Shiyam seringkali diartikan sebagai puasa dalam Bahasa Arab, namun shiyam dan puasa itu memiliki arti berbeda di mata dai beretnis China, Ustadz H Achmad Syaukanie Ong. "Syahadat, shalat, zakat, shiyam, dan haji itu merupakan cara Allah SWT untuk memperbaiki akhlak manusia," ucapnya dalam pengajian di Masjid Ummul Mu'minin, Jln. Barata Jaya VIII, Surabaya (14/7). Ibarat bangunan, ustadz Ong yang masuk Islam pada tanggal 27 Ramadhan saat berusia 13 tahun itu menyebut shiyam adalah tembok untuk pertahanan diri dari serangan luar. "Kalau shahadat itu pondasi, shalat itu tiang, zakat itu jendela, haji itu atap, maka shiyam adalah tembok," tutur pendakwah yang berasal dari China-Kalimantan dengan kelahiran pada 1 November 1958 itu. Baginya, shiyam itu berbeda dengan puasa. "Puasa itu hanya menahan diri dari makan dan minum, seperti puasa yang disarankan dokter untuk persiapan operasi," papar alumnus Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya itu. Namun, shiyam adalah puasa plus atau puasa plus tidak memfitnah, tidak menghina, tidak menjelek-jelekkan orang lain, dan sejenisnya. "Jadi, puasa itu hanya menjaga mulut, tapi shiyam itu menjaga mulut, sikap, dan perbuatan," tukas salah satu pendiri Yayasan Haji Muhammad Cheng Hoo Indonesia itu dalam pengajian yang juga dihadiri Sekretaris PW Muhammadiyah Jatim H Nadjib Hamid itu. Artinya, tandas salah seorang keturunan Beijing, China dari 11 bersaudara itu, puasa itu hanya berdampak pada jasmani, sedangkan shiyam itu berdampak pada akhlak yang mengalami perbaikan. "Kalau shiyam tapi memfitnah berarti puasa, kalau shalat tapi berkelakuan jahat berarti senam, kalau haji tapi tetap nakal berarti hanya piknik (wisata) ke Mekkah," kilah ulama Tionghoa yang mengundurkan diri sebagai PNS di Kanwil Depag Jatim itu. Ustadz yang mengaku awalnya masuk Islam secara sembunyi-sembunyi, itu menegaskan bahwa shiyam seperti halnya rukun Islam lainnya merupakan cara Allah untuk memperbaiki akhlak manusia. "Masalahnya, shiyam saat ini masih sekadar berpuasa, karena akhlak manusia tidak semakin baik dan bahkan negara justru bertambah ruwet. Dulu, mucikari itu orang dewasa, tapi sekarang anak SMP," ujarnya. Ia mencontohkan makna ibadah yang benar yang mendorong perbuatan yang baik, seperti Sahabat Abubakar yang tak malu berdagang di pasar, meski seorang Khalifah. "Bahkan saking baiknya, Sahabat Abubakar justru mengembalikan tunjangan yang berhak diterimanya dari negara. Atau, Sahabat Umar bin Khattab yang marah saat tunjangan jabatannya dinaikkan. Sikap qonaah (menerima apa adanya) itu pula yang membuat para ulama dulu sukses dalam berdakwah," tuturnya. (*) (Foto: surabayapost.co.id).
Syaukanie Ong: Ramadhan Cara Allah Perbaiki Manusia
Jumat, 2 Agustus 2013 8:48 WIB