1.600 Prajurit Prancis berada di Republik Afrika Tengah
Senin, 9 Desember 2013 4:52 WIB
Paris, (Antara/AFP) - Sekitar 1.600 prajurit Prancis telah ditempatkan sesuai dengan rencana di Republik Afrika Tengah, kata militer, Minggu, dan tidak ada bentrokan di negara itu sejak Kamis.
Juru bicara militer Kolonel Gilles Jaron mengatakan, pasukan telah berada di lapangan, sebagian besar di ibu kota negara itu, Bangui, dan sejumlah satuan ditempatkan di beberapa daerah lain.
Ia mengatakan, pasukan Prancis melakukan patroli di Bangui dan terjadi "ketegangan" dengan kelompok-kelompok bersenjata, namun tidak ada bentrokan.
Satu-satunya bentrokan yang dilaporkan sejauh ini yang melibatkan pasukan Prancis di Republik Afrika Tengah terjadi di dekat bandara di Bangui pada Kamis ketika mereka membunuh empat orang bersenjata di sebuah truk pick-up yang melepaskan tembakan ke arah warga sipil dan pasukan Prancis.
Unsur-unsur terakhir diperkirakan tiba di Republik Afrika Tengah pada Minggu malam untuk menyelesaikan penempatan itu, kata Jaron tanpa penjelasan lebih lanjut.
Presiden Francois Hollande mengumumkan, Sabtu, ia akan meningkatkan jumlah pasukan Prancis dengan mandat PBB di negara Afrika itu menjadi 1.600 orang.
Pasukan Prancis itu akan membantu pasukan Afrika berkekuatan 2.500 orang yang berusaha memulihkan ketertiban di Republik Afrika Tengah setelah kudeta Maret menyulut pergolakan sipil dan kekerasan sektarian.
Ratusan orang dilaporkan tewas dalam bentrokan selama beberapa hari ini di Bangui, ibu kota Republik Afrika Tengah.
Negara itu dilanda kekacauan dan kekerasan sektarian antara komunitas Kristen dan Islam sejak gerakan pemberontak Seleka menggulingkan Presiden Francois Bozize pada Maret setelah perjanjian perdamaian gagal.
Seleka, yang berarti "aliansi", menandatangani sebuah pakta perdamaian pada 11 Januari dengan pemerintah Presiden Francois Bozize di ibu kota Gabon, Libreville.
Perjanjian yang ditengahi oleh para pemimpin regional itu menetapkan pemerintah baru persatuan nasional, yang dibentuk dan dipimpin oleh seorang anggota oposisi, Nicolas Tiangaye, dan mencakup anggota-anggota Seleka.
Perjanjian itu mengakhiri ofensif sebulan Seleka yang dengan cepat menguasai wilayah utara dan berhenti antara lain berkat intervensi militer Chad sebelum pemberontak itu menyerbu Bangui, ibu kota Republik Afrika Tengah.
Seleka, sebuah aliansi dari tiga kelompok bersenjata, memulai aksi bersenjata mereka pada 10 Desember 2012 dan telah menguasai sejumlah kota penting di Republik Afrika Tengah. Mereka menuduh Presiden Francois Bozize tidak menghormati sebuah perjanjian 2007 yang menetapkan bahwa anggota-anggota yang meletakkan senjata mereka akan dibayar. (*)