Ali Masykur Musa: Penanggulangan Kemiskinan Alami Paradoks
Kamis, 27 Maret 2014 16:17 WIB
Malang (Antara Jatim) - Peserta konvensi Partai Demokrat Dr Ali Masykur Musa menyatakan upaya penanggulangan kemiskinan yang dilakukan pemerintah saat ini mengalami paradoks.
"Itu karena anggaran penanggulangan kemiskinan cukup besar, bahkan untuk subsidi saja sebesar Rp345 triliun, tapi jumlah angka kemiskinan tidak menurun," katanya di sela-sela Seminar Nasional "Mencari Model Kedijakan dalam Mendukung Percepatan Penanggulangan Kemiskinan" di FISIP Universitas Brawijaya (UB) Malang, Kamis.
Menurut dia, jumlah penduduk miskin di Indonesia masih mencapai 65 juta jiwa atau sekitar 14 persen, padahal pertumbuhan ekonomi cukup tinggi dan pengelolaan sumber daya alam (SDA), seperti batu bara dan emas juga dilakukan secara besar-besaran, bahkan cenderung eksploitatif.
"Tapi, hal itu tidak sebanding dengan penyerapan tenaga kerja di sektor tersebut dan jumlah warga miskin masih tetap tinggi. Untuk itu, secara bertahap bisa dilakukan dengan cara melakukan proses pembangunan pada pertumbuhan ekonomi inklusif," katanya.
Ketua Umum PP ISNU itu menilai Indonesia memang harus tumbuh, tapi pertumbuhannya harus inklusif, artinya menyentuh seluruh lapisan masyarakat dengan program ekonomi mikro, bukan makro.
Selain itu, lanjutnya, subsidi pertanian sebesar Rp20 triliun juga harus ditambah, apalagi tujuan yang ingin dicapai adalah industri pertanian. Jumlah petani di Indonesia sekitar 35 juta jiwa, sehingga dengan subsidi sebesar Rp20 triliun itu sangat kurang.
Pemerintah, juga harus melakukan "land reform" pada petani karena kepemilikan lahan para petani rata-rata hanya 0,3 hektare.
"Ke depan, land reform ini harus diwujudkan dan subsidi bagi petani harus ditambah dan nelayan pun, subsidi BBM-nya juga harus ditambah dan pendistribusiannya juga harus tepat sasaran," katanya.
Pemerintah, katanya, juga harus terus mendorong program swasembada pangan (kehatanan pangan). Program swasembada pangan ini sulit tercapai karena selama ini bangsa Indonesia selalu impor untuk mencukupi kebutuhan pangannya.
"Padahal barang impor ini harus dibayar dengan mata uang dolar AS, sehingga depresiasi rupiah cukup rendah dan akhirnya menguras devisa negara. Saya rasa cara itu merupakan jalan tercepat untuk menanggulangi kemiskinan di Tanah Air," ujar anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI tersebut.(*)