Pengamat: Papua Bukan Timor Leste
Jumat, 24 Mei 2013 10:23 WIB
Surabaya (Antara Jatim) - Pengamat hubungan internasional dari Universitas Airlangga (Unair) Basis Susilo MA menilai Papua bukanlah Timor Leste, karena posisi Indonesia lebih kuat, namun kemajemukan Indonesia tetap memerlukan pendekatan antropologis
agar tidak retak.
"Posisi Indonesia lebih kuat, karena ada pengakuan PBB untuk Papua sebagai bagian dari Indonesia lewat Pepera yang bukan individual, tapi perwakilan, kemudian mayoritas masyarakat Papua juga tidak mau merdeka," katanya kepada Antara di Surabaya, Jumat.
Di sela-sela Kuliah Kebangsaan Tjokroaminoto yang rutin digelar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Unair itu, ia mengemukakan hal itu menanggapi pendirian kantor Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Oxford, Inggris.
Menurut Dekan Fisip Unair itu, pemerintah Indonesia sebaiknya tidak melayani aksi-aksi OPM, namun pemerintah Indonesia tetap melobi sejumlah negara yang ditempati aktivis OPM, kemudian pemerintah juga menggalakkan pendekatan antropologis.
"Pendekatan antropologis adalah mengutamakan pemberdayaan orang Papua, karena itu pengangkatan Wamen Perindustrian dari Papua atau pejabat lain, apalagi Kemendikbud sudah memberi beasiswa pendidikan kepada orang Papua untuk kuliah gratis di seluruh Indonesia," katanya.
Namun, katanya, pendekatan antropologis juga harus diimbau untuk dilakukan kalangan non-pemerintah, seperti stasiun televisi hendaknya memunculkan penyiar dari berbagai daerah di Indonesia, sehingga penyiar dari Papua juga harus ada.
"Kalau pendekatan antropologis itu dilakukan pemerintah dan kalangan non-pemerintah secara simultan, saya kira NKRI akan dapat direkat kembali dengan jahitan yang lebih indah, termasuk Papua, Aceh, dan kawasan pulau-pulau terdepan (terluar)," katanya.
Cara antropologis serupa, katanya, juga perlu dilakukan pemerintah dan masyarakat terhadap aktivis OPM, sebab pendekatan yang sifatnya kultural itu lebih bagus daripada pendekatan militer.
"Pendekatan antropologis juga perlu dilakukan di seluruh Indonesia, karena pendekatan itu akan membuka ruang publik menjadi bukan hanya milik orang Jawa, sehingga kebersamaan dalam NKRI akan semakin kuat," katanya.
Sebelumnya, Koordinator Tentara Pertahanan Nasional OPM Lambert Pekikir yang menguasai hutan Keerom dan sekitarnya serta memiliki ratusan anak buah yang bersenjata menegaskan bahwa sikap pemerintah Indonesia memprotes Inggris terkait pendirian kantor OPM itu tidak akan berguna, karena Inggris menghargai perbedaan.
Baginya, kantor di Oxford itu merupakan tempat kerja OPM untuk melobi dunia internasional serta usaha menggalang dukungan bagi kemerdekaan Papua. Rencana pembukaan kantor itu sudah dibahas sejak dua tahun lalu di Sidney, Australia. OPM menargetkan merdeka pada 2015.
Tokoh yang banyak merintis perjuangan Papua di luar negeri adalah Nicholas Youwe dan Nick Messet. Keduanya mantan Menteri Luar Negeri OPM, tapi keduanya telah menjadi WNI. "Itu hanya membuang waktu, saya sudah berjuang 40 tahun, tapi selalu membentur tembok, sehingga saya sadar, membangun masyarakat lebih penting," kata Messet. (*)