"Soyo" Simbol Budaya Lokal tetap Hidup Pascaerupsi Kelud
Jumat, 7 Maret 2014 12:58 WIB
Malang (Antara Jatim) - Sulistyowati mulai bergegas menuju kantor Kecamatan Pujon, Jumat (7/3) pagi, karena di pagi itu giliran dia bersama warga Dusun Bengkaras untuk berangkat ke Desa Pandansari, yakni lokasi terparah di Kabupaten Malang, Jawa Timur yang terkena dampak erupsi Gunung Kelud (1731 mdpl), beberapa waktu lalu.
Gunung api Kelud, berada di perbatasan tiga kabupaten di Jawa Timur, yaitu Kabupaten Kediri, Blitar serta Malang yang mengalami erupsi pada Kamis (13/2) malam.
Tujuan perempuan berumur 57 tahun ini ke desa yang terletak di Kecamatan Ngantang itu, hanyalah satu, yakni membantu warga setempat untuk memulihkan kembali kondisi desa setelah porak-poranda dihajar material vulkanik Kelud.
Perempuan yang di dusunya bekerja sebagai penjaga warung kopi itu tampak bersemangat berjalan menuju kantor kecamatan yang letaknya sekitar 5 kilometer dari dusunya, dan tugas kesehariannya menjaga warung harus diliburkan hari itu untuk menyisihkan waktu membantu sesama.
Sementara di kantor kecamatan yang letaknya di pinggir jalan raya penghubung Kota Malang dan Kediri itu sudah menunggu truk milik TNI, untuk mengangkut para warga bersama-sama menuju Desa Pandansari.
Sulistiyowati mengaku, hari ini adalah kali pertama dusunnya mendapat giliran membantu warga Desa Pandansari, sebelumnya dusun-dusun lain juga mendapat giliran yang sama membantu warga di sana.
"Sebelumnya, dusun lain juga diwajibkan membantu warga yang kena erupsi dan dilakukan secara bergiliran. Namun sebelum berangkat, warga diminta untuk lapor ke masing-masing RT agar didata berapa jumlah warga yang berangkat ke sana," ungkapnya.
Dengan adanya kewajiban secara bergantian membantu Desa Pandansari dari desa sekitar, diharapkan bisa mempercepat proses "recovery" atau pemulihan pascaerupsi Kelud yang melanda wilayah itu.
"Lek ngak 'soyo' atau digruduk kerjo bareng karo warga deso sekitare ora iso mari-mari mas, soale desone hancur kena abu. (Kalau tidak dikerjakan bersama-sama dengan warga desa sekitarnya tidak bisa selesai, sebab Desa Pandansari sudah hancur terkena abu vulkanik)," ucap perempuan yang beralamat lengkap di Dusun Bengkaras RT 9 RW 01 Desa Madido itu.
Ia mengaku, setiba di Desa Pandansari dirinya akan membantu memasak serta menyiapkan makanan. Sedangkan pemasangan genting atau pekerjaan berat lainnya, akan dilakukan warga yang berjenis kelamin laki-laki dibantu personel TNI.
Salah satunya adalah Hardjito. Pria kelahiran 1987 ini juga tampak bersemangat berangkat ke Desa Pandansari dan menyisihkan waktunya membantu sesama.
Senyum ramah Hardjito bersama warga dusun untuk ikut peduli ini seolah mencerminkan masih adanya sikap gotong royong antarwarga dan menepis anggapan jika bangsa ini sudah kehilangan rasa kepedulian.
Budaya Lokal
Budayawan asal Universitas Brawijaya (UB) Kota Malang, Rianto mengatakan, budaya lokal gotong-royong antarwarga yang dilakukan di Kabupaten Malang adalah salah satu contoh kecil kekuatan yang ada pada bangsa ini, dan merupakan cermin dari esensi atau tujuan ajaran Pancasila.
Dia mengatakan, pokok tujuan ajaran Pancasila adalah bagaimana mengajarkan setiap warganya untuk mampu "Berdikari" (berdiri di atas kaki sendiri), tanpa meninggalkan saudara atau temannya.
"Arti berdikari yang sesungguhnya adalah setiap warga mampu bangkit secara mandiri, tanpa meninggalkan saudara atau temannya, dan ini merupakan salah satu kekuatan bangsa ini," tutur Rianto yang juga Ketua Paguyuban Seni Budaya UB Malang.
Secara akademik, Rianto membagi model masyarakat Indonesia menjadi dua kategori, yakni masyarakat yang mempunyai tujuan "spiritual" atau membantu tanpa tendensi dan didominasi orang pedesaan, serta masyarakat "material" atau yang membantu dengan tujuan materi dan didominasi oleh orang perkotaan.
"Tapi jangan mendikotomikan (membuat baku) pembagian masyarakat itu, sebab masyarakat desa juga ada yang bersifat material, dan masyarakat perkotaan juga ada yang bersifat spiritual," ujar Dosen Fakultas Ilmu Administrasi dan Budaya ini.
Dijelaskannya, adanya sikap gotong royong pascaerupsi Kelud di Desa Pandansari atau diistilahkan "Soyo" itu adalah cermin salah satu masyarakat yang spiritual, dan ini masih banyak ditemukan di wilayah Nusantara.
"Budaya lokal ini sebenarnya tidak tergantung adanya musibah atau tidak, dan budaya ini masih bisa ditemukan banyak, khususnya di wilayah Jawa," tukasnya.
Dia mengakui, budaya gotong royong khususnya di wilayah perkotaan kini cenderung berkurang dan hilang, sebab mayoritas orang perkotaan sudah bekerja berdasarkan materi. Akibatnya, mereka banyak menemui konflik dan masalah yang membuat orang perkotaan merasa "gersang" dan "hampa".
"Sehingga, kini di negara modern muncul istilah 'postmodern', yakni masyarakat perkotaan yang coba mengarah pada spiritual untuk menumbuhkan sikap gotong-royong itu kembali," ucapnya.
Sementara itu, Desa Pandansari yang terletak di Kecamatan Ngantang merupakan wilayah yang paling parah terkena erupsi Gunung Kelud. Dan hingga kini, desa yang memiliki tujuh dusun itu terus menjalani proses pemulihan.
Salah satu pemulihan yang dilakukan, adalah pemasangan genting atau atap rumah warga, sebab hampir 95 persen genting rumah warga hancur dan porak poranda akibat meterial vulkanik sebesar genggaman tangan manusia dewasa yang menghujani wilayah itu.(*)