Ali Masykur: Demokrasi Indonesia Berbiaya Tinggi
Jumat, 28 Maret 2014 18:53 WIB
Malang (Antara Jatim) - Anggota Badan Pemeriksa Keuangan Dr Ali Masykur Musa menilai sistem politik dan demokrasi di Indonesia cenderung berbiaya tinggi dan transaksional sehingga melahirkan pemerintahan tidak efesien.
"Sebagai anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), saya melihat kalau sistem yang seperti itu terus menerus dilakukan pasti melahirkan pemerintahan yang korup dan inefesien dalam pengelolaan anggaran," tegas Ali Masykur Musa usai menjadi pembicara pada sarasehan "Demokrasi dan Peta Politik di Indonesia" di Universitas Islam Malang, Jawa Timur, Kamis.
Selain itu, sistem politik dan demokrasi berbiaya tinggi juga berimbas pada postur anggaran yang lebih banyak dikemas sebagai bantuan sosial, padahal sesungguhnya hanya "make up" untuk menutupi biaya politik yang telah dikeluarkan sebelumnya.
Bahkan, kata Ali Masykur, banyak daerah yang sebagian besar atau 80 persen anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD)-nya hanya untuk membayar gaji pegawai, sehingga tidak bisa melakukan pembangunan apapun.
"Cobalah mulai dari sekarang, sistem politik transaksionalisme ini disudahi (dihentikan) agar ke depan tidak sampai melahirkan pemerintahan yang cenderung korupsi," tegasnya.
Menyinggung pelaksanaan demokrasi pascareformasi, peserta konvensi Partai Demokrat itu, mengatakan ada kemajuan dan kebebasan, namun sekarang justru tanpa kontrol. Demokrasi yang sekarang ini adalah kebebasan tanpa keteraturan sosial.
Padahal, tambahnya, syarat untuk membangun demokrasi harus senyawa antara efisiensi dengan demokrasi itu sendiri, yakni sistem politik dan partai politik yang efisien, bukan berbiaya tinggi.
Namun, justru pada hari-hari menjelang pelaksanaan Pemilu 2014 ini, banyak bermunculan pengerah jasa suara di tempat pemungutan suara. "Padahal ini sangat berbahaya, karena korelasi langsungnya pasti akan melahirkan pemerintahan yang korup," ujarnya.
Mengenai upaya membangun Indonesia ke depan, menurut Ali Masykur, harus ada senyawa antara demokrasi dan efisiensi, demokrasi juga harus diikuti oleh penegakan hukum dan jangan menjadikan hukum hanya sebagai ornamen seperti yang terjadi sekarang ini.
Menurut dia, sistem hukum di Indonesia tajam ke bawah, tapi murah ke atas. Artinya, orang miskin dikenakan pasal-pasal mahal, sedangkan yang kaya "berapa pasal itu bisa aku beli".
"Kondisi ini yang menjadi keprihatinan kita bersama, padahal demokrasi seharusnya mampu meningkatkan kesejahteraan rakyatnya dan yang juga penting adalah jangan sampai ada 'kecelakaan' demokrasi, yakni jangan sampai ada pemimpin yang tak dikenal tiba-tiba muncul dan tanpa kita ketahui rekam jejaknya," tegasnya. (*)