Pelajaran Berharga dari "Jangkar Kelud"
Sabtu, 1 Maret 2014 8:05 WIB
Kediri (Antara Jatim) - Hidup di daerah rawan bencana, terlebih lagi tinggal di dekat gunung berapi, membuat warga harus siap-siap menghadapi fenomena alam berupa erupsi gunung.
Zaman kuno, masyarakat hanya mengandalkan tanda-tanda alam jika akan terjadi bencana erupsi gunung, misalnya turunnya sejumlah hewan dari kawasan hutan ke permukiman warga.
Namun, tak semua warga menyadari hal itu dengan baik. Buktinya, di Kediri tercatat banyak korban ketika Gunung Kelud (1.731 mdpl) erupsi.
Data di Proyek Kelud Kediri mencatat korban jiwa akibat erupsi gunung itu mencapai 10.000 jiwa pada tahun 1586, lalu korban pada 16 Mei 1848 ada 21 jiwa, pada 19 Mei 1919 ada 5.110 jiwa, pada 31 Agustus 1951 ada tujuh jiwa, 26 April 1966 ada 212 jiwa meninggal.
Bahkan, data terbaru pada 10 Februari 1990 ada 33 korban jiwa meninggal dunia serta 43 terluka, namun erupsi pada tahun 2007 tidak ada korban jiwa karena sifatnya hanya efusif (letusan tertahan).
Atau, data selang tujuh tahun kemudian, Kelud mengeluarkan isi perutnya, berupa batu, pasir, dan abu vulkanik pada 13 Februari 2014 hingga tercatat empat korban jiwa di kawasan Ngantang, Malang.
Bukan hanya korban meninggal dunia, kerugian materi juga cukup luar biasa. Akibat erupsi Gunung Kelud pada tahun ini di Desa Sugihwaras, Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri, Jawa Timur itu, ribuan rumah dan fasilitas, ribuan hektare lahan pertanian baik pekarangan ataupun sawah, rusak.
Jika dilihat data, memang korban jiwa paling banyak akibat erupsi Gunung Kelud terjadi sebelum erupsi pada 1990, namun pengalaman erupsi 2007 akhirnya melahirkan sebuah komunitas masyarakat di kaki Gunung Kelud bernama "Jangkar Kelud".
Saat itu, masyarakat tidak ada yang mengkoordinasi, sehingga saat diputuskan untuk evakuasi, masyarakat sibuk dengan diri mereka sendiri.
Koordinator Jangkar Kelud Kediri Suprapto menyebut komunitas ini didirikan dengan tujuan sosial untuk melatih kepekaan masyarakat menghadapi ancaman erupsi Gunung Kelud. Masyarakat harus dilatih untuk siap dan siaga menghadapi bencana.
"Belajar dari pengalaman erupsi 2007, kami mendirikan komunitas masyarakat pada 2008. Kami ingin masyarakat berdaya, masyarakat bisa paham mengevakuasi dirinya sendiri," jelasnya.
Nama Jangkar Kelud itu sendiri berasal dari kalimat "Jangkare Kawulo Redi", yang pada intinya adalah melatih masyarakat untuk bisa hidup berdampingan dengan Gunung Kelud.
"Jika Kelud sedang punya 'hajat' atau erupsi, masyarakat menyingkir dulu," ucapnya.
Pelatihan Gawat Darurat
Di awal terbentuknya "Jangkar Kelud" yang meliputi daerah terdampak, yaitu Kabupaten Kediri, Blitar, dan Malang, program yang dilakukan pertama kali adalah membentuk tim siaga. Anggotanya adalah para remaja di kampung sendiri.
Di Kabupaten Kediri, tim siaga awalnya didominasi oleh remaja yang tergabung dalam radio komunitas. Mereka menyampaikan seluruh informasi terkait dengan Gunung Kelud.
Untuk anggaran, pria yang dikenal dengan nama Prapto ini mengatakan tidak ada "founding" tetap. Bahkan, mayoritas sukarela para remaja yang tergabung dalam tim siaga ini.
Prinsip awal yang dibangun adalah "sing penting lakone disek. Tandang, ora penting kondang" yang artinya adalah yang penting program dijalankan. Berbuat lebih penting daripada menjadi terkenal.
Dengan prinsip itu, alhasil komunitas ini terus eksis sampai sekarang. Berbagai program pelatihan pun telah didapat di antaranya pelatihan penanggulangan gawat darurat (PPGD), fungsinya melatih memberikan pertolongan lebih cepat jika terjadi bencana.
Selain itu, juga pernah latihan berupa pendidikan kebencanaan, misalnya pengetahuan tentang status gunung, sehingga masyarakat paham yang harus dilakukan antara di level aktif normal, waspada, siaga, dan awas.
Terdapat juga program untuk terus menjalin komunikasi dengan komunitas lain yang disebut dengan "Jalin Paseduluran", misalnya dengan komunitas masyarakat di sekitar Gunung Merapi yang komunitasnya disebut dengan "Pasak Merapi", atau dengan komunitas masyarakat di Gunung Bromo yang disebut dengan "Kobar Bromo" dan sejumlah komunitas lain.
Ia dengan tim juga pernah mengadakan simulasi menghadapi bencana erupsi Gunung Kelud yang menggandeng sejumlah kalangan. Walaupun saat itu tidak ada tanda-tanda Gunung Kelud akan erupsi, latihan tetap dilakukan.
"Hasilnya, baru dirasakan saat Gunung Kelud mengalami erupsi pada Kamis (13/2) dengan mengeluarkan material berupa batu, pasir, dan debu vulkanik," katanya.
Prapto tidak menyangka jika Gunung Kelud erupsi secepat ini. Saat 2007, proses mulai dari waspada sampai awas cukup lama, tapi saat ini hanya sekitar dua pekan langsung erupsi.
Saat status sudah diketahui terus naik mulai dari waspada hingga siaga, ia sudah langsung koordinasi dengan tim siaga dan terus memberikan sosialisasi kepada warga terkait kondisi.
Mereka diberi informasi apa yang harus dilakukan dengan status Gunung Kelud. Misalnya, saat statusnya naik dari semula aktif normal ke waspada, masyarakat masih tetap melakukan aktivitasnya seperti biasa, bertani, berkebun, tapi menjauhi radius 2 kilometer dari bibir kawah.
Begitu juga dengan status siaga. Aktivitas warga tetap berjalan seperti biasa, tapi mereka diimbau untuk menyiapkan segala sesuatu jika bencana terjadi sewaktu-waktu, mereka harus siap mengungsi.
Hingga puncaknya, saat status awas pada Kamis (13/2) malam. Secara otomatis, warga sudah dengan teratur tenang dan mulai mengungsi. Perempuan, anak-anak, serta para lanjut usia (lansia) didahulukan naik kendaraan evakuasi yang sudah disiapkan petugas, dan terakhir para bapak-bapak.
"Saya dan sejumlah rekan turun belakangan untuk memastikan semua warga sudah turun semua. Kami terus memantau dan melihat ke arah gunung, serta mengamati jika sewaktu-waktu tim PVMBG turun dari pos pengamatan," jelasnya.
Ia mengaku saat gunung itu mengeluarkan dentuman mirip bom, ia dengan sejumlah rekan masih di kawasan "rest area" bawah. Dentuman pertama ia melihatnya mirip kembang api, tapi dentuman kedua dan ketiga sudah disertai awan hitam.
Protap (prosedur tetap) yang ia lakukan, seperti langsung memakai helm, parkir kendaraan dengan posisi siap berangkat serta kunci sepeda motor yang selalu siap di genggaman. Pun, ketika tim PVMBG turun dan memberi aba-aba agar turun, karena bahaya, baru ia dengan rekan lainnya turun.
Sampai di areal perkebunan sengon Perhutani Kediri, jarak sekitar 15 kilometer, situasi sudah tidak kondusif. Lampu padam, sehingga penerangan hanya mengandalkan dari lampu kendaraan. Kendaraan yang lalu lalang mengangkut para pengungsi membuat situasi sempat kacau. Arus lalu lintas macet.
Ia baru koordinasi lagi dengan rekan-rekan di tim siaga Jangkar Kelud, koordinasi dengan berbagai tim lain untuk memastikan apakah ada korban jiwa atau tidak dalam musibah tersebut. Hasilnya, tidak ada korban jiwa yang terkena erupsi langsung Gunung Kelud. Terdapat warga yang terluka saat mencoba untuk mengungsi, seperti mengalami kecelakaan.
Prapto mengatakan cukup bangga karena pelatihan yang diberikan kepada warga, walaupun lewat radio ataupun bertatap muka bisa bermanfaat. Ia yakin dengan komunikasi terus menerus, masyarakat awam pun akan paham bagaimana mengelola dirinya agar siap menghadapi bencana.
Rekonstruksi Pascabencana
Pemerintah sampai saat ini terus berusaha melakukan perbaikan infrastruktur yang rusak pascaerupsi Gunung Kelud.
Perbaikan dilakukan dengan melibatkan TNI, relawan, serta masyarakat. Mereka bahu membahu, gotong royong membangun rumah, memperbaiki atap, yang kondisinya sudah tidak banyak yang utuh.
Di Kabupaten Kediri, terdapat empat kecamatan terdampak erupsi Gunung Kelud, yaitu Kecamatan Ngancar, Plosoklaten, Kepung, dan Puncu. Dalam musibah itu, dua kecamatan yaitu Kepung dan Puncu mengalami kerusakan lebih banyak daripada dua daerah lainnya.
Kerusakan bangunan di Kabupaten Kediri mencapai 13 ribu baik rumah warga ataupun fasilitas umum. Saat ini, TNI masih bahu membahu "memulihkan rumah".
Komandan Kodim 0809 Kediri Letkol Infanteri Heriyadi menargetkan sampai 9 Maret mendatang, harus menyelesaikan 10 ribu rumah.
"Dari rekap pada Kamis (27/2) sudah menyelesaikan 1.580 rumah yang sudah 100 persen bisa ditempati," katanya saat dikonfirmasi.
Ia mengatakan total rumah yang rusak memang mencapai 13 ribu unit yang tersebar di empat kecamatan. Namun, untuk dua kecamatan yaitu Ngancar dan Plosoklaten, perbaikan sudah dilakukan oleh pemda dengan memberikan bantuan berupa genteng.
Dalam upaya rekonstruksi itu, sebanyak 1.600 prajurit diturunkan di seluruh dusun terutama di dua kecamatan yaitu Kepung dan Puncu. Tiap satu dusun ada satu peleton.
Selain prajurit, juga mengerahkan sampai 280 tukang yang juga berasal dari TNI. Mereka mempunyai spesialiasi di bidang bangunan, serta menurunkan satu kompi batalyon zipur untuk membantu perbaikan tersebut.
Dandim mengungkapkan terdapat beberapa kendala dalam proses rekonstruksi rumah, di antaranya curah hujan yang tinggi. Hampir setiap hari, saat sore terjadi hujan, sehingga kerja anggota pun tidak maksimal.
"Sesuai dengan jadwal, anggota diturunkan dan istirahat pukul 17.00 WIB, tapi karena hujan sudah tidak melanjutkan aktivitas lagi," katanya.
Ia tidak ingin anggotanya terluka lebih banyak, mengingat terdapat pengalaman dua anggotanya terjatuh dari atap dan terluka. Namun, ia menegaskan kekurangan itu akan terus diperbaiki dan diharapkan sesuai dengan target.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Kabupaten Kediri Edhi Purwanto mengatakan proses perbaikan memang ditargetkan sampai 9 Maret. Hal itu diharapkan, masyarakat tidak menunggu terlalu lama untuk bisa kembali menempati rumah mereka.
Edhi mengatakan untuk perbaikan dibantu oleh pemda dan Pemprov Jatim. Di pemda, bantuan disalurkan dari donatur yang memberikan material seperti kayu, genteng, maupun semen.
Pemerintah membutuhkan 15 juta genteng untuk diberikan pada warga yang rumahnya rusak akibat erupsi Gunung Kelud. Saat ini, jumlah genteng masih terbatas, sehingga diharapkan para donatur bisa memberikan bantuan.
Pemerintah Provinsi Jatim sendiri juga memberikan bantuan dengan diambilkan dana dari APBD Provinsi Jatim sebesar Rp100 miliar. Dana itu tidak diberikan berupa uang, melainkan material bangunan.
Gubernur Jatim Soekarwo saat meninjau perbaikan rumah di Kecamatan Puncu awal pekan lalu mengatakan untuk perbaikan diharapkan tidak menunggu pendataan selesai.
Dana untuk perbaikan bisa diturunkan secepatnya dan tidak harus menunggu APBD, mengingat kondisinya darurat. Saat ini, sudah dikucurkan untuk dana awal sampai Rp10 miliar dan sisanya dalam proses.
"Fisik oleh provinsi dan sudah mengucur Rp10 miliar. Ini mendahului (Privilege) belanja, jika kurang pun kami minta ke DPRD. Yang penting, korban tertangani," ucapnya. (*)