Sosiolog: Regulasi Minuman Keras Tak Menekan Kematian
Rabu, 4 Juni 2014 20:57 WIB
Tulungagung (Antara Jatim) - Sosiolog Universitas Airlangga, Bagong Suyanto berpendapat gerakan masif dilakukan pemerintah dalam membuat regulasi pengendalian peredaran minuman keras tidak akan berpengaruh banyak terhadap upaya menekan angka kematian remaja akibat minuman beralkohol jenis oplosan.
"Salah besar jika pemerintah membuat regulasi baru; perpres, perda, perbup ataupun perwali baru, yang dasarnya adalah kasus kematian anak muda akibat minuman (keras) oplosan," cetus Bagong Suyanto, dikonfirmasi Antara melalui sambungan telepon, Rabu.
Menurut sosiolog Unair ini, regulasi baru pengendalian minuman keras justru tidak akan berpengaruh banyak terhadap tren kasus kematian remaja yang "terjebak" budaya mabuk-mabukan ala kelompok masyarakat marjinal tersebut.
Kelompok remaja yang diistilahkan Bagong berasal dari subkultur masyarakat kelas menengah ke bawah ini diyakini karena dampak merusak fungsi organ tubuh akibat menenggak minuman beralkohol secara oplosan.
Penggunaan bahan atau zat kimia berbahaya lain, seperti metanol, spirtus, korek api, autan dan sebagainya merupakan penyebab utama tingginya kasus kematian akibat minuman keras oplosan di berbagai daerah di Indonesia.
"Harus dibedakan antara minuman beralkohol dengan minuman (keras) oplosan, karena kasus-kasus kematian yang diakibatkan remaja menenggak arak, cukrik, atau sejenis ciu disebabkan aneka minuman keras tradisional itu biasanya ditenggak secara oplosan dengan zat kimia berbahaya lain yang mematikan," jelasnya.
Dengan asumsi tersebut, kata Bagong, membuat regulasi perpres atau perda baru pengendalian peredaran minuman keras untuk tujuan menekan angka kematian remaja akibat minuman oplosan dinilai salah alamat.
Pasalnya, di saat minuman beralkohol yang legal berhasil dibatasi peredarannya, minuman keras ilegal yang biasa ditenggak secara oplosan justru semakin marak dikonsumsi masyarakat.
"Kalau sudah begitu, membuat regulasi baru atau perda-perda baru ibarat mengobati sakit perut dengan obat sakit kepala. Sama sekali tidak akan menyelesaikan masalah," ujarnya.
Satu-satunya cara memerangi minuman keras oplosan dan menekan angka kematian remaja akibat minuman oplosan menurut Bagong adalah dengan memfasilitasi subkultur anak muda tersebut untuk mengikuti kegiatan-kegiatan positif yang sesuai dengan profil remaja/masyarakat bersangkutan.
"Salah persepsi yang dilakukan pemerintah selama ini yang seharusnya diluruskan. Karena menurut saya, kematian anak muda karena minuman oplosan tidak berkaitan dengan minuman keras (legal). 'Mind set' (pola pikir) ini yang harus segera kita ubah," kata Bagong.
Ia kembali mengingatkan bahwa mencampuradukkan pengertian minuman keras dengan minuman oplosan sebagai persepsi yang salah kaprah. (*)