ucapnya menuturkan kisahnya datang ke Jakata.
Dengan modal lulusan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara (USU) yang disandangnya, dengan pede (percaya diri) ia ke RSCM. Sebelum merantau, ia sempat menjadi perawat di salah satu rumah sakit di Medan dengan status honorer.
Ketika itu Prapto kebingungan mencari tempat tinggal di Ibu Kota. Ingin menghubungi kerabatnya, namun nomor telepon berada di ponsel yang hilang dicuri. Hingga akhirnya ia ke memilih ke Monas untuk sekadar "refresing" menghilangkan penat.
Di pelataran tugu setinggi 132 meter itu ia melamun. Lebih dari setengah jam, wajahnya mulai tersenyum tatkala melihat badut-badut tokoh kartun bergoyang-goyang ketika diperhatikan dan dimintai foto bareng pengunjung.
"Saya penasaran dan mengamatinya sampai selesai. Saya mencari tahu dan ingin mencobanya, hitung-hitung menyambung hidup di Jakarta sambil menunggu panggilan kerja," ucapnya.
Hingga kini, "si badut tweety" Prapto masih beraksi. Per hari, sekitar Rp100-200 ribu diraupnya. Namun, jika Monas sepi pengunjung, tidak lebih dari Rp50 ribu didapatnya.
"Kalau libur ramai mas, bisa ratusan ribu rupiah. Tapi kalau sepi, Rp50 ribu sudah bagus. Tidak apa-apa, yang penting bisa untuk makan hari itu," kata pria yang hingga kini masih betah membujang tersebut.
Dipelopori Herman
Di tempat para badut istirahat usai "dinas", seorang pria berbadan subur dan tidak terlalu tinggi sibuk menata kostum-kostum badut dan terpal yang disinari langsung matahari.
"Saya Herman Feolani, asli Tegal, Jawa Tengah," katanya memulai pembicaraan. Rupanya ia pemilik kostum-kostum badut yang disewakan. Sistem pembagian hasilnya, 60 persen untuk si badut dan 40 persen pemilik kostum.
"Siapapun boleh menyewa dan tidak ada tarif. Kami ingin membantu mereka yang belum memiliki pekerjaan agar bisa makan di Jakarta," tutur bapak satu anak tersebut.
Selama dua bulan ini, Herman dan kerabatnya memiliki 16 kostum badut tokoh kartun. Bagi siapa saja yang ingin bekerja tidak ada larangan dan target. Hari libur menjadi hari favorit dan hujan menjadi tantangannya.
Inilah yang membuat banyaknya pria maupun wanita mencari nafkah dengan jalan menjadi badut untuk diajak berfoto bersama pengunjung. Suprapto itu salah satunya.
Herman bercerita, semula ia adalah pedagang pakaian dalam di Tanah Abang. Dari hasil jualannya, ia mampu mendapat Rp2 juta per bulannya. Tapi, setelah kehabisan modal, ia ingin mencoba peruntungan lain.
Bersama kerabatnya dari Tegal, Herman pun membeli kostum-kostum badut di Bandung, Jawa Barat, dengan modal Rp6 juta hasil patungan.
"Saya pernah berdagang di Monas dan melihat patung-patung dijadikan objek berfoto pengunjung yang berlatar belakang tugu. Di situlah muncul ide untuk menjadi badut," kata suami Farechah itu.
Bukannya tanpa hambatan, belum seminggu menjadi badut yang dimintai foto-foto oleh pengunjung, ia diciduk petugas. Selama tiga hari Herman terpaksa menjadi penghuni Panti Sosial Kedoya milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Herman sudah berulang kali menjelaskan ia bukan pengemis karena tak meminta bayaran ke pengunjung. Namun, petugas tetap tidak mau tahu dan membawanya. Ia pun mendapat izin keluar setelah didatangi kerabatnya.
Dari pengalaman itu, Herman tidak ingin dijebloskan panti lagi. Ia pun berusaha menemui pengelola Monas untuk mendapatkan restu menjadi badut penghibur.
"Sekarang sudah agak lega, meski izin belum sepenuhnya turun. Tapi kalau hari libur, tidak ada penertiban," tutur ayah Iqbal Pratama tersebut.
Tarlan, salah satu badut, mengaku berterima kasih kepada Herman. Meski penghasilannya tidak menentu setiap harinya, namun lapangan pekerjaan yang diciptakannya sangat membantu biaya hidup di Jakarta.
"Kalau tidak menjadi badut, saya tidak tahu bekerja sebagai apa. Jujur saya tidak ingin menjadi badut terus dan ingin bekerja lainnya. Tapi, menjadi badut ini bisa sebagai jembatan," kata Tarlan, seorang dari 20-an pekerja badut kartun di Monas.
Herman dan kerabatnya kini bertahan di Monas. Ia mengaku sangat ingin mengepakkan sayap di sejumlah lokasi wisata Ibu Kota lainnya, seperti Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Taman Impian Jaya Ancol dan lainnya.
Tidak itu saja, ia juga bermimpi bisa membuat hal serupa di wisata-wisata beberapa kota. Surabaya, Yogyakarta, Bandung menjadi incarannya. Tapi sampai kini, ia memilih bertahan di Monas karena hasilnya masih belum cukup untuk modal mewujudkan impiannya. (*)
Ada Badut di Balik Pilar Monas
Jumat, 13 Juni 2014 10:35 WIB
