Surabaya (Antara Jatim) - Pengembangan pariwisata berbasis alam dengan menonjolkan budaya dan kearifan lokal atau "ecotourism", kini mulai banyak dilirik berbagai daerah untuk menggaet kunjungan wisatawan, khususnya dari mancanegara. Turis asing dari berbagai negara, seperti Asia, Eropa, dan Amerika, lebih tertarik menikmati objek wisata yang kondisinya masih alami, misalnya pantai, pegunungan, taman nasional, atau desa wisata. Salah satu daerah di Jawa Timur yang kini getol mengembangkan ecotourism adalah Pemerintah Kabupaten Banyuwangi. Bahkan, daerah berjuluk "The Sunrise of Java" itu melakukan sejumlah terobosan untuk menggenjot sektor pariwisata. Banyuwangi kaya akan potensi sumber daya alam sebagai tujuan wisata. Sebut saja Kawah Ijen dengan fenomena "blue fire"-nya, Pantai Plengkung (G-Land) sebagai surganya peselancar, dan berbagai seni budaya lokal. Pengembangan potensi desa wisata sebagai destinasi baru bagi turis mancanegara kini menjadi salah satu fokus perhatian pemkab setempat. "Desa wisata memiliki potensi besar, khususnya untuk segmen wisatawan yang tertarik menyelami kekayaan seni budaya masyarakat," kata Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas ketika dihubungi dari Surabaya pekan lalu. Menurut Anas, desa wisata bisa diartikan sebagai konsep wisata terintegrasi di suatu wilayah yang memadukan potensi wisata lokal berupa produk seni, budaya, keindahan alam, akomodasi, dan fasilitas pendukung lainnya. Kabupaten Banyuwangi sebenarnya sudah memiliki satu potensi desa wisata yang terletak di Kemiren, Kecamatan Glagah, yang diberi nama Desa Wisata Osing. Nama Osing (Using) adalah sebutan bagi penduduk atau suku asli Banyuwangi. Desa wisata tersebut ditetapkan sebagai daerah tujuan wisata unggulan pada tahun 1995 oleh Bupati Banyuwangi Poernomo Sidik. Penduduk di Desa Kemiren ini merupakan kelompok masyarakat yang memiliki adat istiadat dan budaya khas sebagai Suku Osing. Misalnya dalam bercocok tanam, warga Kemiren biasanya menggelar tradisi selamatan sejak menanam benih ketika padi mulai berisi hingga masa panen. Kemudian ketika menumbuk padi, perempuan Osing memainkan tradisi "gedhogan", yakni memukul-mukul lesung dan alu hingga memunculkan bunyi irama yang enak dan selaras. Di Desa Kemiren, ada satu tempat bernama Sanggar Genjah Arum milik juri kopi dunia Setiawan Subekti yang menonjolkan kekayaan budaya khas Osing, mulai dari tampilan rumah adat, kesenian, hingga pernik-pernik di dalamnya. Saat perhelatan kontes "Miss Coffee" tingkat dunia pada tahun 2012 di Bali, peserta yang datang dari berbagai negara itu juga diundang hadir mengunjungi sanggar tersebut. "Selain belajar dan menikmati aroma kopi khas dari Banyuwangi, kedatangan peserta Miss Coffee juga dimanfaatkan untuk memperkenalkan budaya khas Suku Osing agar lebih dikenal masyarakat dunia," kata Pak Iwan, sapaan akrab Setiawan Subekti. Letak Desa Kemiren yang berada di jalur menuju objek wisata Kawah Ijen atau sekitar 15--20 menit dari pusat Kota Banyuwangi, menjadikan para turis atau wisatawan lebih mudah menjangkaunya. Terlupakan Seiring dengan berkembangnya waktu, kawasan Desa Wisata Osing, Banyuwangi, sempat beberapa tahun lamanya terlupakan dari perhatian pemerintah daerah setempat. Bahkan, tidak ada pengembangan untuk menjadikan desa itu sebagai tujuan wisata. Kini, pada era kepemimpinan Bupati Abdullah Azwar Anas, Pemkab Banyuwangi berupaya mengembalikan pamor Kemiren sebagai desa wisata unggulan untuk pariwisata berbasis kearifan lokal, selain beberapa desa lain yang dianggap memiliki keunggulan. Untuk program pengembangan desa wisata, Pemkab Banyuwangi telah mengajak sejumlah kepala desa dan tokoh adat yang daerahnya punya potensi wisata untuk berguru ke Bali, tepatnya ke Desa Wisata Batu Bulan dan Penglipuran. "Kami mengajak mereka studi banding ke Bali untuk belajar banyak hal, terutama bagaimana mengemas berbagai potensi yang ada di wilayahnya menjadi kemasan paket wisata menarik," ujar Bupati. Sebagai sebuah desa wisata, lanjut Anas, Kemiren memiliki sedikitnya 32 acara tradisi, 18 di antaranya seni budaya yang rutin digelar dan berpotensi menarik minat wisatawan, antara lain tradisi ndog-ndogan, penampan, ider bumi, tari gandrung, dan angklung paglak. Kekayaan seni budaya tersebut terpadu apik dengan kekhasan lokal, seperti rumah adat arsitektur khas Osing, warisan budaya agraris turun-temurun yang masih dilakukan warga setempat. "Konsep pengembangan wisata Banyuwangi didasarkan pada keterlibatan sumber daya lokal, baik alam, manusia, maupun institusional. Masyarakat harus terlibat. Institusi lokal, seperti kelompok pemuda, koperasi warga, atau kelompok perempuan, didorong menjadi ujung tombak pemasaran wisata," tambahnya. Para wisatawan yang mengunjungi Desa Wisata Osing juga bisa menginap di rumah penduduk sekaligus mempelajari cara hidup mereka dan menikmati makanan setempat sehingga masyarakat lokal tidak hanya dijadikan objek turistik. Dalam pengembangan potensi desa wisata berbasis masyarakat, Abdullah Azwar Anas mencontohkan komunitas "Posada Amazonas" yang hidup di kawasan Taman Nasional Tambopata, Peru. Komunitas Posada Amazonas mengelola lahan dan menawarkan ekspedisi melintasi hutan bagi wisatawan sekaligus diajak belajar cara hidup ala Indian Peru dengan berburu, memancing hingga memotong pohon. "Masyarakat harus menjadi tuan bagi dirinya sendiri, yakni menjadi wirausahawan, penyedia jasa sekaligus diberdayakan sebagai pekerja. Di Desa Wisata Osing ada rumah yang bisa dijadikan 'home stay', ada sanggar seni, dan penyajian kopinya juga khas," katanya. Untuk mendukung potensi seni budaya itu, Pemkab Banyuwangi secara rutin menggelar atraksi budaya bertajuk "Banyuwangi Festival", yang di dalamnya terdapat beberapa agenda, seperti kesenian etnik, gandrung sewu, festival batik, dan kuwung serta kuliner khas Banyuwangi. Menurut Ketua Dewan Kesenian Blambangan (DKB) Samsudin Adlawi, sebagai agenda seni budaya tahunan, Banyuwangi Festival telah menjadi ikon daerah dan kalender wisata dalam menarik kunjungan wisatawan. Dinas Pariwisata Kabupaten Banyuwangi mencatat jumlah kunjungan wisatawan nusantara (lokal) ke Banyuwangi pada tahun 2013 mencapai 496.000 orang, sementara wisatawan mancanegara sejumlah 50.244 orang. "Tahun ini, kemasan Banyuwangi Festival sedikit berbeda dan lebih meriah dari tahun 2013. Namun, unsur kekhasan budaya lokal dengan melibatkan masyarakat tetap ditonjolkan karena kami ingin potensi seni budaya Banyuwangi lebih dikenal masyarakat luas," katanya. Pelibatan masyarakat dalam kegiatan wisata secara langsung akan turut mendongkrak perekonomian karena pariwisata memiliki "multiplier' efek yang cukup besar dari sisi ekonomi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai tambah sektor jasa hiburan kebudayaan di Banyuwangi meningkat dari Rp22,3 miliar pada tahun 2011, menjadi Rp26,2 miliar pada tahun 2012. Dari sektor kuliner terepresentasi dari nilai tambah restoran yang meningkat dari Rp560,5 miliar menjadi Rp654,4 miliar. Adapun sektor perhotelan tumbuh dari Rp286,6 miliar menjadi Rp341,8 miliar. Sektor tekstil, barang kulit, dan alas kaki yang lekat dengan produk kerajinan rakyat, selama tahun 2012 menghasilkan transaksi Rp4,7 miliar atau tumbuh dari tahun sebelumnya sekitar Rp4 miliar. Perkembangan sektor industri berbasis wisata tersebut selaras dengan pertumbuhan sektor pertanian di Banyuwangi, yang berdasarkan data BPS terjadi peningkatan nilai tambah dari sekitar Rp12 triliun menjadi Rp13,9 triliun. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh tim independen, belanja wisatawan yang berkunjung ke Banyuwangi rata-rata mencapai Rp 1,9 juta per orang dengan masa tinggal di daerah tersebut selama dua hari. "Ke depan, dengan berbagai agenda pariwisata dan destinasi yang kami siapkan serta infrastruktur penunjang, jumlah wisatawan ke Banyuwangi akan terus meningkat. Kalau selama ini Banyuwangi hanya dilewati turis dari Jawa ke Bali atau sebaliknya, nantinya mereka bisa singgah menikmati potensi wisata kami," kata Bupati. (*) (Foto: twitter)
Kearifan Lokal sebagai Daya Tarik Pariwisata Banyuwangi
Sabtu, 19 April 2014 23:51 WIB