Media Kurang Perhatikan Etika Pemberitaan
Selasa, 18 Februari 2014 8:49 WIB
Oleh Arnaz-Puteri
Jakarta (Antara) - Reformasi 1998 yang disebut-sebut sebagai tonggak kebebasan berdemokrasi telah membawa perubahan besar terhadap dunia pers atau media masa, khususnya dalam memberitakan sebuah isu, tetapi setelah 16 tahun berjalan, kebebasan pers justru keluar dari jalur, terutama tentang etika pemberitaan.
"Pada prinsipnya media itu berfungsi sebagai pemberi solusi terhadap sebuah pemberitaan, di sini media harus mampu menjadi peredam untuk semua isu yang beredar, bukan malah memprovokasi dan memperkeruh suasana," ujar Direktur Pemberitaan Perum LKBN Antara, Akhmad Kusaeni, di Jakarta, Selasa.
Dalam diskusi terbuka dengan Radio Rasal am 720 di Wisma Antara, Jakarta, Akhmad Kusaeni memberi contoh tentang kebebasan pers dalam menggunakan istilah-istilah atau kosa kata tertentu, yang justru berdampak negatif terhadap sebuah pemberitaan.
"Contohnya saja menggunakan istilah 'killing field', atau istilah genosida. Dua istilah ini dipakai oleh beberapa media untuk mendramatisasi keadaan saat konflik Muslim Rohingya di Myanmar," katanya.
Padahal istilah 'killing field' merupakan pembunuhan massal saat rezim Khmer Rouge, di Kamboja 1975-1979 dan konflik yang terjadi di Mynmar tidak memakan korban sebanyak konflik yang terjadi di Kamboja," katanya.
"Apa dampak yang ditimbulkan terhadap pemberitaan ini? Hal ini justru memancing kemarahan umat Islam di Indonesia, seharusnya sebuah berita itu harus mampu menjadi kontrol," lanjutnya.
Direktur Pemberitaan Perum LKBN itu juga memberi perbandingan antara kontrol pemberitaan yang ada di Indonesia dan luar negeri.
Di Amerika, sebuah media tidak diizinkan untuk menampilkan seorang teroris di televisi, kata dia, karena jika ini dilakukan maka sama halnya memancing kemarahan masyarakat Amerika yang sangat anti dengan terorisme, terutama dengan Islam.
Di Indonesia, media massa justru dengan sengaja menampilkan seorang teroris yang akan dieksekusi mati, bahkan ditampilkan secara "live" dan ditonton oleh seluruh masyarakat Indonesia.
"Seharusnya media mempertimbangkan dampak sistemik yang ditimbulkan apakah itu dari sisi kemanuasian ataupun dari sisi empati bagi para korban," katanya.
Sementara itu Akhmad Kusaeni juga membahas tentang porsi berita yang ada di Indonesia.
Menurut dia, banyak media yang beranggapan bahwa berita yang berkaitan dengan agama bukanlah berita yang penting jika dibandingkan dengan berita politik, hukum maupun ekonomi.
"Bahkan, berita agama cenderung memberitakan sebuah konflik daripada pemberitaan yang bersifat positif. Hal ini tentunya semakin memberi jurang antara satu agama dengan agama yang lainnya. Media itu memang bebas, tapi memiliki batas," ujar Akhmad Kusaeni. (*)