AFI Minta Pemerintah Tingkatkan Pembinaan terhadap UKM
Jumat, 22 Maret 2013 13:26 WIB
Surabaya (Antara Jatim) - Ketua Asosiasi Franchise Indonesia (AFI) Anang Sukandar meminta pemerintah meningkatkan pembinaan dan pendampingan kepada kalangan usaha kecil menengah (UKM) daripada memberlakukan peraturan pembatasan waralaba.
"Indonesia memiliki potensi bisnis waralaba yang sangat besar dan ditunjang oleh beragam etnik dibandingkan negara lain," katanya, pada jumpa pers "Info Franchise and Business Concept Expo 2013" bertema "Powerful Business Concept" (22-24 Maret 2013), di Surabaya, Jumat.
Ia menjelaskan, dengan adanya regulasi yang dikeluarkan pemerintah melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 53 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Waralaba maka keunikan etnik bisnis waralaba lokal akan berkurang.
"Sementara, keunikan itulah yang menjadi keunggulan bisnis waralaba lokal di Tanah Air. Contoh, ada Mie Aceh, Aneka Makanan Khas Sunda, Jawa Timur, Bali, Ujung Pandang, dan Manado yang bisa dikenalkan ke pasar internasional," ujarnya.
Di sisi lain, ungkap dia, sampai sekarang dampak penerapan regulasi tersebut kurang berpengaruh terhadap pengusaha waralaba lokal mengingat cabang mereka minim.
"Tapi, mereka yang notabene pengusaha waralaba skala besar yang mulai kelimpungan karena cabangnya di berbagai daerah melebihi aturan pemerintah," katanya.
Pada dasarnya, menurut dia, AFI sepakat dengan ditetapkannya Permendag No. 53/2012 yang bertujuan anti-monopoli. Bahkan, serupa dengan arti "franchise" itu sendiri yakni anti-monopoli.
"Kami sepakat saja dengan maksud pemerintah. Tapi, perkembangan bisnis waralaba tidak mungkin bisa dibatasi seiring mayoritas pemiliknya adalah orang lokal," katanya.
Sebelum dikeluarkannya aturan itu, kata dia, sudah ada kebijakan serupa yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 tentang Waralaba. Namun, kenyataannya sekarang justru aturan tersebut seolah tersisih.
"Apalagi, PP itu justru mengatur pendaftaran usaha dilakukan oleh 'franchisee' sedangkan di negara lain aturan umumnya adalah 'franchisor' yang idealnya mendaftarkan bisnisnya," katanya.
Ia khawatir, Permendag Nomor 53/2012 akan bernasib sama dengan PP Nomor 16/1997 yang disisihkan dan tidak lagi berlaku. Padahal kebijakan itu berupa PP yang tingkatannya lebih tinggi dari Permendag.
"Kami harap, pemerintah bisa seperti di Thailand yang memperhatikan UKM hingga usahanya berkembang menjadi besar di negara lain contohnya Black Canyon dan kini ada juga di Surabaya. Bahkan, pemerintah Thailand tetap peduli terhadap perkembangan bisnis 'franchisee' waralaba itu," katanya.
Terkait pelaksanaan pameran di Surabaya, target dia, transaksinya bisa melebihi Rp80 miliar dan dikunjungi lebih dari 5.000 orang selama berlangsungnya agenda yang diikuti 50 peserta pameran.
"Dari puluhan peserta lima persen di antaranya berasal dari Surabaya. Sektor usahanya, mayoritas bergerak di bisnis makanan minuman, diikuti pendidikan, dan biro perjalanan," katanya. (*)