Pakar Etika Spanyol: Akademisi Korup karena Mental dan Sistem
Rabu, 28 Agustus 2013 16:31 WIB
Surabaya (Antara Jatim) - Pakar etika dari Universitas Navarra, Spanyol, Alejo Jose G Sison PhD menegaskan bahwa akademisi yang korup itu karena mental korupsi yang melekat pada dirinya, dan jebakan sistem yang membuatnya tidak bisa menghindari kebiasaan mayoritas.
"Bisa jadi, akademisi itu sebelumnya sudah mempunyai mental korup, jadi secara kapasitas sudah ada bibit korupsi, sehingga ketika masuk pemerintahan atau perusahaan yang ada potensi itu, maka dia pun dengan mudah terkontaminasi," katanya di Surabaya, Rabu.
Setelah berbicara dalam lokakarya bertajuk "Understanding Labor: From Manpower to Moral Capital" di Universitas Katholik Widya Mandala Surabaya, ia mengemukakan hal itu menanggapi maraknya akademisi korupsi seperti pakar minyak ITB yang menjadi Kepala SKK Migas Prof Dr Rudi Rubiandini atau Rektor Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Edy Yuwono.
"Kalangan universitas berperan untuk menangkal itu dengan membentuk Pusat Etika seperti dimiliki Universitas Widya Mandala, karena potensi korupsi itu dapat ditangkal melalui pendidikan atau pelatihan etika sejak awal, apalagi kalau kalangan industri juga membentuk pusat etika," tukasnya.
Didampingi Ketua Pusat Etika Widya Mandala JC Budi Iswanto PhD, Presiden 'the European Business Ethics Network' (EBEN) itu mengatakan penangkalan potensi korupsi itu dapat dilakukan dengan tiga cara yakni aturan, struktur, dan pelatihan.
"Aturan berbentuk kode etik harus ada pada setiap jenjang pemerintahan dan perusahaan, struktur juga harus ada untuk internalisasi etika seperti pusat etika di Widya Mandala, dan pelatihan etika juga harus terus dilakukan untuk siapapun, baik pemimpin maupun rakyat atau bawahan," paparnya.
Menurut dia, pusat etika sendiri tidak berperan untuk menyelesaikan masalah, namun bisa menjadi semacam jaring pengaman atau peringatan dini, seperti dilakukan perusahaan VW yang menempatkan karyawan sebagai "moral capital" yang utama dalam perusahaan.
"Paling tidak kalau pemerintah membentuk Pusat Etika yang merupakan lembaga netral akan dapat menekan pelanggaran etika, bukan seperti badan kehormatan yang sifatnya internal," ujarnya.
Kepala Departeman Filosofi di Universidad de Navarra (Unav) itu mengatakan ada-tidaknya "capital moral" dapat diukur dari indikasi langsung dan indikasi tidak langsung. Indikasi secara langsung antara lain absensi dan tingginya tingkat kriminalitas, terutama narkotika.
"Indikasi tak langsung dapat diukur dari HDI (human development index), komitmen, kompetensi, dan trust (kepercayaan). Rumah dari 'moral capital' adalah keluarga, artinya kalau kerja tapi tidak kembali ke keluarga atau kerja tapi keluarga berantakan, apa artinya," tuturnya.
Secara terpisah, Ketua Pusat Etika Widya Mandala JC Budi Iswanto PhD menambahkan pihaknya mendirikan Pusat Etika untuk membantu organisasi (Widya Mandala) melakukan perbaikan utuh mulai dari pimpinan, dosen, karyawan, hingga mahasiswa.
"Kami merumuskan tiga etika yang khas Widya Mandala yakni peduli, komitmen, dan antusias. Karena itu, sivitas akademika di Widya Mandala harus peduli kepada sivitas akademika yang lain, kemudian komitmen adalah janji untuk mengikuti aturan main yang dirumuskan bersama, sedangkan antusias adalah semangat atau passion (gairah) untuk kemajuan bersama," katanya.
Nilai-nilai etika itu, menurut dia, diimplementasikan secara akademis dengan memasukkannya ke dalam sejumlah mata kuliah dan Pusat Etika yang melakukan penilaian secara kualitatif dan kuantitatif.
"Tidak banyak universitas yang punya Pusat Etika, mungkin hanya 4-5 universitas, bahkan di Surabaya juga masih di sini," tandasnya.(*)